Bab II
Paparan Data dan Temuan
 
10. Tindakan Aparat Keamanan


Sekitar pakul 16.00 -- sekalipun sangat terlambat -- pihak aparat keamanan baru diketahui masyarakat memasuki kota Situbondo. Mereka berasal dari Batalyon Infanteri 512 Probolinggo, Batalyon Kostrad 514 Bondowoso, Batalyon 509 Jember, Korem Malang, dan Satuan Brimob Surabaya. Pada pakul 16.00 itu, menurut para saksi mata, keadaan di Situbondo sudah tidak hingar-bingar karena para perusuh kebanyakan sudah pulang ke rumah masing-masing. Namun demikian, warga masih cukup banyak yang terlihat di jalan-jalan baik karena ada keperluan lain maupun menonton sisa-sisa reruntuhan bangunan yang terbakar. Kehadiran aparat keamanan pada sore hari itu ternyata tidak sekedar berjaga-jaga memantau keamanan, melainkan melakukan penangkapan penangkapan atas warga yang dicurigai melakukan kerusuhan. Karena sore itu kerusuhan sudah redah, maka pihak aparat keamanan tidak dapat menangkap basah para perusuh. Itu sebabnya pihak aparat keamanan kemudian menangkapi siapa saja di antara warga Situbondo yang berada di jalan-jalan tanpa pandang bulu.

Nur Dawam, 17, Siswa kelas 2 SMU Ibrahimy menuturkan bahwa sore itu sekitar pukul 15.30 ia dan kawannya sedang naik becak karena akan membeli bakso di depan STM Daerah di Jl. Basuki Rachmat, Situbondo. Sore itu, ungkapnya, kawannya itu akan berbuka puasa dengan makan bakso di sana yang terkenal enak. Namun mendadak saja, kenang Nur, becaknya dihentikan tentara. "Setelah itu saya diseret sambil dipukuli. Saya dilemparkan ke atas truk tentara. Saya kemudian dibawa ke kantor Kodim," ujar Nur Dawam yang mengaku masih ketakutan mengingat kejadian itu.

Begitu sampai di kantor Kodim, ungkap Nur Dawam, tanpa ditanya begitu turun dari truk ia langsung disambut pukulan dan tendangan aparat. Sesudah itu, lanjutnya, ia dibawa ke dalam ruangan untuk disiksa secara marathon sampai malam. "Selain ditinju wajah dan kepala saya, para tentara itu menendangi dan menginjak-injak tubuh saya," ujarnya menunjukkan bekas luka di punggungnya akibat sepatu tentara.

Selama disiksa itu, kenang Nur Dawam, para tentara itu terus-menerus menginterogasinya dengan kata-kata: - Kamu anak buah Kholil ya? Kamu diberi apa sama Kholil? Ayo keluarkan! Dan setelah cukup lama disiksa, aku Dawam, ia baru diberi kesempatan istirahat. Ia mengaku diberi nasi sebungkus oleh aparat. "Tapi nasi sebungkus itu untuk dimakan 5 orang. Dan kami sama sekali tidak diberi minum," ujar Nur Dawar yang dilepas begitu saja pada hari Jum'at 11 Oktober 1996 setelah tubuhnya babak-belur disiksa.

Dalam penangkapan dan penyiksaan itu yang tergolong banyak ditangkap adalah Siswa SMU, SMEA dan STM Ibrahimy yang dikelola oleh Yayasan As’adiyah dan diketuai oleh KH Fawaid As’ad itu ditambah santri dari pesantren Walisongo pimpinan KH Kholil As’ad. Namun setelah disiksa dan tidak terbukti terlibat kerusuhan, sekitar 40 orang siswa dan santri itu dilepaskan kembali oleh pihak aparat. Sedang sisa mereka yang belum dilepaskan dan kemudian akan diadili di pengadilan sekitar 12 orang santri Walisongo dan 11 orang siswa SMU, SMEA dan STM Ibrahimy.

Menurut KH Kholil, Pengasuh Pesantren Walisongo, para santri yang ditangkap oleh aparat keamanan itu adalah mereka yang keluar dari kompleks pesantren untuk melihat kerusuhan. Sebenarnya, ungkap Kiai Kholil, ibundanya selaku sesepuh pesantren sudah berteriak-teriak memanggil anak-anak santri yang lari keluar kompleks pesantren. "Tapi namanya anak-anak umur 13 sampai 14 tahun, dan mereka kebanyakan berasal dari anak-anak nakal yang dititipkan di sini oleh orang tuanya, maka panggilan ibu saya itu tidak mereka dengar. Akibatnya, mereka ditangkap aparat," ujar KH Kholil yang adalah menantu KH Achmad Sofyan.

Penangkapan terhadap santri pesantren Walisongo, ungkap Kiai Kholil, seyogyanya akan dilakukan juga dengan cara menjemput santri-santri itu di dalam kompleks pesantren. Namun, lanjutnya, pihak aparat yang sudah membawa truk militer dan mengitari kompleks pesantren itu tidak jadi masuk ke kompleks pesantren. "Kalau malam itu bapak-bapak tentara masuk ke kompleks pesantren, saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Yang jelas akan terjadi keributan."

Ceritanya, ungkap KH Kholil, setelah pecahnya peristiwa kerusuhan 10 Oktober itu pondak pesantren Walisongo selama beberapa malam dikitari truk tentara. Satu malam, lanjutnya, truk tentara itu berhenti di dekat kompleks pesantren. Kemudian Jaenuri, SH, seorang pengacara dari Jangkar diminta aparat untuk masuk ke dalam kompleks pesantren. Namun Jaenuri menyatakan tidak berani meski ia diancam akan ditempeleng. "Jaenuri kepada saya mengaku jika malam itu ia menyatakan kalau pihak tentara disuruh masuk sendiri jika berani. Ternyata, menurut Jaenuri, pihak tentara tidak berani mengambil resiko dan kembali," ujarnya.

Sebenarnya, ungkap KH Kholil, malam itu ratusan tukang becak, santri, warga kampung, pedagang pasar, dan simpatisan pesantren Walisongo sudah mengepung kompleks pesantren dengan berbagai macam senjata mulai clurit sampai batu. Itu sebabnya, lanjutnya, jika malam itu truk tentara masuk ke kompleks pesantren maka orang-orang yang mengepung itu akan menyerang beramai-ramai. "Saya sendiri baru tahu kalau pesantren sudah dikepung massa yang siap membela kehormatan pesantren dan kiai ya dari mereka sendiri," ujar KH Kholil.

Secara sosio-antropologis apa yang dikemukakan oleh KH Kholil As'ad tentang massa rakyat yang siap menyerang truk tentara yang akan masuk ke dalam kompleks pesantren, memang tidak dapat disangkal kemungkinannya. Sebab bagi etnis Madura yang sejak kecil didoktrin bahwa seorang kiai adalah penerus nubuwah Nabi Muhammad SAW, membela kiai adalah dianggap sama dengan membela Nabi Muhammad SAW. Bahkan bagi warga Madura yang tidak taat beribadah dan hidup bergelimang kemaksiatan pun, terdapat anggapan bahwa mati membela kiai adalah sama dengan mati membela nabi yang berarti mereka yakin akan masuk ke dalam surga tanpa hisab.

Tindakan aparat keamanan menangkapi dan memburu santri-santri pesantren Walisonyo -- yang ironisnya membiarkan pengikut KH Zaini yang terlibat langsung dalam kerusuhan -- sedikitnya telah menimbulkan tanda tanya bagi warga Situbondo. Itu sebabnya warga Situbondo kemudian mencari-cari rangkaian "benang merah" dari kebijakan aparat yang kontroversial itu. Dan salah satu rangkaian "beneng merah" itu setidaknya dikaitkan dengan pecahnya insiden di Balai Desa Mimbaan pada Juni 1996 yang melibatkan santri pesantren Walisongo dengan pamong desa Mimbaan.

Cerita tentang insiden itu, menurut H Fatchurrasyid yang dibenarkan Ustadz H Syamsuddin Noor, dimulai dari keinginan para santri pesantren Walisongo untuk didaftar sebagai calon pemilih dalam Pemilu 1997 oleh pihak Pantarlih. Sebab sejauh itu, para santri seperti sengaja tidak didaftar oleh Pantarlih. "Mungkin Pantarlih dan pamong beranggapan bahwa suara para santri itu pasti disalurkan ke PPP, sehingga mereka tidak perlu didaftar sebagai pemilih dalam Pemilu 1997 mendatang," ujar Rasyid.

Sebagai warganegara yang merasa memiliki hak untuk memilih, demikian Fatchurrasyid, para santri itu berulang ulang datang ke Balai Desa untuk menanyakan soal pendaftaran, calon pemilih oleh Pantarlih. Mereka meminta hak mereka untuk ikut dalam Pemilu 1997. Pihak pamong dan Pantarlih yang tidak punya alasan untuk menolak tuntutan para santri itu, ungkap Rasyid, akhirnya memberikan kartu model A kepada para santri. Jumlah seluruhnya adalah 218 kartu. "Tapi kartu model A yang diberikan kepada santri itu hanya 17 yang ditandatangani Pantarlih. Yang 201 lembar, tidak ada tanda tangannya Pantarlih," ujar Rasyid.

Merasa bahwa 201 kartu yang dimiliki belum ditandatangani Pantarlih, ungkap Rasyid, para santri kemudian beramai-ramai mendatangi Balai Desa Mimbaan. Kepada pamong setempat mereka meminta agar Pantarlih berkenan menandatangani kartu A yang mereka bawa. Namun jawaban dari pihak pamong justru jauh dari harapan para santri, karena para pamong justru memaki-maki para santri itu sebagai orang-orang tolol yang bisanya membikin keributan saja. Bahkan dalam kasus itu, lanjut Rasyid, para pamong justru menyalahkan santri.

"Karena merasa dipermainkan dan dihina maka para santri menjadi marah," ungkap Rasyid, "Itu sebabnya, mereka kemudian memukul meja dan membentak pamong bersangkutan. Melihat para santri marah, para pamong melarikan diri dengan melompati pagar kelurahan. Sebaliknya, karyawan wanita menjerit-jerit histeris. Suasana menjadi kacau. Para santri kemudian membalik meja dan kursi serta sepeda motor yang ada di Balai Desa.

Zainul Aini, 23, warga pesantren Walisongo yang terlibat dalam peristiwa di Balai Desa Mimbaan menuturkan bahwa kemarahan para santri dalam kasus itu karena mereka merasa dipermainkan dan dihina pamong. Ceritanya, ungkap Zainul, para santri Walisongo tidak ada yang didaftar oleh petugas pantarlih. Itu sebabnya, para santri menuntut haknya untuk bisa ikut memilih dalam Pemilu 1997.

Pada saat para santri mendatangi Pantarlih, ungkap Zainul, mereka disuruh menghadap carik yakni Haji Rasidi. Oleh carik Rasidi, disebutkan bahwa belum didaftarnya para santri itu karena ada kekhawatiran jika mereka didaftar dua kali di desanya dan di pesantren. Karena itu, para santri itu disarankan menghadap kepala desa. "Akhirnya para santri menghadap ke kepala desa dengan berjalan kaki dari pesantren ke Balai Desa. Di sana, para santri disuruh menunggu. Dan setelah menunggu berjam-jam, para santri disuruh pulang dengan alasan bermacam-macam. Begitu seterusaya sampai sekitar 9 kali para santri bolak-balik," ujar Zainul.

Setelah kedatangan yang kesembilan kalinya, begitu Zainul Aini, barulah para santri didaftar. Saat itu jumlah yang didaftar ada 218 orang. Namun saat kartu pendaftaran itu dibuka di pesantren, ternyata hanya 17 lembar saja yang ditandatangani oleh pantarilh. "Karena kami sudah membaca Keputusan Mendagri yang menegaskan bahwa kartu itu baru sah jika sudah ditandatangani oleh pantarlih, maka para santri balik kembali ke Balai Desa untuk minta tanda tangan dari pantarlih. Mereka datang 9 orang," ujar Zainul Aini.

Pada saat kesembilan orang santri itu meminta tanda tangan, ungkap Zainul, pihak carik desa mempersulit dan malah memarahi mereka. Dimarahi seperti itu, para santri menjadi marah. "Kemudian saya lihat Muhammad Thoin menggebrak meja dan marah-marah sambil masuk ke kantor desa. Sesudah itu para santri memburu carik untuk dimarahi ganti. Namun carik lari dengan melompat pagar dan kemudian naik becak. Saat itu anak-anak melihat ada pegawai desa membawa motor mau lapor ke polisi," ujar Zainul yang tidak lain adalah adik kandung ibunda KH Kholil As'ad.

Melihat pegawai desa akan melapor, para santri menjadi marah. Petugas itu digelandang masuk ke dalam kantor dan ban motornya digembosi. Kabel telepon pun diputus agar tidak bisa digunakan lapor petugas. "Anehnya, tidak lama setelah kejadian itu mendadak saja saya lihat ratusan kawan-kawan santri mendatangi Balai Desa. Mereka itu kemudian ada yang membalik-balikkan meja dan kursi. Untung Pak Fathurrasyid datang, sehingga semua santri bisa ditenangkan. Dan rupanya, kawan-kawan datang ke Balai Desa itu karena ditelepon orang yang menyatakan kalau kami berkelahi di sana," ujarnya.

Mochammad Thoin sendiri mengakui bahwa dialah yang memulai menggebrak meja di Balai Desa. Sebab saat ia dan kawan-kawannya dimarahi oleh carik, orang-orang yang menonton di sekitar Balai Desa itu ada yang menyatakan jika santri-santri Kiai Kholil dijadikan permainan oleh pamong desa Mimbaan. "Mendengar omongan itu, saya langsung marah dan menggebrak meja," ujar Thoin.

Insiden di Balai Desa Mimbaan itu, menurut Fathurasyid, kemudian diselesaikan oleh pihak Kodim, Koramil, Polres, Camat, dan pamong setempat. Namun insiden itu sempat menjadi pembicaraan hangat warga Situbondo. "Boleh jadi karena dendam dengan anak-anak santri Walisongo, maka pihak aparat kamudian "memberi pelajaran" kepada mereka ketika terjadi kerusuhan 10 Oktober yakni mereka ditangkap dan digebuki," ujar Rasyid menafsirkan.


[Daftar Isi]    [Previous]   [Next]