Proses Penyadaran

           Saya menggeluti permasalahan kaum buruh sejak 1978. Dari
      pergulatan tersebut, akhirnya 25 April 1992 lalu berdirilah Seri-
      kat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Pendirian SBSI ini didukung
      oleh dr. Sukowaluyo (PDI), Abdurrahman Wahid (Ketua Umum Tanfid-
      ziah Nahdatul Ulama), Sabam Sirait (PDI) dan Asmara Nababan
      (Angbota Komnas HAM).  Sedangkan operasionalnya hingga sekarang
      saya pegang bersama sejumlah aktivis muda.  Walaupun masih seumur
      jagung, SBSI sudah melebarkan sayapnya ke berbagai daerah di
      Indonesia.  Kini telah berdiri lebih dari 87 cabang dengan anggota
      sekitar 250 ribu orang.

           Adapun tujuan didirikannya SBSI adalah pertama, mengacu
      kepada UUD 45 pasal 28, yaitu supaya kaum buruh diberi kebebasan
      berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.  Hal itu juga
      meratifikasi seluruh butir International Labour Organization
      (ILO) dari United Nations.  Kedua, tercantum dalam UU bahwa 20%
      dari saham perusahaan dimiliki kaum buruh.  Sehingga bila perusa-
      haan beruntung, buruh ikut beruntung.  Ketiga, buruh benar-benar
      partner dari pengusaha.  Artinya, buruh ikut aktif merencanakan
      dan menghitung produksi.  Keempat, jaminan sosial seperti pendidi-
      kan, kesejahteraan dan relasi sosial buruh dijamin dan dapat
      dinikmati buruh.

           Untuk menunjang visinya, SBSI mumbentuk lembaga bantuan
      hukum di setiap cabang-cabangnya. Lembaga ini melayani pengaduan
      buruh yang dipecat atau ditangkap.  Selain itu, SBSI mempunyai
      lembaga pengkajian dan penelitian, lembaga pendidikan dan kursus,
      lembaga bina usaha dan kesejahteraan serta lembaga pelayanan
      buruh wanita dan anak.

           Dari pengalaman, terungkap permasalahan yang dihadapi kaum
      buruh pada intinya hampir sama, yaitu pemutusan hubungan keria
      (PHK) yang semena-mena dan jam keria yang paniang dengan upah
      rendah.  Bila melihat kasus seperti itu, saya tidak membela mere-
      ka, tetapi melakukan proses penyadaran.

           Penyadaran tersebut demikian. Saya  menerapkan pepatah Cina
      yang dianjurkan Arlina Gunarya - teman  dan salah seorang pengurus
      GMKI pusat. Ia mengatakan, "Bila hendak memberi orang makan ikan,
      kita jangan langsung memberi ikannya, tapi beri dia pancing.
      Luangkan waktu mengajarinya menggunakan pancing sehingga ketika
      ingin makan ikan lagi, ia tidak lagi meminta ikan, tapi akan
      memancing sendiri untuk mendapatkan ikan." Anjurannya saya laku-
      kan.  Saya mengundang atau mendatangi mereka, kemudian saya jelas-
      kan tentang hukum, hak dan kewajiban mereka sebagai seorang
      buruh.  Dari pengetahuan dan kesadaran itulah kaum buruh mencoba
      menghadapi majikannya, dan memperbaiki kesalahan yang jamak di
      perusahaannya bekerja.  Dengan demikian mereka bertanggung jawab
      terhadap kewajiban, hak azasi, dan hak sebagai warga negara.  Dari
      penyadaran tersebut, saya pelihat bahwa proses demokrasi pun
      berlangsung.

           Saya baru turun kalau terpaksa, misalnya ketika aparat
      menghadang kaum buruh dalam perjuangannya.  Di situlah saya menja-
      di penerima kuasa atas nama mereka.  Bila hanya menerima kuasa,
      berarti saya tidak mendidik mereka.

           Kalau isu tersebut menjadi pembicaraan nasional dan interna-
      sional, menurut saya karena komunikasi di kalangan mereka cepat,
      sehingga mereka saling menolong kaum lemah.  Sedangkan datangnya
      perhatian luar negeri bukan karena saya menghubungi mereka.  Itu
      berkat Tuhan.  Ketika disidang di Medan, wakil dari luar negeri
      selalu hadir, bahkan selama di rumah tahanan (rutan) Tanjung-
      Gusta Medan, saya menerima 5000 surat.  Tiga per empatnya datang
      dari luar negeri!

              [Prev: Panggilan,bukan berpolitik]     [Next:  Resiko & Keluarga]    [Main Page]

            (sumber: Jurnal Muchtar Pakpahan, INDONESIA-L: apakabar@clark.net]