Bab I
Pendahuluan
 

1. Latar Belakang



Pada Kamis 10 Oktober 1996 rakyat Indonesia yang tinggal di Jawa Timur - terutama di Kabapaten Situbondo - dikejutkan oleh terjadinya peristiwa kerusuhan yang berupa pembakaran dan perusakan gedung Pengadilan Negeri ditambah sejumlah gereja Kristen dan Katholik serta bangunan lain di kota Situbondo. Malahan dalam kerusuhan yang melibatkan massa rakyat itu telah meluas pula tindak serupa di kota dan desa dekat Situbondo seperti Asembagus, Banyu Putih, Penarukan, dan Besaki.

Menurut para saksi mata, kerusuhan itu bermula di Pengadilan Negeri Situbondo dalam kaitan dengan proses peradilan atas diri tersangka Saleh yang didakwa melecehkan agama. Dalam persidangan kelima atas kasus tersebut, telah pecah insiden "perang batu" antara penontan sidang dengan pihak aparat keamanan setempat yakni Kodim 0838 Situbondo. Pada saat insiden "perang batu" itulah Gereja Bethe1 Bukit Sion yang terletak sekitar 500 meter di barat gedung Pengadilan Negeri Situbondo itu mendadak terbakar.

Pada saat asap hitam mengepul dari gereja yang terbakar, "perang batu" makin sengit. Massa makin beringas dan mulai melakukan serangan ke dalam gedung Pengadilan Negeri tersebut. Menghadapi keberingasan massa para hakim, jaksa, pengacara, staf karyawan pengadilan, terdakwa Saleh, bahkan pihak aparat keamanan lari tunggang-langgang menyelamatkan diri keluar kompleks gedung Pengadilan Negeri dengan cara membobol tembok belakang. Keberingasan itu kemudian berpuncak dengan pembakaran gedung Pengadilan Negerl Situbondo oleh massa. Dan sisa monumental dari gedung tersebut adalah sebaris kalimat di reruntahan tembok yang ditulis oleh massa perusuh yang berbunyi "Bukan Pengadilan Tapi Penghasilan". Sebaris kalimat itu dalam tempo singkat telah menjadi bahan pembicaraan masyarakat Situbondo.

Keberingasan massa yang membakar gereja Bukit Sion dam gedung PN Situbondo itu ternyata berkelanjutan karena massa bergerak terus dari satu tempat ke tempat lain untuk membakari dan merusak gereja-gereja, sekolah-sekolah Kristen dan Katholik, toko, rumah makan, gedung bioskop, rumah bilyar, panti asuhan, rumah doa, kelenteng, mobil, dan motor. Dalam kerusuhan itu telah tewas terpanggang api 5 orang keluarga pendeta Ischak Christian di dalam komplek Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) yang terletak di Jl. Basuki Rachmat Situbondo. Bahkan pembakaran dan perusakan gereja Kristen dan Katholik itu pada gilirannya merembet ke kawasan di barat dan timur Situbondo yakni Penarakan, Besuki, Asembagus, dan Banyu Putih.

Peristiwa pembakaran dan perusakan yang dikenal sebagai "Kerusuhan 10 Oktober" itu, dalam tempo singkat mengundang reaksi dari berbagai kalangan. Tak kurang Ketua Tanfidziyah PPNU KH Abdurrahman Wahid yang baru kembali dari Roma, menyatakan permohonan maaf sekaligus menyatakan bertanggung jawab secara moral atas peristiwa tersebut. Sebab pimpinan Jam'iyah Nabulatul 'Ulama itu berpendapat bahwa dengan pecahnya peristiwa kerusuhan itu di Situbondo yakni suatu kawasan yang dikenal sebagai daerah basia NU, maka para pelaku kerusuhan tersebut tentulah bersangkut-paut dengan keberadaan warga NU.

Sepintas alasan KH Abdurrahman Wahid tentang kemungkinan tersangkutnya warga NU dalam kerusuhan tersebut memang masuk akal. Malah dengan meluasnya kerusuhan itu secara cepat di berbagai tempat, timbul kecurigaan bahwa peristiwa itu pasti telah direncanakan terlebih dulu. Kassospol ABRI Letnan Jenderal Syarwan Hamid, adalah pejabat militer pertama yang membuat pernyataan di media massa bahwa sebelum pecahnya peristiwa kerusuhan itu telah diadakan kegiatan rapat perencanaan terlebih dulu. Tetapi benarkah dugaan itu?


[Daftar Isi]    [Next]