Bab I
Pendahuluan
 
2. Kejanggalan Di balik Kerusuhan


Bagi masyarakat Situbondo sendiri, kerusuhan 10 Oktober 1996 itu justru dinilai sebagai peristiwa yang mengherankan sekaligus membingungkan sebab dalam kerusuhan tersebut terdapat sejumlah kejanggalan mendasar yang menimbulkan kecurigaan bahwa peristiwa itu adalah suatu rekayasa yang "dipaksakan' untuk pecah dengan target bidikan Jam'iyah NU, KH Achmad Sofyan dan KH Kholil As'ad sebagal tersangka utama perencana sekaligus pelaku.

Kejanggalan pertama, hubungan antara warga NU dengan umat Kristen dan Katholik di Situbondo sejak bertahun-tahun sudah terjalin sedemikian rupa harmonis dan tidak ada masalah apa pun dalam hal keagamaan. Kejanggalan kedua, kasus peradilan atas Saleh adalah kasus yang tidak memiliki kaitan apa pun dengan keberadaan umat Kristen dan Katholik di satu pihak dan umat Islam di lain pihak.

Kejanggalan ketiga, dalam kerusuhan itu para saksi mata melihat banyak di antara para pelaku yang tidak mereka kenal dan logat bicara mereka pun bukan logat khas Situbondo. Kejanggalan keempat, selama kerusuhan berlangsung di tengah massa sering terdengar yel-yel yang berkaitan dengan NU dan tulisan-tulisan NU di tembok-tembok gereja seolah memberi kesan bahwa organisasi NU berada di balik peristiwa itu. Kejanggalan kelima, kerusuhan itu pecah pukul ll.30 wib tetapi aparat keamanan dari Batalyon Infanteri 512, Batalyon Kostrad 514, Batalyon 509, dan Satuan Brimob dari Surabaya baru datang di Situbondo pada pakul 14.00 wib padahal jarak markas Batalyon Kostrad 514 di Bondowoso dengan lokasi hanya 30 kilometer.

Kejanggalan keenam, KH Zaini Abdul Aziz, pengasuh pesantren Nurul Hikam, Kapongan, yang dianggap memiliki kaitan langsung dengan peristiwa itu tidak pernah dimintai keterangan oleh pihak aparat. Kejanggalan ketujuh, pada saat kerusahan berlangsung Kakansosopol Situbondo mengumpulkan seluruh camat di pendapa kabupaten untuk menikmati lagu-lagu karaoke.

Sejumlah kejanggalan yang dirasakan oleh masyarakat Situbondo itu pada kenyataannya tidak hanya terhenti pada tingkat keheranan dan kebingungan, melainkan telah meningkat menjadi keresahan dan ketakutan karena berurutan denganselesainya kerusuhan itu telah terjadi penangkapan-penangkapan atas warga Situbondo secara serampangan oleh pihak aparat keamanan. Bahkan dalam penangkapan itu telah terjadi penyiksaan-penyiksaan di luar batas kemanusiaan terhadap puluhan warga NU yang tidak bersalah. Dengan teknik-teknik penyiksaan yang "Pancasilais", pihak aparat memaksa warga masyarakat yang mereka tangkap untuk mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan. Bahkan akibat penyiksaan tersebut, telah terbunuh seorang pelatih LP5-NU Pagar Nusa Situbondo bernama Achmad Sidhiq.

Bencana kerusuhan 10 Oktober 1996 di Situbondo yang penah diliputi kejanggalan dan jelas-jelas menyudutkan organisasi NU itu, tidak dapat disangkal merupakan suatu peristiwa yang secara fundamental wajib dikaji dan diteliti secara ilmiah dalam rangka mencari kebenaran yang obyektif. Itu sebabnya tanpa bermaksud melakukan pembelaan diri, Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur sebagai organisasi kepemudaan NU (atas perintah PBNU) membentuk satu Tim Pencari Fakta untuk turun ke lapangan guna mengumpulkan data berdasar kesaksian para saksi mata yang mengetahui maupun yang terlibat dalam kerusuhan tersebut. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta itu akan dituangkan dalam bentuk "Buku Putih" yang memuat fakta dan analisis yang komprehensif dan integral atas peristiwa mengerikan tersebut.

Buku Putih yang memuat sejumlah kesaksian para saksi mata ini selain ditujukan kepada masyarakat luas agar secara obyektif bisa memahami peristiwa kerusuhan tersebut secara benar, juga yang terpenting adalah untuk menjadi catatan sejarah satu bangsa yang sedang menuju kedewasaannya. Buku Putih ini sangat baik untuk digunakan sebagai referensi dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial dan politik terutama yang berkaitan dengan Jam'iyah Nahdiatul 'Ulama. Bagi warga NU sendiri, buku ini akan menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa serupa di masa yang akan datang terutama dalam kaitan dengan fenomena-fenomena "klise" yang memiliki relevansi dengan proses suksesi di kalangan elit politik tingkat atas, karena sejarah telah mencatat bahwa keberadaan NU pada kondisi itu sering dijadikan obyek penderita sebagai "kambing hitam" sekaligus "kambing korban".
 


[Daftar Isi]    [Previous]   [Next]