Bab II
Paparan Data dan Temuan
 
 
3. Sejarah Masa Silam


Di masa silam, daerah Situbondo merupakan daerah penting di pantai utara bagian timur pulau Jawa. Sebab di kawasan itu terdapat pelabuhan-pelabuhan penting seperti Panarukan, Kalbut dan Jangkar. Malah kota Panarukan pada abad ke-14 merupakan salah satu pangkalan penting bagi kerajaan Majapahit. Di Panarukan sudah berdiri kerajaan Keta (nama itu abadi sebagai desa Ketah di kecamatan Suboh, Situbondo - pen). Untuk merebut Keta - sebagaimana dituturkan dalam Negarakretagama pupuh XLIX/3 – Majapahit melakukannya dengan kekuatan senjata.

Kawasan Situbondo di masa silam termasuk ke dalam wilayah Wirabhumi. Dilihat dari segi nama, dapat diasumsikan bahwa penduduk di kawasan Wirabhumi adalah orang-orang yang memiliki sifat ksatria yang gagah perkasa dan tidak gampang tunduk kepada siapa saja yang ingin menguasai mereka. Mereka adalah orang-orang yang memiliki harga diri dan kehormatan tinggi. Mereka adalah orang-orang yang ingin merdeka dari tekanan siapa pun yang datang dari luar.

Sejarah setidaknya telah mencatat bahwa di daerah Wirabhumi ini telah sering pecah peperangan. Perang terbesar yang pada gilirannya meruntuhkan Majapahit, yakni Perang Paregreg terjadi di kawasan ini. Sejak kekuatan Bhre Wirabhumi dihancurkan Wikramawardhana dalam Perang Paregreg, daerah Wirabhumi seperti "terlepas" dari kontrol Majapahit. Rakyat di daerah itu menyusun sejarahnya sendiri. Bahkan saat agama Islam sudah menyebar di pulau Jawa abad ke-16, kawasan Wirabhumi sepertinya tetap berada di dalam cengkeraman raja-reja lokal yang masih beragama Hindu.

Pada 1535 Masehi seorang musafir Portugis bernama Galvao mengunjungi Panarukan. Galvao mencatat bahwa masyarakat di kawasan itu masih beragama Hindu. Seminggu sebelum kedatangannya, demikian Galvao, ia mendengar cerita bahwa ada seorang janda yang baru saja membakar diri untuk ikut mati bersama suaminya. Pada 1546 Sultan Trenggana dari Demak menyerang Panarukan dan beliau gugur dalam serangan tersebut. Sekalipun harus ditebus dengan gugurnya Sultan Trenggana, namun Demak berhasil menguasai wilayah Panarukan. Agama Islam pun mulai berkembang di Panarukan. Tahun 1575 -- secara tiba-tiba -- Panarukan direbut oleh raja Blambangan, Santaguna, yang masih beragama Hindu.

Pada 1579 seorang romo Jezuit, Bernardino Ferrari mengunjungi Panarukan untuk melayani orang-orang Portugis yang tinggal di situ. Ia berlayar dengan kapal Portugis yang berpangkalan di Malaka. Di kota pelabuhan itu ia mendapat sambutan ramah. Raja Santaguna bahkan meminta, dengan perantaraan perutusan, supaya lebih banyak misionaris dikirim.

Kira-kira tahun 1585 romo-romo kelompok biarawan Capucijn dari Malaka yang beroperasi juga di Blambangan berhasil mentahbiskan seorang "imam berhala", saudara sepupu raja "kafir" (Santaguna) di situ menjadi orang Kristen. Beberapa waktu berselang, bangsawan yang telah dikristenkan itu dibunuh oleh rakyat (De Graef, l986).

Tahun 1596 raja Pasuruan melakukan serangan ke Panarukan yang saat itu dirajai oleh keturunan Raja Santaguna yang dipertahankan pasukan-pasukan dari Bali pimpinan Jelantik. Dalam suatu pertempuran yang sengit, pasukan Islam berhasil meraih kemenangan bahkan berhasil menewaskan Jelantik. Dan sejak tahun 1600 -- begitu menurut catatan sejarah -- Panarukan telah menjadi Islam.

Kisah-kisah sejarah di kawasan Wirabhumi -- jika dikaji secara cermat -- cukup banyak yang mengandung muatan "rekayasa" politik di dalamnya yang seringkali meletus dalam bentuk pertempuran besar yang mengakibatkan jatuhnya korban rakyat kecil. Kisah pemberontakan Patih Mangkubhumi Nambi di awal abad ke-14, misalnya, adalah hasil rekayasa dari tokoh Mahapatih yang berambisi menjadi Patih Mangkabhumi. Dengan suatu manuver politik yang rapi, Mahapatih berhasil menyudutkan Nambi sebagai pejabat yang akan mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah pusat. Hasilnya, benteng Pajarakan yang menjadi basis kekuatan Nambi dihancurkan pasukan Majapahit. Nambi sekeluarga beserta pengikut-pengikutnya terbunuh. Dan Mahapatih, setelah peristiwa itu diangkat menjadi Patih Mangkubhumi Majapahit (Mulyana, l979).

Pada perempat akhir abad 16, menurut catatan sejarah daerah Situbondo tepatnya di sekitar Demung dan Ketah telah dijadikan ajang pertempuran akibat pertarungan antar kepentingan kelompok yang bersengketa dalam upaya merebut kekuasaan Mataram dari Amangkurat I. Dalam pertempuran itu, kekuatan Mataram yang berada di bawah perintah Amangkurat I berhadapan dengan pejuang Makassar yang secara rahasia berada di bawah perintah Adipati Anom, putera mahkota.

Menurut catatan Belanda dalam Daghregister 25 Januari 1674, Demung dekat Panarukan telah dijadikan benteng pertahanan oleh pasukan Makassar di bawah pimpinan Karaeng Bonto Marannu. Sejak Oktober 1674, orang-orang Makasar itu ditengarai telah menjadikan Demung sabagai tempat tinggalnya.

Pangeran Adipati Anom - putera mahkota Amangkurat I - yang mengincar kedudukan ayahandanya, rupanya telah menjalin hubungan rahasia dengan pimpinan warga Makassar di Demung yakni Karaeng Bonto Marannu. Dalam hubungan itu, terjalin pula sedikit hubungan antara orang-orang Makassar dengan Madura. Ini dikarenakan, Pangeran Adipati Anom juga menjalin hubungan rahasia dengan menantu Panembahan Rama yakni Trunojoyo dari Madura. Tetapi hubungan kedua kelompok itu tidak menjadi akrab dan tidak berlangsung lama pula. Itu disebabkan oleh kepentingan masing-masing terlalu banyak berbeda (De Graaf,l987).

Dalam catatan sejarah diketahui bahwa orang-orang Makassar di akhir 1674 dari pangkalannya di Demung telah melakukan penyerangan ke kota-kota di sepanjang pantai utara Jawa Timur. Kota pelabuhan Gerongan yang merupakan pelabuhan beras, misalnya, dalam waktu singkat dikuasainya. Mereka bahkan membunuh awak perahu milik warga Batavia Struys. Anehnya, para pejabat Mataram di kawasan pantai utara tak menunjukkan reaksi melihat daerahnya dilanda kerusuhan.

Menurut De Graaf (l987) Pangeran Adipati Anom rupanya telah memberikan perintah agar para pejabat Jawa tidak mengambil tindakan terhadap orang-orang Makassar yang melakukan penyerangan dan perampasan itu. Kepatuhan para penguasa setempat -- yakni bupati-bupati di daerah Surabaya dan Gresik -- atas perintah Pangeran Adipati Anom itu ternyata berakibat fatal. Sebab Sunan Amangkurat I kemudian memerintahkan agar para pejabat itu dibunuh.

Sejarah memang mencatat bahwa dalam proses suksesi atas kekuasaan Amangkurat I itu, telah terjadi berbagai macam rekayasa politik yang mengorbankan nyawa rakyat kecil yang terombang-ambing oleh ketidak-pastian angin kekuasaan. Para pejabat daerah setingkat bupati dihadapkan pada pilihan untuk patuh pada dua jalur perintah yang bertolak-belakang yakni perintah dari putera mahkota dan perintah sunan.
Akibat dari manuver politik yang makin lama makin transparan itu, Pangeran Adipati Anom pada gilirannya dituduh mau merebut kekuasaan selagi ayahandanya masih berkuasa. Karena itu, ia dibenci oleh Sunan yang sudah tua itu, dan adiknya Pangeran Singasari ditetapkan sebagai pengganti ayahnya. Pangeran Puger dan Pangeran Sampang, memang telah menyatakan dukungan terhadap Pangeran Adipati Anom sebagai pengganti ayahnya, tetapi banyak pangeran lain yang bersumpah akan mendukung keputusan Sunan.

Kekisruhan situasi akibat proses suksesi dewasa itu berlangsung di mana-mana. Kekacauan yang pecah di pedalaman Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah, dikendalikan oleh Trunojoyo yang berpangkalan di Kediri. Sedang kekacauan di pantai utara Jawa Timur dan sebagaian Jawa Tengah dikendalikan oleh orang-orang Makassar di bawah Karaeng Bonto Marannu, Karaeng Galesong, Karaeng Tallo, dan sebagainya.

Menurut Jonge (dalam De Graaf, 1987) Sunan Amangkurat I yang marah karena merasa dikhianati putera mahkota itu mengirimkan 100 perahu perang ke Demung dengan membawa pasukan ribuan orang. Pasukan dipimpin Raden Prawirataruna dan Rangga Sidayu. Kekuatan laut Mataram itu kemudian bergabung dengan armada Belanda pimpinan Jan Franszen. Dan antara 17 - 24 Mei 1676 terjadi pertempuran antara pasukan Jan Franszen dengan pasukan Makassar di Demung. Sedang pasukan Rangga Sidayu bertempur di Keta. Namun dalam serbuan itu, pihak Mataran mengalami kehancuran dan panglima-panglima perangnya tewas dengan cara mengenaskan.

Rekayasa yang dilakukan oleh Pangeran Adipati Anom untuk merebut kekuasaan ayahandanya itu pada akhirnya memang berhasil sukses. Sebab setelah terjadi kerusuhan-kerusuhan di berbagai daerah yang akhirnya marak ke ibukota Mataram hingga Amangkurat I yang rambutnya sudah penuh uban itu mengungsi dan kemudian mati di Wanayasa tepatnya di Tegalwangi sebagaimana ditulis dalam Babad Tanah Jawi, maka Pangeran Adipati Anom diangkat menjadi raja Mataram. Namun dalam catatan Valentijn (dalam De Graaf, 1987) disebutkan bahwa untuk mempercepat matinya Sunan Amangkurat I dalam pengungsian itu, putera mahkota yakni Pangeran Adipati Anom telah memberikan sebutir pil.

Terlepas dari keberhasilan Pangeran Adipati Anom dalam melakukan rekayasa untuk merebut kekuasaan dari ayahnya, yang jelas akibat dari rekayasa itu adalah kehancuran daerah di sekitar Demung dan Ketah akibat perang dan kerusuhan. Bahkan tidak terhitung berapa jumlah korban yang harus mati dalam rekayasa itu. Yang jelas, korban itu umumnya adalah rakyat pedesaan dan prajurit-prajurit rendahan.

Berdasar uraian di muka, terdapat suatu petunjuk bahwa masyarakat di kawasan ini adalah komunitas yarg sangat fanatik terhadap agama yang dianutnya, sekaligus memiliki kecenderungan nativis yakni enggan menerima pengarah dari luar yang tidak sesuai dengan budaya mereka yang heroik yang terbentuk oleh latar sejarah mereka yang penuh diwarnai peperangan dan rekayasa politik.


[Daftar Isi]    [Previous]   [Next]