Bab III
Analisis Hasil Penelitian

5. Retaknya Hubungan ABRI-Rakyat



Salah satu dampak samping yang sangat tidak menguntungkan dalam kasus kerusuhan 10 Oktober 1996 adalah hubungan antara ABRI khususnya Angkatan Darat dengan rakyat. Pertama, kekalahan pihak aparat yang dipimpin oleh Dandim 0823 dalam "perang batu" di PN Situbondo sedikitnya telah memiliki pengaruh psikologis bagi sebagian besar masyarakat Situbondo bahwa rakyat jika melawan bisa mengalahkan tentara. Hal itu setidaknya terbukti saat rakyat akan melakukan serangan terhadap tentara jika mereka memasuki pesantren Walisongo pimpinan KH Kholil As'ad. Di lain sisi jelas bahwa slogan ABRI manunggal dengan rakyat telah dianggap kurang relevan, karena masyarakat menangkap fakta bahwa ABRI atau Angkatan Darat telah memusuhi mereka yang terbukti pada "perang batu" di PN Situbondo.

Kedua, tindakan aparat keamanan yang sewenang-wenang dalam melakukan penangkapan serta perlakuan di luar batas-batas kemanusiaan terhadap warga masyarakat yang ditangkap, telah menimbulkan citra buruk bahwa pihak tentara adalah aparat negara yang kejam dan menjadi momok bagi masyarakat. Artinya, dengan tindakan pihak aparat keamanan yang di luar batas kemanusiaan dalam menyiksa orang-orang yang ditangkap, secara psikologis warga muslim di Situbondo -- khususnya warga NU -- tidak bisa lagi mempercayai slogan bahwa pihak militer adalah pelindung yang bisa manunggal dengan rakyat apalagi sebagai pembela nilai-nilai luhur Pancasila. Pendek kata ABRI sudah dianggap bukan lagi sebagai figur pelindung dan pengayom melainkan figur penyengsara yang menakutkan rakyat.

Ketiga, dampak psikologis yang sangat dalam dirasakan oleh warga NU terhadap pihak militer akibat peristiwa 10 Oktober itu adalah terulangnya kembali rekaman peristiwa serupa yang pernah dialami warga NU pada Pemilu 1971. Kekejaman dan kebiadaban pihak militer yang dalam tempo hampir 30 tahun sudah teredam itu, mendadak menguat kembali akibat peristiwa itu. Apalagi dalam kasus ini telah jatuh korban warga NU yakni Ahmad Sidhiq yang "terbunuh" saat berstatus tahanan Polres.

Para warga NU senior yang pernah merasakan pahit dan getirnya nasib mereka saat menghadapi Pemilu 1971, kembali terlontar ke relung-relung kenangan masa silamnya ketika menyaksikan kenyataan bahwa generasi penerus mereka yakni para perdekar Pagar Nusa santri pesantren Walisongo, siswa-siswa SMA, SMEA dan STM Ibrahimy mangalami nasib tragis disiksa di luar batas kemanusiaan oleh ABRI. Ini berarti citra ABRI terutama Angkatan Darat di mata warga NU sejak tabun 1971 tidak berubah bahkan dianggap sebagai pihak yang memusuhi NU. Luka psikologis ini, jelas akan membutuhkan waktu lama sembuhnya karena oleh warga NU -- terutama oleh para kiai -- hal semacam itu akan dijadikan cerita tutur yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Tidak dapat dielakkan bahwa dalam kondisi luka psikologis yang dalam itu, warga NU sudah kehilangan kepercayaan terhadap ABRI terutama Angkatan Darat. Apalagi dalam kasus kematian Ahmad Sidhiq di tahanan Polres Situbondo Pangdam V/Brawijaya dalam Liputan-6 Petang SCTV tanggal 10 Oktober 1996 yang menjelaskan jika kematian itu akibat sakit, makin memperkuat rasa tidak percaya warga NU terhadap pihak militer. Pendek kata, citra militer khusuhnya Angkatan Darat bagi warga NU sudah sedemikian rupa "buruk" hingga tidak ada satu pun pernyataan mereka yang layak dipercaya kebenarannya. Bahkan keterlibatan Drs Choirul Anam, Ketua GP Ansor Jawa Timur dalam acara tersebut yang seolah olah mendukung pernyataan Pangdam, sangat disayangkan banya warga NU.


[Daftar Isi]    [Previous]   [Next]