Bab II
Paparan Data dan Temuan
  
7. Awal Suatu Disharmoni


Sebagaimana disinggung di muka bahwa hubungan sosial antara etnis keturunan Cina yang non-muslim dengan etnis Madura yang muslim sudah terjalin baik sejak jaman kolonial Belanda. Namun demikian, dalam perubahan sosial yang berlangsung telah terjadi semacam diskontinuitas yang secara diam-diam memunculkan semacam friksi di antara keduabelah pihak. Dan hal itu, terutama jika berkaitan dengan hal-hal yang bersentuhan dengan agama.

Pada masa kolonial Belanda, etnis keturunan Cina di Situbondo umumnya menganut kepercayaan Konghucu dan sebagian kecil sekali yang menganut Katholik. Namun pada masa Orde Baru ini, cukup banyak warga keturunan Cina yang menganut Katholik terutama Kristen. Dalam perkembangannya, warga keturunan Cina di Situbondo banyak yang menjadi pemuka agama Kristen. Dan sebagai warga yang memiliki tingkat ekonomi lebih, para warga keturunan itu memiliki andil yang tidak kecil bagi pembangunan gereja-gereja di Kabupaten Situbondo.

Ditinjau dari sisi kepesatan pembangunan rumah-rumah ibadah di Situbondo, pembangunan gereja yang dilakukan oleh umat Kristennya tergolong sangat tinggi frekuensinya. Data di lapangan menunjukkan bahwa jumlah gereja Kristen di kota Situbondo berjumlah tujuh ditambah sejumlah rumah yang dijadikan tempat kebaktian. Padahal jumlah warga Kristen di kota Situbondo menurut Departemen Agama setempat pada 14 Oktober 1996 hanya sekitar 721 orang.

Pembangunan serupa berlangsung pula di berbagai daerah di Situbondo yang ada umat Kristennya sekalipun ditinjau dari tingkat kebutahan hal tersebut terkesan sangat berlebihan. Di kecamatan Asembagus yang dikenal sebagai basis para santri, misalnya, terdapat sedikitnya empat gereja besar padahal jumlah pemeluk Kristen di kota kecil itu hanya 185 orang dan Katholiknya 5 orang.

Tidak diketahui secara pasti siapa yang mulai mempermasalahkan, tiba-tiba saja pesatnya pembangunan gereja-gereja berakuran raksasa di Situbondo itu menjadi pembicaraan hangat masyarakat muslim setempat pada pertengahan 1996. Dalam tempo singkat, perbincangan mengenai gereja-gereja di kota Situbondo yang umumnya terletak di jalan-jalan protokol jurusan Surabaya - Banyuwangi itu meluas ke berbagai penjuru. Bahkan berdirinya Gereja Bethel "Bukit Sion" dengan salib ukuran besar sekitar 2,5 x 5 meter yang terbuat dari bahan stainless dan letaknya tepat di pintu barat kota makin memanaskan pembicaraan masyarakat muslim setempat yang merasa tersinggung oleh kehadiran, gereja-gereja yang mereka anggap menantang itu.

KH Kholil As'ad, pengasuh pesantren Walisongo menuturkan bahwa sebenarnya ia tidak mengetahui jika di Situbondo sudah berdiri banyak gereja besar. Sekitar bulan Juni, kenangnya beberapa orang warga masyarakat mendatanginya dan memberikan informasi bahwa gereja-gereja sudah banyak berdiri di Situbondo. Bahkan dalam laporan itu disebutkan jika gereja di barat kantor PN Situbondo itu adalah gereja terbesar di Asia Tenggara. "Secara bergantian orang-orang datang kepada saya dan mengeluhkan berdirinya gereja-gereja yang dibangun di tengah pemukiman umat Islam. Mereka mengeluh, bahwa di kota Situbondo yang disebut kota Santri itu ternyata banyak berdiri gereja di jalan utama kota. Itu kan sepertinya menantang umat Islam, seolah-olah mereka ingin menunjukkan bahwa Situbondo akan dikristenkan," ujarnya.

Selain menerima keluhan dari masyarakat tentang pembangunan gereja-gereja yang melebihi kebutuhan Kiai Kholil juga mengaku menerima laporan tentang cara-cara orang Kristen menjalankan misi dakwahnya kepada umat Islam. Salah satu cara misionaris yang banyak dikeluhkan oleh warga muslim, ungkap Klal Kholil, adalah menyekolahkan anak-anak muslim ke sekolah Kristen secara gratis ditambah berbagai macam bantuan. Orang tua dari anak-anak yang disekolahkan itu memang tidak bisa berbuat apa-apa meski tahu anaknya telah pindah agama, tapi para tetangganya jadi resah. Nah dalam keresahan itu mereka lapor kepada saya," lanjutnya.

Dalam rangka menampung aspirasi warga yang reseh Kiai Kholil memang pernah mendatangi Bupati Situbondo dan menyampaikan keluhan agar pembangunan gereja di tengah pemukiman umat Islam jangan diteruskan. Sebab jika hal itu dilanjutkan dikhawatirkan akan terjadi kerawanan-kerawanan. Di samping itu, Kiai Kholil juga meminta agar cara-cara para misionaris mengkristenkan umat Islam itu ditinjau kembali. Namun apa yang telah ditempuh oleh Kiai Kholil sepertinya tidak mendapat tanggapan berarti.

H Fathurrasyid, wakil kepala sekolah Ibrahimy menuturkan bahwa cara-cara warga Kristen berdakwah memang sudah menyinggung perasaan umat Islam. Untuk menunjukkan bahwa jumlah mereka besar, misalnya, diadakanlah suatu kebaktian yang dihadiri oleh puluhan orang yang datang di suatu rumah dengan mengendarai mobil. "Padahal dalam kebaktian itu yang datang adalah orang-orang dari luar kota. Karena hal seperti itu sering dilakukan, maka rumah warga Kristen itu berangsur-angsur berubah fungsi menjadi seperti gereja. Dan semua perkembangan itu diamati oleh warga sekitar," ujarnya.

Terlepas dari persoalan toleransi hidup beragama yang dianjurkan oleh pemerintah, ungkap Fathurrasyid, tindakan umat Kristen dalam mengembangkan agamanya di Situbondo dirasakan oleh warga muslim setempat seperti menantang-nantang perkara. Namun semua itu tetap teredam karena para kiai di Situbondo tidak menghendaki terjadinya kekisruhan dalam masyarakat. "Jadi persoalan gereja di Situbondo pada pertengahan 1996 sudah memanas situasinya, ibarat api di dalam sekam," ujar Fathurrasyid.


[Daftar Isi]    [Previous]   [Next]