Bab III
Analisis Hasil Penelitian

2. Konspirasi Lima Kelompok (KLK)



Berdasar kesaksian para saksi mata dalam peristiwa kerusuhan 10 Oktober 1996 di Situbondo dan analisis hasil temuan di lapangan, maka Tim Pencari Fakta PW GP Ansor Jawa Timur menyimpulkan bahwa konspirasi yang mendalangi peristiwa tersebut terbentuk dari lima kelompok yakni: Atas dasar fakta dan temuan di lapangan keberadaan kelompok pertama dapat diasumsikan sebagai kelompok yang berasal dari kalangan militer. Keterlibatan kelompok ini, setidaknya didukung oleh fakta di lapangan yang berbicara demikian. Pertama, misalnya pecahnya "perang batu" tidak lepas dari tanggung jawab Dandim 0823. Kedua, keterlambatan pihak aparat keamanan selama 5.5 jam sejak kerusuhan pecah jelas bukan suatu kebetulan. Ketiga, pernyataan Kassospol ABRI Letjen Syarwan Hamid bahwa sebelum peristiwa kerusuhan pecah telah didahului rapat perencanaan. Keempat, aparat setempat dengan jalan kekerasan berusaha mewujudkan apa yang dinyatakan oleh Kassospol ABRI dengan korban para pengurus dan pelatih LPS-NU Pagar Nusa.

Adapun kelompok massa tak dikenal yang identitasnya diketahui lewat motor yang dikendarai yang berplat nomor N dapat diasumsikan sebagai kelompok yang berasal dari golongan modernis baik dari organisasi Muhammadiyah maupun ICMI. Keterlibatan kelompok ini diketahui dari, fakta-fakta di lapangan. Pertama, adanya kendaraan berplat nomor N dalam jumlah puluhan yang ikut memimpin iring-iringan massa perusuh. Kedua sejumlah saksi mata mendengar iring-iringan massa berteriak dalam bahasa Jawa logat Malang. Ketiga, ada seseorang dari kelompok ini yang mendorong kepala seorang ulama. Keempat, hadirnya wartawan harian Republika dan 5 orang ICMI ke kediaman KH Wahid Zaini dengan tujuan utama mendiskreditkan Ketua PBNU dan Ketua PW GP Ansor Jawa Timur. Kelima, seperti ditengarai oleh majalah AULA edisi November 1996 bahwa salah seorang tokoh perekayasa kerusuhan Situbondo itu adalah tokoh YM dibantu DS dengan LH, ketiganya warga Muhammadiyah yang aktif di ICMI.

Sementara itu kelompok preman identitasnya diketahui dari penampilan mereka yang khas. Pertama, adanya pemuda-pemuda berambut gondrong yang dengan beringas melakukan pembakaran dan perusakan. Kedua, saat terjadinya perusakan atas toko swalayan mereka itu secara demonstratif di depan penonton mengambil barang-barang. Ketiga, saksi mata juga menyaksikan bagaimana di antara mereka itu ada yang memasukkan uang hasil rampasan ke dalam saku celananya.

Di antara keempat kelompok yang jelas-jelas tidak diragukan lagi keterlibatannya dalam berpartisipasi menimbulkan kerusuhan adalah pengikut dari KH Zaini Abdul Aziz. Pertama, para saksi mata menyaksikan dan mengenal para pengikut KH Zaini sebagai pelaku "perang batu" di PN Situbondo. Kedua, saksi mata juga melihat para pengikut KH Zaini ikut bergerak dalam iring iringan perusuh sekaligus ikut merusak dan membakar gereja. Ketiga, saksi mata juga menyaksikan bahwa setiap acara sidang akan digelar mereka berkumpul dan berangkat beramai-ramai dari rumah KH Zaini. Keempat para saksi mata juga menyaksikan KH Zaini berada di PN Situbondo untuk merestui para pengikutnya melakukan perusakan.

Sekalipun tidak mencolok, namun yang tidak dapat diabaikan adalah keterlibatan kalangan birokrat dalam konspirasi itu. Fakta di lapangan setidaknya menunjukkan seberapa besar keterlibatan kalangan birokrat dalam konspirasi itu. Pertama pada saat kerusuhan meletus Kakansospol Situbondo mengumpulkan seluruh camat sekabupaten untuk menikmati karaoke di pendopo kabupatan. Kedua, dua hari setelah peristiwa kerusuhan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur dengan mengendarai sepeda motor melakukan kunjungan informal ke Situbondo (Jawa Pos, 19 Oktober 1996). Gubernur diketahui mendatangi rumah KH Zaini yang diduga kuat sebagai salah seorang yang mendalangi kerusuhan 10 Oktober.

Ketiga, seolah-olah hendak mencari simpati dari warga non-muslim pihak Pemda Tingkat I begitu antusias menawarkan bantuan bagi pembangunan kembali rumah-rumah ibadah dan bangunan yang rusak. Padahal untuk peristiwa serupa di Surabaya pada peristiwa 9 Juni 1996, tidak sedikit pun ada upaya ke arah itu. Keempat sehari setelah peristiwa kerusuhan kantor-kantor pemerintah ditempeli potret-potret KH Kholil As'ad, KH Achmad Sofyan dan KH Abdurrahman Wahid. Hal itu jelas adalah bagian dari skenario untuk membentuk opini publik bahwa para perusuh itu adalah massa KH Kholil As'ad dan KH Achmad Sotyan.

Sementara itu salah satu upaya pihak birokrat mencari simpati dari warga non-muslim yang menjadi korban dilakukan juga dengan melalui organisasi kino-kino Golkar. Usaha semacam itu setidaknya terlihat dari beberapa hal:


[Daftar Isi]    [Previous]   [Next]