Pangggilan, Bukan Berpolitik

           Jangan anggap bila ada orang menyuarakan kebenaran di ma-
      syarakat, itu berpolitik.  Tidak!  Saya tidak berpolitik!  Itu saya
      lakukan karena panggilan!  Bila berpolitik, saya tidak mungkin
      seperti sekarang.  Mungkin saya sudah menjadi pejabat.  Tetapi itu
      bukan panggilan hidup saya.  Panggilan saya adalah menyuarakan
      kebenaran dan keadilan.  Bahwa kegiatan yang saya lakukan berdampak
      politik, itu soal lain.  Ketika Kristus datang ke dunia pun
      membuat goncang struktur kebiasaan Yahudi.  Karena itu, saya
      paling gemar menyanyikan lagu yang saya gubah sendiri dari Efesus
      6: 10, 13.

           Pembelaan terhadap kaum buruh berawal ketika saya -saat itu
      masih menjadi Sarjana Muda Hukum di Universitas Sumatera Utara
      (USU)- membuka kantor pengacara.  Tujuannya waktu itu memang
      mencari uang untuk membiayai hidup dan kuliah. Maklum, sejak
      Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SLTA) saya harus menghidupi
      diri sendiri.  Ayah saya, Sutan Johan Pakpahan, meninggal ketika
      saya berusia 11 tahun. Ibu, Victoria Silalahi, menyusul ketika
      saya di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).  Sejak SMP saya
      menjadi petani dan di SMA menarik becak.  Saya sudah biasa bekeria
      keras.

            Dengan latar belakang ini dan memegang teguh janji sebagai
      pembela, yaitu tidak boleh menolak perkara karena ketidakmampuan
      klien secara ekonomi, saya semakin melihat panggilan hidup. Dan,
      ketika memulai debut sebagai pembela, yang datang kepada saya
      banyak dari kalangan supir, petani, pedagang kaki lima dan buruh
      yang menuntut keadilan.  Ketika kaum lemah ini datang, saya tidak
      bisa menolak. Mau tidak mau harus dibela.

            Dari pembelaan kepada rakyat jelata, saya seperti melihat
      'bayangan' diri kembaii.  Mereka mengingatkan akan penderitaan
      yang pernah saya alami.  Kelebihan saya hanya karena bisa keluar
      dari kemiskinan dan dapat meraih gelar tinggi.  Sehingga untuk
      mengungkapkan rasa syukur, saya berjanji pada Tuhan dua hal.
      Pertama, akan mengabdikan hidup kepada rakyat kecil.  Kedua, bila
      berkeluarga, saya melinta anak sulung seorang laki-laki, dan dia
      akan-saya persembahkan kepada-Nya.  Janji itu semakin diperkokoh
      dengan dikaruniai-Nya Binsar.

            Hal lain yang mendorong saya adalah perkataan Kristus,
      "Bukan setiap orang yang bersery kepadaku: Tuhan, Tuhan! akan
      masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan
      kehendak Bapa-Ku yang di surga. (Matius 7:21)".  Selain itu, saya
      juga melihat penyertaan Tuhan.  Selama membela orang papa, Ia
      tidak membuat saya kekurangan.  Kebutuhan hidup, kuliah dan juga
      kantor selalu dipenuhi-Nya.  Itu dipenuhi melalui 'dikirim-Nya'
      orang berpunya untuk dibela.  Walaupun membutuhkan dana tersebut,
      bukan berarti saya membela mereka tanpa melihat unsur kebenaran.
      Siapa pun yang datang, baik kaum berduit maupun tidak, saya tetap
      melihat unsur hukum, kebenaran dan keadilannya.

              [Prev: Riwayat Hidup]     [Next:  Proses Penyadaran]    [Main Page]

               (sumber: Jurnal Muchtar Pakpahan, INDONESIA-L: apakabar@clark.net]