Bab II
Paparan Data dan Temuan
  
6. Hubungan Patron-Client Kiai-Masyarakat


Eksistensi kiai sebagai figur sentral di tengah masyarakat muslim Situbondo sebagaimana terurai di muka, pada kenyataannya memberikan pengarah yang tidak kecil bagi masyarakat peranakan Cina di daerah tersebut. Artinya, meluasnya keyakinan bahwa figur kiai sebagai pimpinan umat yang memiliki kekuatan adi-duniawi berupa barokah dan karomah tidak hanya diyakini warga muslim keturunan Madura melainkan diyakini pula warga non-muslim keturunan Cina.

Franky Sastrowijoyo, 37, warga keturunan Cina yang menjadi pengusaha sukses di Situbondo menuturkan bahwa hubungan antara masyarakat peranakan Cina dengan para kiai umummya sangat dekat. Sebab warga peranakan Cina memiliki keyakinan jika para kiai memiliki semacam kekuatan adi-duniawi berupa berkah dan keramat. Itu sebabnya, hampir setiap warga peranakan di Situbondo selalu meminta "syarat" kepada kiai dalam kaitan dengan persoalan ekonominya. Bahkan apa yang disarankan oleh kiai pasti dipatuhi oleh mereka.

"Saya sendiri selalu sowan ke KH Sofyan dan KH Kholil untuk meminta bantuan spiritual" ujar Franky. Karena itu, ungkapnya, semua saran yang diberikan oleh dua orang kiai panutannya itu selalu dipatuhinya. Karyawan di toko swalayan Kartini Dharma Sentosa, misalnya, 99 prosen beragama Islam. Mereka itu semuanya diwajibkan sholat, termasuk melaksanakan sholat Jum’at. Bahkan sebulan sekali, pihak perusahaan menyelenggarakan pengajian.

Franky sendiri sejauh itu dikenal oleh umat Islam Situbondo sebagai warga peranakan yang sangat toleran dan patuh pada para kiai. Hal itu setidaknya terlihat dari seperangkat sound-system sewaan yang dimilikinya yang sering dipinjam umat Islam untuk pengajian. "Kalau sound-system itu sudah dipinjam untuk pengajian dan pada saat yang sama ada yang mau menyewa, maka yang menyewa itu akan saya tolak," ujar Franky yang tokonya dalam kerusuhan itu tidak diganggu sedikit pun oleh massa rakyat.

Henky, 28, pengusaha perdagangan eceran yang memiliki toko grosir di Situbondo menuturkan bahwa hubungan antara warga keturunan Cina dengan warga pesantren terutama kiai berlangsung sangat baik. Sejumlah koperasi pesantren, misalnya, jika membeli barang berasal dari tokonya yang secara khusus memberikan rabat. "Hampir semua koperasi pesantren kalau kulakan di toko saya. Bahkan pengurus PCNU pun jika mengambil barang dalam jumlah besar ya dari toko saya," ujar Henky.

Henky sendiri selalu aktif dalam aktivitas yang diselenggarakan oleh PCNU Situbondo. Dalam berbagai aktivitas seperti konferensi cabang, misalnya, ia selalu berusaha hadir dan memberikan bantuan semampunya. "Saya tahu bahwa orang-orang NU itu bisa bekerjasama dengan siapa saja, sepanjang hal itu bersifat muamalah. Dan selama ini, saya belum pernah ada masalah dengan warga NU," ujar Henky.

H Fatchurrasyid, 39, Wakil Kepala Sekolah SNA Ibrahimy yang juga Pengurus Cabang NU Situbondo menuturkan bahwa warga peranakan Cina di Situbondo memang memiliki hubungan dengan para kiai terutama dalam soal muamalah. Malah tidak kurang di antara warga peranakan yang umumnya bekerja sebagai pedagang itu terlihat datang ke kiai untuk meminta bantuan spiritual dalam kaitan dengan perkembangan usahanya. "Mereka itu banyak yang meminta syarat kepada kiai agar dagangarnya laris, usahanya lancar, pengobatan, malah pengusaha tambak pun meminta syarat agar hasil tambaknya melimpah dan tambaknya tidak mengalami gangguan. Bahkan setahu saya, sekalipun mereka itu non-muslim tapi kalau disuruh kiai membaca amalan tertentu pasti mereka lakukan," ujar Fatchurrasyid.

Pola hubungan patron-client antara kiai dengan warga masyarakat keturunan Cina di Situbondo pada umumnya sangat baik. Dalam pola hubungan itu, kiai sebagai patron memberikan perlindungan, saran, naungan spiritual, dan pengarahan kepada warga keturunan Cina. Sebaliknya, warga keturunan Cina sebagai client membalas pemberian kiai itu dengan bantuan yang sifatnya finansial maupun sumbangan saran. Itu sebabnya, dalam aktivitas keagamaan dan sosial umumnya warga keturunan dengan sukarela membantu kepentingan umat Islam terutama jika aktivitas itu sudah dilegitimasi oleh kiai.

"Pada saat diselenggarakan Konferensi MWC NU SeKabupaten Situbondo, saya mengikuti dari awal sampai akhir," ujar Franky, "Dan apa yang bisa saya perbantukan,  pasti saya berikan. Karena kegiatan itu direstui kiai."

Boleh jadi karena bantuan dari para warga keturunan Cina dalam berbagai aktivitas keislaman, maka sebagian di antara mereka itu sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga NU. Malah menurut Fatchurrasyid, keterlibatan dan dukungan Franky dan kawan-kawan dalam setiap kegiatan NU hingga di antara pengurus cabang NU Situbondo memberikan gelar humor kepada Franky sebagai Ketua MWC NU Korea. "Bagaimana lagi, dalam setiap pertemuan PCNU Franky ini selalu disebut oleh kawan-kawan sebagai ketua NU MWC Korea. Sedang Henky, oleh kawan-kawan disebut sebagai ketua NU MWC Taiwan" ujar Fathurrasyid.

Pola hubungan patron-client antara kiai dengan warge keturunan Cina rupanya sudah berlangsung secara tradisional di Situbondo. Pola hubungan itu, tampaknya diwariskan dari Generasi sebelumnya kepada generasi berikutnya. Itu sebabnya, warga keturunan Cina sekalipun menjadi pendeta agama Kristen tetap menjalin hubungan baik dengan umat Islam.

Samuel Lie, 41, Ketua Badan Musyawarah Antar Gereja (BAMAG) Situbondo menuturkan bahwa hubungan baik antara dirinya dengan para kiai NU setidaknya adalah warisan keteladanan dari orang tuanya. Pada saat Masjid Nurul Anshar dibelakang Kantor NU dibangun, demikian Samuel, orang tuanya ikut berjuang keras membantu terutama dalam pendanaan. "Itu sebabnya, saya tidak percaya jika para kiai NU berada dibalik peristiwa kerusuhan 10 Oktober itu. Sedikit pun saya tidak mencurigai para pimpinan NU," ujar Samuel.

Ditinjau dari segi antropologis perasaan kedaerahan dan kesukuan yang melekat erat dalam diri setiap individu atas kelompok sangat sulit dihilangkan, kecuali bagi mereka yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Manakala perasaan kesukuan atau rasa bangga terhadap ciri-ciri kepribadian kelompoknya berlebih-lebihan, mereka cenderung memandang rendah kelompok lain, atau paling tidak menganehkan kebudayaan orang lain di luar kelompoknya (Koentjaraningrat 1981: 155). Masyarakat Madura di Situbondo, secara alamiah tampaknya tidak terlepas dari fenomena antropologis ini yakni menganehkan kebudayaan dan agama etnis perarakan Cima, demikian sebaliknya.

Realita sosial tentang adanya dua kelompok etnis yang berbeda yaitu etnis Madura yang beragama Islam dengan etnis peranakan Cina yang beragama non-Islam, tidak dapat dipungkiri akan memiliki pengarah yang tidak kecil dalam hubungan sosial antar etnis. Namun demikian, keberadaan kiai sebagai patron bagi kedua kelompok itu telah memberikan suatu suasana harmoni dalam kehidupan sosial. Dengan begitu, dapat ditegaskan bahwa selama figur kiai memelihara harmonisasi hubungan antar dua kelompok etnis itu maka selama itu pula tidak akan terjadi konflik di antara mereka. Dan sejauh ini, para kiai besar di Situbondo tetap tidak bergeming dari kedudukannya sebagai patron dari kedua kelompok tersebut.


[Daftar Isi]    [Previous]   [Next]