Hari-hariku di LP Tanjung Gusta

                     Kesan dan Pesan
     
           Mengakhiri hari-hari yang saya lalui di Lembaga Pemasyaraka-
     tan dan Rumah Tahanan Negara Tanjung Gusta, selama proses persi-
     dangan berlangsung, berikut ini saya sampaikan kesan dan pesan
     dari apa yang saya alami.
     
     

                 Realitas/Penegakan Hukum
     
           Sebagai orang yang berprofesi penegak hukum advokat/ penga-
     cara selama ini, saya bersyukur mempunyai kesempatan masuk ke
     dalam penjara walaupun tentunya tidak saya kehendaki.  Setelah
     masuk dalam penjaralah saya melihat realitas penegak hukum di
     Sumatera Utara, khususnya Medan.  Saya dapat mengatakan Sumatera
     Utara, karena LP kelas I Medan adalah tempat narapidana yang masa
     hukumannya lama, berasal dari seluruh daerah tingkatan II se Suma-
     tera Utara, bahkan ada  yang dari Propinsi Aceh, khususnya yang
     diistilahkan pemerintah GPK dan mereka menyebut nama gerakan GAM.
           Selama 16 tahun Menekuni penegakan hukum mulai dari penga-
     cara hingga Advokat, saya mengamati keadaan penegakkan hukum di
     Indonesia.  Terutama saya dapat melihatnya dari kasus yang saya
     tangani, dari kisah orang dan dari mass media pers.  Tetapi selama
     di tahanan mulai dari tahanan kepolisian hingga LP dan Tanjung
     Gusta, saya semakin melihat kenyataan itu yang tidak mungkin
     dapat dipoles lagi.
          KUHAP adalah aturan main beracara di Indonesia.  KUHAP menga-
     tur bagaimana polisi menjalankan tugasnya, bagaimana Jaksa menja-
     lankan tugasnya serta sebagaimana Hakim menjalankan tugasnya.  Dan
     dari kepentingan terdakwa, KUHAP juga menjamin hak-hak Terdakwa
     selama ia menjalani proses pemeriksaan di semua tingkatan.
     Secara keseluruhan, hak-hak polisi, Jaksa dan Hakim mereka nikmati
     dengan baik.  Secara umum dapat dikatakan KUHAP tidak diberla-
     kukan sebagaimana mestinya, lebih lanjut dapat pula dikatakan,
     Indonesia masih jauh dari realitas negara hukum yang dijamin UUD.
     1945.
          Hukum itu akan tegak bila aplikasinya berdampak pada men-
     guatkan kekuasaan yang punya kuasa di semua lini dan tingkataan.
     Hukum itu akan bagaikan menara gading bagi rakyat kecil apalagi
     bila ada effeknya terhadap kekuasaan baik langsung maupun tidak
     langsung.
          Dalam hal penegakkan hukum ini, kolusi trio kekuasaan
     (polisi, Jaksa dan Hakim) amat kuat dan langgeng.  Kolusi itu
     semakin kuat dan kokoh menakala dibarengi lagi dengan duit.  Dalam
     hal ini ada ungkapan para pengusaha keturunan Cina yang sering
     dilontarkan dan ini menjadi kamus di Medan, "sepanjang ayam masih
     makan jagung semua pejabat bisa dibeli".  Bila ada pejabat yang
     tidak mau, ia kita pindahkan.  Sepertinya kelanjutan dari ungkapan
     semula, bila ayam tidak mau lagi makan jagung maka matilah
     ayam tersebut.
           Ada fakta yang menarik diungkapkan.  Ketika persidangan
     penjatuhan hukuman atas diri saya sudah selesai, Hakim Majelis
     yang dipimpni V.D Napitupulu,SH selesai membacakan vonis tiga
     tahun penjara, dengan arogannya ada Cina yang terbuka membagi-
     bagikan uang kepada para polisi dan Jaksa di luar persidangan
     saya.  Ini sangat menyakitkan hati kalangan umum yang hadir di
     situ, tetapi bagi saya ini sebagai penambah realitas lain dari
     penegakan hukum, terutama kasus perburuhan di Medan.  Yang sebe-
     lumnya memang saya sudah mengetahui bahwa pengusaha keturunan
     membiayai operasi penanqkapan para unjuk rasa, dan kekuasaan yang
     ada adalah alat pelampias nafsu dari pengusaha. Uang banyak,
     pengaruh cukup.
           Dalam keadaan realitas penegakan hukum itu, yang paling
     disayangkan adalah para Hakim yang memegang palu keadilan "Demi
     keadilan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa".  Sebenarnya Penga-
     dilan yang diwakili para Hakimlah benteng terakhir pengadilan,
     tetapi di mata rakyat justru di pengadilan inilah yang nyata-
     nyata bobol bentenq keadilan itu.  Hakim tidak menempatkan dirinya
     di tengah/netral, melainkan ia adalah kelanjutan dari perbuatan
     polisi dan Jaksa.
           Keputusan-keputusan Hakim sernig menyinggung rasa keadilan
     rakyat.  Ada yang membawa ganja ratusan kilo untuk diperdagangkan,
     dihukum lima bulan penjara. Sebaliknya ada yang kedapatan di
     kantongnya ada ganja tiga gulungan (mungkin untuk diisap) dihukum
     tiga tahun. Ada perampok besar yang sudah terorganisir dan sudah
     puluhan kali masuk penjara, ia bolak balik dihukum tiga-empat
      bulan, tetapi ada yang hanya memeras seribu rupiah, dihukum
      sembilan bulan.
           Dari seluruh fakta yang saya temukan di LP dan Rutan kela-
      bunya dunia peradilan di lndonesia.  Ini berakar dari tidak man-
      dirinya Hakim, ditambah lagi adanya hubungan erat antara polisi,
      Jaksa dan Hakim aplikasi lanjutan dari Mahkejapol (Mahkamah
      Agung, Kejaksaan, Kehakiman dan Kepolisian).  Untuk kesekian kali
      saya berkesimpulan, kembali ke pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945
      secara murni dan konsekwen, itulah jalan keluarnya.  Serta dalam
      keadaan yang memurnikan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945,
      digalakkanlah tiga tuntutan rakyat amalkan kejujuran, tingkatkan
      kesejahteraan (gaji) dan tegakkan hukum.  Rakyat harus ikut mela-
      kukan pengawasan, rakyat harus mempunyai posisi runding (bargain-
      ing position).
     

          [Prev:  November 8]     [Next:  Memfungsikan Rutan]    [Main Page]
       
                    (sumber: Jurnal Muchtar Pakpahan, INDONESIA-L: apakabar@clark.net)
                    (Hari-hariku di LP Tanjung Gusta)