Bab III
Analisis Hasil Penelitian

6. Disharmoni Dalam Perubahan Sosial.



Ditinjau dari aspek sosio-kultural-historis kerusuhan 10 Oktober 1996 di Situbondo dapat dijelaskan sebagai suatu fenomena yang mencakup sejumlah faktor, yakni: Tidak dapat disangkal bahwa salah satu pangkal masalah dari pecahnya peristiwa Situbondo adalah merasa tertantangnya kelompok mayoritas oleh agresivitas kelompok minoritas dalam menyebar-luaskan pengarah agamanya. Sebab kelompok mayoritas yang memiliki kebanggaan atas identitas ke-santri-an itu merasakan sikap kelompok minoritas sudah mengancam eksistensi mereka. Di lain sisi, kelompok mayoritas juga terobsesi oleh semboyan khas yang mereka anut yang seumumnya dianut oleh masyarakat Madura, yaitu: "tembang poteh mata, ango'an poteh tolang;" (daripada malu lebih baik mati).

Tertekan oleh kondisi kultural yang bangga dengan jati diri dan terdoktrin oleh semboyan hidup lebih baik mati daripada hidup menanggung malu, maka kehadiran kelompok minoritas yang membangun rumah-rumah ibadah disepanjang jalan protokol bukan saja dianggap sebagai tantangan bagi seumumnya warga muslim Situbondo yang sudah beridentitas kota santri melainkan dianggap pula telah mempermalukan mereka. Andaikata geraja-gereja itu dibangun ditempat-tempat yang agak ke dalam yang tidak terlihat oleh setiap orang yang melewati jalur Surabaya-Banyuwangi, maka keresahan masyarakat Situbondo tidak akan meluas sedemikian rupa. Sebab bagaimana pun identitas "santri" yang disandang oleh kota Situbondo telah memberikan citra tersendiri bagi masyarakat setempat yang hal itu menjadi kebanggaan meraka. Sehingga usaha-usaha suatu pihak untuk mempengaruhi atau mencemari citra itu, akan menimbulkan perlawanan dari masyarakat.

Sekalipun sejak pertengahan 1996 masyarakat mayoritas di Situbondo sudah mengungkapkan keresahannya kepada para kiai yang menjadi panutan mereka, namun mereka dapat tetap dikendalikan. Sebab dalam pola hubungan patron-klien yang berlaku di tengah masyarakat, para kiai memang berusaha memberikan keseimbangan di antara klien-kliennya meski di antara klien itu terjadi suatu konflik. Dan sejauh itu, para kiai besar di Situbondo tidak pernah memiliki gagasan untuk melakukan tindak kerusuhan di daerahnya dengan membakar tempat-tempat ibadah dari sebagian kliennya sendiri. Di lain pihak, para klien yang umumnya beretnis Madura itu dipastikan tidak akan berani melakukan suatu gerakan penentangan apalagi perlawanan dan perusakan jika tidak diijinkan oleh patronnya yakni kiai panutan mereka.

Bertolak dari pandangan ini, maka pecahnya kerusuhan di Situbondo dapat dikatakan pasti memiliki kaitan dengan figur kiai sebagai patron. Artinya, dalam kerusuhan 10 Oktobor 1996 itu pasti ada sosok kiai yang memerintahkan massanya untuk melakukan kerusuhan. Dan data dalam penelitaan ini jelas menunjuk pada sosok Kiai Zaini, pengasuh pesantren Nurul Hikam, Kapongan. Dengan pangikut sekitar 1000 - 1500 orang, Kiai Zaini sedikitnya telah ikut berpartisipasi dalam kerusuhan itu meski ia sendiri sebenarnya adalah bagian dari korban rekayasa yang direncanakan oleh para ambisius tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan, jika dalam kerusuhan itu KH Achmad Sofyan dan KH Kholil As’ad ikut terlibat, pasti jumlah para perusuh itu akan mencapai ratusan ribu orang karena dua orang kiai besar memang memiliki pengikut ratusan ribu orang baik di Kabupaten Situbondo mau pun di kabupaten lain di sekitarnya termasuk di Madura.

Tidak dapat dipungkir bahwa perekayasa kerusuhan 10 Oktober 1996 di Situbondo memiliki kepekaan yang tinggi dalam menangkap fenomena sosial yang berkembang di tengah masyaratkat. Mereka rupanya secara terprogram dan terancana telah mengumpulkan data selama berbulan-bulan untuk bisa menangkap makna apa yang sebenarnya sedang berkecamuk di bawah permukaan masyarakat Situbondo yang sedang dilanda ketegangan akibat gencarnya pembangunan gereja-gereja di lokasi strategis sekaligus usaha-usaha Kristanisasi terhadap warga muslim setempat. Dengan rencara yang matang; pihak perekayasa kemudian menyusun skenario yang bisa memancing emosi masyarakat dengan target utama menjatuhkan para pimpinan NU setempat yang secara tradisional memiliki akses politik ke PPP. Dan skenario itu, ternyata hanya berhasil pada tingkat masyarakat warga kampung dan anak anak sekolah. Sedangkan usaha memancing dan melibatkan para kiai besar dan ulama, terutama yang aktip di organisasi Nahdlatul Ulama telah gagal dengan hasil akhir yang benar-benar mengejutkan dan sama sekali keluar dari perhitungan rasional mereka.


[Daftar Isi]    [Previous]   [Next]