KENANGAN RTP POLTABES MEDAN
                         ===========================
     
        Pengalaman Menarik

            Ketika aku memasuki RTP dengan seragam bertuliskan "TAHANAN
    POLTABES MEDAN" 042, semua para tahanan di dalam berbaris di
    lorong tengah dan berucap selamat malam pak Muchtar, selamat
    datang, dan kusambut selamat malam dan selamat bertemu, seterusnya
    aku masuk blok C, di sanalah aku jadi anggota.  Mereka mengelilingi
    aku di sana, satu di antaranya kukenal, Pinta Tarigan, teman
    kuliahku dulu di Fakultas Hukum USU Medan.  Dari pembicaraan
    sebentar, aku tangkap kesan, mereka cukup akrab dengan namaku.
    Aku meminta izin mereka, aku berdo'a "kuatkanlah aku Tuhan,
    seperti hambamu Paulus yang terpenjara".  Setelah amin, kami masih
    teruskan ngobrol-ngobrol tentang situasi di dalam tahanan.
            Sedikit kugambarkan suasana RTP Poltabes Medan.  RTPnya
    terdiri dari lima blok, blok A untuk wanita waktu itu dihuni
    14 orang, blok B VIP (katanya kamar itu dibayar kalau mau di sana,
    terjamin tidak tersiksa), waktu itu dihuni 4 orang semua Cina,
    blok C dihuni 21 orang pria, blok D dihuni 20 orang pria dan blok
    E dihuni 18 orang.  Masing-masing blok terdiri dari tiga ruangan,
    dua ruangan besar 4 X 8 m, satu lorong 2 x 10 m, ditambah 6 ruang
    kecil yang hanya muat satu orang, dan dua kamar mandi kecuali
    blok C tidak ada airnya.  Setiap blok dipimpin oleh seorang Kepala
    Ruangan, blok C waktu itu dipimpin di Kumis (Ray) mulai tanggal
    16 diganti oleh Aceng.  Blok D dipimpin Pasaribu, mulai tanggal
    18 tidak ada karena dilebur dengan blok C.  Blok E dipimpin Pinta
    Tarigan, mulai tanggal 24 Agustus diganti Pangaribuan.
            Inilah kehidupan baruku, sesak, bau dan pengab.  Banyak di
    antara teman-temanku bajunya sudah lama tidak dicuci, dan banyak
    juga sudah lama tidak bersikat gigi.  Yang jelas, kepalaku mulai
    pusing, ingusku tidak berhenti menetes.
            Jam 24.00 wib malam, petugas jaga menghardik sambil menggedor
    pintu dan berseru "apel" serentak semua berhamburan ke lorong, dan
    menghitung tahanan dengan berteriak barisannya masing-masing.  Blok
    C, satu, dua, tiga dst. duapuluh satu.  Lalu petugas menyatakan
    "balik kanan" masuk blok.  Ini kuikuti dengan batin yang berontak
    dan kepalaku tetap pusing.  Lalu aku menuju tempat tidur, aku buka
    bacaan harian HKBP-SSA, terambil dari Yesaya Bahasa Indonesia
    "Ya Tuhan, pemerasan terjadi padaku, jadilah jaminan bagiku".
    Tetapi aku tidak mampu membacanya dengan baik, sebab batinku tetap
    berontak dan kepalaku pusing.
            Ada satu yang menggembirakan hatiku, teman-temanku itu menyedia
    kan tempat bagiku.  Mereka semua sangat baik padaku, dan ada
    beberapa orang berulangkali menyatakan, "aku dapat wahyu bertemu
    dengan Bapak rakyat".
            Satu malaman aku tidak tidur.  Di samping kepala pusing dan
    ingus meleleh, badankupun meriang seperti demam.  Paginya jam 06.00
    pagi, "apel, apel" seru petugas penjaga.  Akupun ikut berbaris,
    blok C hitung, satu, dua, tiga dst. duapuluh satu.  Kemudian
    dilanjutkan dengan sumpah yang diucapkan secara serentak:

    1. Sumpah maling, maling bersumpah:
       Dilarang membunuh.  Dilarang memperkosa.  Dilarang mencuri barang
       orang lain yang lebih miskin dari pada kita, selebihnya boleh
       apalagi Cina.

    2. Doa maling, maling berdoa,
       Hai malaikat dan roh jahat datanglah engkau, berkatilah makanan
       dan minuman kami ini, agar kami dapat mencuri barang orang lain
       sebanyak-banyaknya.
       Hai malaikat dan roh halus datanglah engkau melalui roh
       silangkiap nasohatudosan.

    3. Keluh kesah polisi
       Polisi mengintip maling, tidak tidur, meninggalkan anak dan isteri,
       akhirnya malingpun tertangkap, diperiksa, dikirim ke Jaksa.  Jaksa
       disogok agar ringan hukumannya.  Bila tidak ada tangkapan polisi,
       begini saja kerja Jkas (sambil meggosok tangan ke kemaluan), apa
       itu? ...... ngocok!!! selesai sumpah.

    Lalu kami disuruh masuk ke blok masing-masing.

            Jam 08.00 pagi, perutku lapar, katanya sarapan tidak ada.  Jam 11.00
    wib baru ada tongseng, makan siang.  Akan tetapi sahabatku Tarigan
    sudah memesan sarapan kami, dari Dewi penjual nasi di Poltabes.  Kami
    pun sarapan bersama.
            Paginya aku tandang ngobrol-ngobrol di blok E, di mana Tarigan
    menjadi kepala blok.  Aku tawarkan kepada mereka jasa apa yang dapat
    kuberi kepada mereka.  Kami sepakati, pagi hari jam 09.00 - 11.00 kami
    penyadaran hukum, malam 21.00 - 23.00 akan kuajari Bahasa Inggris.
    Rupanya rencana ini menjadi malapetaka baru bagi semua tahanan.  Keluar
    pengumuman semua tahanan dilarang berkunjung antar blok lalu setiap
    blok dikunci dan setiap dua jam dibikin apel.  Mulai ada tahanan dari
    blok D dan E yang menggerutu, sementara semua penghuni blok C merasa
    bersyukur.  Penghuni blok C kutanya, apakah sebaiknya aku usul pindah
    ke blok B (VIP)?  mereka semua bilang jangan pak!.  SEbab dengan
    adanya aku di blok C, penganiayaan ala Gurkha tidak ada atau berkurang.
            Sekitar jam 13.00 wib, aku lihat ada dua petugas masuk ke blok C,
    aku lihat semua diam dan ketakutan.  Tak tahu apa pasalnya, ia
    memukuli tiga tahanan, mataku sendiri melihatnya lalu kutanya,
    "mengapa dipukuli?" jawab mereka "anak baru".  Rupanya adalah menjadi
    tradisi setiap anak baru dikerjai oleh petugas jaga.  Empat regu
    petugas jaga, maka empat kalilah anak baru dikerjai.  Darahku rasa
    nya mendidih ingin berontak.  Kuanggap ia juga menganiaya aku,
    menganiaya HAM (Hak Asasi Manusia).
            Malam jam 20.00, apel! apel! Kamipun berbaris.  Hitung! seru petugas.
    Satu, dua, tiga, dst. duapuluhsatu.  Tetapi sudah setengah jam kami
    belum disuruh bubar masuk blok.  Aku tanya si Kumis, Kepala blokku
    "ada apa?"  Dia jawab "malam ini kita bayar uang strategi Rp. 15.000,
    kurang Rp 7.500,- lagi.  Dan mereka bisikkan "Komandan yang ini
    sangat kejam namanya Rinaldi.  Lalu aku maju ke depan, dari teralis
    aku panggil dia, lalu kataku "katanya kamu minta uang, temanku ini
    kurang uangnya, di tasku ada uang ambillah tasku biar aku yang bayar."
    Tak kusangka ia marah-marah, ia bilang "siapa minta uang hah?" Ia
    pelototi ketiga kepala blok.  Terpaksa ketiga kepala blok menjawab
    "tidak ada pak.... tidak ada pak....".  Akhirnya kami dibubarkan dan
    Rinaldinya marah-marah terus.
            Sekitar jam 21.30, dua petugas masuk ke blok C, lalu memukuli
    para tahanan.  Kayaknya hampir semua tahanan mendapat bogem mentah.
    Ada pula di antara petugas itu yang menanya namaku dengan suara keras.
    Semalaman aku tidak bisa tidur, walaupun aku telah berdoa, minta
    kemampuan dan kesehatan.  Pusingnya kepala ini makin menjadi-jadi.
    Kursus bahasa Inggris tidak jadi, karena apel berlangsung sekali
    dua jam.
            Senin 15 Agustus 1994, jam 06.00 wib subuh kami disuruh bangun,
    apel dan membersihkan ruangan.  Jam 08.00 wib pagi apel, dilanjutkan
    dengna tiga sumpah tadi.  Aku tanya "apakah sumpah seperti itu
    dilafalkan setiap hari?" mereka yang sudah ditahan 50 hari menjawab
    "ya!".
            Hatiku protes mendengar doa maling, sumpah maling dan keluh kesah
    polisi itu.  Berarti, RTP Poltabes Medan menjadi tempat pendidikan
    penjahat dan rasialis.  Segera aku protes, dan aku kirim surat ke
    Kapolri.  Sementara kepalaku terus sakit dan pusing.
            Sebelum memeri sarapan, Dokter RTP datang melakukan pemeriksaan.
    Kepadaku ia berikan resep, dan selanjutnya kuserahkan kepada Sumarty,
    Bendahara DPP SBSI yang saat itu kebetulan di Medan.  Ketika ia sudah
    tampak dari celah teralis besi, kepada Komandan jaga Rinaldi aku
    minta tolong agar obatku diambilkan dari Sumarty.  Malah ia marah-
    marah dan berkata "semua tahanan sama".  Darahku mendidih aku tampar
    dia sambil kuucapkan "aku disini orang khusus, ngerti!? Polisi taik!!!
    Polisi anjing!!!!
            Kali ini aku yang beli sarapan pagi buat empat orang temanku.
    Kami belum seelsai sarapan, dua temanku kepala kamar dipanggil oleh
    seorang petugas.  Mereka buru-buru menghabisi nasi ramesnya.  Aku
    lihat mereka berbisik-bisik di sudut teralis besi, lalu kupanggil,
    kutanya "ada apa?"  mereka menjawab "polisinya minta duit, tapi
    nggak boleh diberitahukan sama Bapak".  Lalu ditunjukkanlah
    catatan tagihan berjumlah Rp. 22.000,-.
            Selanjutnya rekanku itu bercerita, tiga kali dalam satu hari
    setiap harinya kami harus sediakan uang, sesuai dengan shift jaga.
    Uang sarapan, makan siang, uang makan/minum malam, uang strategi dan
    uang kamar.  Uang strategi, diberikan kepada petugas jaga malam, agar
    kami tidak distrap.  Uang kamar diberikan kepada petugas jaga siang
    Rp. 3.000,- perorang yang kedatangan tamu membesuk, selain uang
    pintu dibayarkan ke depan.  Yang keluarganya datang tapi tidak kasih
    uang pintu, maka ia akan dihajar di dalam, seperti yang dialami
    Duha, hari Jum'at, 26 Agustus 1994.
            Tidak jelas kapan istilah itu mulai digunakan dan praktek seperti
    itu berlangsung.  Tetapi tetap dipesankan kepada mereka "jangan
    bilang dan jangan tagih dari pak Muchtar Pakpahan".
            Hatiku protes, "ini pemerasan" gerutuku.  Tapi akar masalah makin
    kudalami.  Suatu kali jam 02.00 pagi aku jalan keluar blok jalan di
    gang RTP, aku lihat petugas jaga tidur di kursi.  Setelah itu
    beberapa di atanranya kutanya, dari itu tersimpul beberapa jawaban.
    Gaji rendah seperti yang sudah bekerja 10 tahun, ia terima sebulan
    Rp. 240.000,- tidak ada uang transport, uang makan, jaga tiap harinya.
    Kalau masih harus diambil darigaji yang Rp. 240.000,- itu untuk
    fooding jaga, matilah keluarganya pikirku, sementara tanggung jawab
    mereka begitu besar.
            Inilah keadaan yang dapat dimaklumi, tapi tidak dapat dibenarkan.
    Harus dihentikan, tapi harus ada jalan keluar.  Masalah anggaran
    harus diperbaiki.  Memasuki hari Selasa, 16 Agustus, perasaanku
    sudah segar.  Sekitar jam 12.00 siang, aku dipanggil keluar ke kamar
    Purba.  Aku temui isteriku tercinta di sana bersama ABdul Aziz, SH
    dari LBH Medan.  Kami pelukan, ia menghiburku.  Aku tanya keadaan
    anak-anak, ia katakan sehat-sehat, dan diserahkanlah tiga pucuk
    surat dari ketiga anakku.  Selama aku membaca surat air mataku
    berderai.
     

    (berikut.  Surat anak-anak).
     

    (3)

    Catatan Journal Muchtar Pakpahan di dalam sebuah sangkar yang tidak
    diingininya, namun diterimanya sebagai bagian dari impian perjuangannya.

                         KENANGAN RTP POLTABES MEDAN
                         ===========================
                                 Ditulis oleh:
                             Dr. Muchtar Pakpahan
     

            Inilah bunyi surat anakku:

    Surat Binsar: 15 Agustus 1994.
    Semoga ayah selalu berada dalam lindungan Tuhan Yesus Kristus, kami
    semua yang di Jakarta, baik-baik dan sehat-sehat.  Waktu ayah membaca
    surat ini, Binsar harap agar ayah berteguh hati, Binsar dan adik-adik
    sadar dan mengerti kenapa ayah di tahan.  Kami cuma bisa berdoa agar
    pemerintah mau membebaskan ayah lagi dan kembali kepada kita.  Kami
    tidak malu kalau ayah ditahan.  Kami tahu ayah ditahan karena
    membela hak orang lain.  Dan perjuangan itu pasti ada pengorbanannya.
    Kami justru bangga menjadi anak pejuang.  Binsar dan adik-adik
    dengar kalau ayah sakit maagnya kambuh.  Semoga ayah lekas sembuh dan
    sehat kembali.  Ayah harus menjaga kesehatan baik-baik.

    Surat Johanes Dartha: 15 Agustus 1994
    Halloo ayah apa kabar?  Kami di sini baik-baik saja.  Tadi sore kami
    tahu dari teman ayah, bahwa ayah sudah dimasukkan dalam penjara.
    Kami menganjurkan mama ke sana untuk menemani ayah.  Tadi di sekolah
    banyak lho yang nanya "kenapa ayah di penjara?" kujelaskan aja
    seadanya.  Ayah kapan bisa pulang?  Si Iyut sering nangis lho karena
    mikirin ayah, dan ulang tahunnya nanti nggak ada ayah sama mama.
    Di rumah sepi lho, kami selalu mendoakan ayah agar dapat lekas pulang.
    Banyak telepon nanya keadaan ayah.  Cepat pulang ya yah?.  Semoga
    kita selalu berada dalam naungan kasihNya.

    Surat dari Ruth Damaihati alias Yut:
    Untuk ayah dipenjara.
    Apakah ayah di sana sehat-sehat saja?  Kalau kami semua di rumah ini
    sehat-sehat saja, walaupun ada yang sakit sih.  Ayah saya hari Rabu
    17 Agustus 1994 mungkin bisa merayakan ulang tahun dengan sendiri,
    tapi tidak undang teman-teman.  Ayah maaf karena tulisannya acak
    kadul.  Ayah, kapan sih pulang, masa mama sama ayah pergi sih, kan
    rumah jadi sepi.  Ayah apakah teman-teman sehat?  Kata mama ayah
    sakit maag dan sinus.  Kami akan berdoa selalu untuk ayah.  Mama bilang
    satu bulan lagi ayah disidangkan, jangan sedih ya yah.  Selama ayah di
    penjara kami di sini tidak menangi akan ayah di penjara.  Semoga ayah
    selalu dilindungi oleh Tuhan Allah Bapa kita.

            Selain itu aku dapat juga surat dorongan dari rekan-rekanku,
    Rekson Silaban, Tohap Simanungkalit dan Sunarti.  Doaku "semoga
    Tuhan tidak membiarkan semangat mereka lemah".
            Satu harian aku menulis Pola Strategi Berjuang SBSI dengan
    damai, sejahtera dan tanpa kekerasan.  Aku mendapatkan alat tulis dari
    rekan-rekan di dalam tahanan.
            Malamnya kami mantapkan persiapan HUT RI 49.  Aku banyak
    melakukan tukar pikiran dengan para tahanan tersebut.
            Rabu 17 Agustus 1994 sekitar jam 10.00 pagi kami mulai upacara
    peringatan HUT RI 49.  Aku bertindak sebagai inspektur upacara.
    Pasaribu sebagai Komandan upacara, Faisal membacakan teks proklamasi,
    dan Khaalid memimpin Indonesia Raya.  Semuanya tahanan.  Dalam kata
    sambutan, aku memberi nasehat agar jangan mengulangi melakukan
    kejahatan lagi.
            Selesai upacara resmi, kami lanjutkan dengan lagu-lagu per-
    juangan, satu di antaranya "Aku sudah tak tahan".  ketika kami baru
    melagukan bait ketiga, polisi menghentikan yang syairnya "Aku sudah
    tak tahan, selalu menderita di negeri yang kaya raya merdeka, mari
    kita berjuuang mari kita bersatu, merebut hak kita dengan bersama-
    sama, kita pasti, pasti kita menang".  Tidak boleh! Yang boleh hanya
    lagu resmi, Halo-halo Bandung, Maju Tak Gentar, Padamu Negeri, dan
    Berkibarlah Benderaku.
            usai upacara HUT dilanjutkan dengan kebaktian bagi yang
    beragama Kristen.  Kebaktian ini dilayani dari Yayasan Pekabaran
    Injil.  Rasanya hati ini dikuatkan dengan siraman Firman Tuhan.
            Akan tetapi selesai kebaktian, kami dibuat apel blok (apel
    di blok masing-masing).  Semua tahanan blok C ditanyai lagu itu
    dilanjutkan dengan razia alat tulis dan sikat gigi.  Alat tulis
    aku serahkan, tetapi sikat gigi tidak.  Aku ngotot tidak mau
    menyerahkan sikat gigi.  lalu setiap blok dikunci dari luar.
            Mulai ada yang menggerutu di blok D dan E, "Ini gara-gara
    pak Muchtar" gerutu mereka.  Aku mulai was-was jangan-jangan
    seperti Ir. Jannes Hutahean dan Ir. Parlin Manihuruk diteriaki "Ir
    taik, Ir kontol" maaf atas provokasi petugas jaga.  Ternyata tidak
    sampai demikian, malamnya kami dapat berkumpul lagi.
            Aku merasa dekat dengan Tuhan, kesehatanku benar-benar pulih.
    Yang paling mengherankan sinusistisku hilang dengan sendirinya,
    itulah kuasa Tuhan.
            Kamis pagi sehabis apel, pasaribu menyalami aku, karena ia
    dipindahkan menjadi tahanan Jaksa.  Ia menangis, sambil berkata
    "mudah-mudahan kau cepat keluar, Tuhan memberkatimu".
            Tidak lama setelah Pasaribu pergi, diadakan apel, ternyata
    ada kebijakan baru.  Aku dipindahkan ke blok D, dan di sana tinggal
    sendirian.  Penghuni blok D sebelumnya dipindahkan ke blok C dan E.
    Aku menghuni ruangan baru sendirian.  Di blok D ruangan besar,
    sendirian, banyak nyamuk, kecoa dan tikus.  Itulah sahabatku tiap
    hari, amat menyebalkan.  Tuhan yang Maha Pengasih memberi kekuatan
    padaku, aku tabah dan tidak stress.  Waktuku kupergunakan mendalami
    Firman Tuhan dan menulis.
            Di blok D aku diasingkan sendirian.  Kebanyakan petugas
    prihatin aku ada di tahanan.  Beberapa di antara mereka setiap tugas
    ada yang menyempatkan diri mengobrol.  Tetapi ada dua orang yang
    overacting.  Pernah si Aseng (Liem King Liang) datang ngobrol dengan
    aku, si Aseng langsung distrap, disuruh berdiri 15 menit.  Aku
    sepertinya penderita kusta dalam Perjanjian Lama.
            Beban yang kudapat tidak hanya itu, isteri hanya boleh
    menjenguk bila ada Kasat Serta atau Wakapoltabes.  Sabtu-Minggu (20-
    21 Agustus), Kapten Faisal AN tidak ada, praktis isteri tidak bisa
    bertemu.  Kemudian tanggal 22 (Seninnya) ketika ia bertamu, air
    matanya berlinang, ia baru dipelonco oleh Letnan Rusmadhi.  Besoknya
    berairmata juga, baru dipelonco Kapten Faisal.  Aku bilang sama
    isteriku: itulah namanya kekuasaan, padahal tidak ada untung baginya,
    malah menjadi beban bathin di hari tua".
            Tapi ada juga yang menggembirakan.  Di samping petugas yang
    baik-baik, hampir tiap hari ada yang mengaku polisi dan tentara dari
    tempat lain, sekedar mengatakan kami berdoa untuk Bapak jangan
    mundur.  Bahkan ada yang mengaku dari Nias, Tanah Karo dan Siantar.
    Ada juga sesekali memberi makanan atau minuman, sambil berkata "hanya
    ini yang dapat aku buat".  Mereka-mereka itu aku bawa dalam doaku agar
    diberkati Tuhan.  Pernah aku menerima sampai empat bungkus nasi, tanpa
    menyebut pengirimnya.  "Diberkati Tuhanlah kiranya mereka".
            Aku menangis setiap berdoa untuk anak-anakku.  Binsar tetap
    kudoakan agar dipangku Bapa sebagai calon pelayanNya.
            Rabu, 24 Agustus malam, sehabis berdoa malam, aku terdorong
    menulis satu bait nyanyian sebagai tambahan lagu "persembahan"
    nyanyian mahasiswa UKI ketika menghantar jenazah almarhum DR. Yap
    Thiam Hiem, SH, Syair yang kutambah itu ialah:

            Betapa besarnya karunia Tuhan Yesus
            Engkau mengangkatku, dari lumpur hina
     
            Ref: Inilah janjiku kepadaMu Tuhan
                 Terima kasihku kepadaMu Tuhan
                 Segenap hidupku dan hikmat dari Mu
                 Kuabdikan Tuhan untuk keadilan
     
                 Sertailah Tuhan aku hambaMu
                 Kuatkanlah Tuhan seluruh umatMu
                 Nyatakanlah Tuhan kebenaranMu
                 Demi KerajaanMu

            Satu lagi yang menguatkan hatiku, anakku Binsar mengirim pesan
    telepon berbunyi "aku baca korang, ayah mirip Nelson Mandela, kami
    bangga, teguhkan hatimu ayah, tetap berdoa sama Tuhan".  Serentak
    dengan itu aku tahu, banyak rakyat yang berdoa untukku.
            Minggu 18 Agustus, itulah kunjungan terakhir isteriku Rosintan
    ke RTP.  Kali ini petugas jaganya bertindak baik, kami diberi ngobrol
    di belakang sambil menikmati sinar matahari.  Kami ada dua jam mengo-
    brol, inilah waktu terakhir kami bertemu di RTP ini pikirku.  Ketika
    isteriku akan pulang meninggalkan RTP, aku ciumi dia berulangkali dan
    kuucapkan "kuatkan anak-anak, isi semangatnya apalagi mereka memasuki
    jenjang usia remaja".  Sungguh berkobar rasanya cintaku kepada isteriku
    melebihi sebelumnya, sambil berterima kasih kepada Tuhan, aku diberi
    isteri yang tidak pernah menuntut harta seperti perempuan pada umumnya,
    bahkan tabah menderita demi keadilan dan nasib rakyat kecil.
            Setiba aku di selku, aku merasa getir, aku mencurahkannya ke
    hadapan Bapaku di Sorga.  Aku merasa mendapat jawab dari Tuhan
    "pengalaman Raja Daud adalah teladanku".  Aku menjadi kuat dan tegar
    karenanya.
            Mulai saat itu, tidak ada lagi keluarga yang boleh menjengukku.
    Kapolri Jenderal Pol Drs. Banurusman mengatakan statusku adalah
    tahanan biasa, tetapi aku hanya boleh dijenguk isteri dan pengacara
    dengan izin Kasat Serse.  karena isteri sudah kembali ke Jakarta,
    praktis tidak ada lagi yang menjengukku.
            Senin, 29 Agustus, selutuh polisi di lingkungan RTP kelihatan
    sibuk.  Rupanya Irjan Polri Mayjen Pol. Drs. Bambang Daroendrijo akan
    ke Poltabes Medan inspeksi.  Pesawat televisi dipasang, semua ruangan
    dibereskan, kamipun dibeli sabun, odol, dan lap lantai.  Malamnya para
    kepala ruangan diberikan briefing, intinya kalau ditanya, jawabannya
    adalah "kamu dapat sarapan pagi teh manis dan roti, makan siang dan
    malam pakai sambal, dapat susu, sabun diberi kalau sudah habis".
            Malamnya teman-temanku kumpul di ruang tengah menonton televisi,
    aku tidak boleh sebab ruangan dikunci gembok mungkin belum ada izin
    dari kasatserse dan Kapoltabes pikirku.
            Selasa 30 Agustus, kira-kira jam 13.00 wib Irjen Polrinya
    didampingi Kapolda dan Kapoltabes Inspeksi.  pertanyaan yang sudah
    dipersiapkan sebelumnya persis muncul. Terpaksa kepala ruanganpun
    menjawab seperti jawaban yang sudah dipersiapkan.
            Ketika tiba ke ruanganku, dengan dibatasi has dan teralis Irjen
    bertanya "Bapak sudah makan" aku jawab "belum".  "Mengapa" lanjutnya.
    "nasi belum datang dari luar" jawabku.  "Mengapa?".  "tidak dapat
    nasi dari polisi?".  Kujawab "aku belum mampu makan nasi RTP" jawabku.
    hanya itu yang terjadi, iapun pergi.  Inspeksi formalitas pikirku.
            Setelah rombongan pergi, nasikupun datang, rupanya tertahan di
    luar ketika Irjen datang.
            Sebelum kedatangan Kapolri itu, pengacaraku datang, mereka
    adalah guruku DR. Henry Lie A Weng, SH, Sabam Siburian, SH, Alamsyah
    Hamdani, SH, Januari Siregar, SH, Posman Nababan, SH dan
    Asmadinata, SH.  Kami bicara persis hanya 10 menit dan seperti biasanya
    diawasi dua polisi.  "Luar biasa Poltabes yang disingkat Para tahanan
    politis tak beres" ini pikirku.
            Alamsyah memberiku sepucuk surat dari Jakobus Kamarlow, Ketua
    DPC SBSI Ujung Pandang.  Ia mengatakan "Ia dan kawan-kawannya tetap
    berdoa buat aku, dan mereka mengatakan makin bertambah rakyat yang
    mengikuti SBSI".  Aku merasa terhibur.
            Rabu, 31 Agustus, biliran petugas yang baik menjaga RTP.  Jam
    09.30 mereka memberi waktu kepadaku mengambil sinar matahari.  Ketika
    aku melangkahkan kaku di sana, pandanganku gelap dan berkunang-kunang.
    Itulah akibat dari tiga hari tidak melihat matahari.
            Malamnyapun aku diberi kelonggaran menonton televisi, sulit
    melukiskan kegembiraanku.
            Pagi, Kamis 1 September 1994, aku yakin perkaraku akan dilimpah
    kan ke Kejaksaan.  karena itu, akupun memmpersiapkan diri untuk dibawa
    keluar.
     
                       [Prev: Chronologis]     [Next:  Kasus-kasus Menarik]    [Main Page]

                        (sumber: Jurnal Muchtar Pakpahan, INDONESIA-L: apakabar@clark.net)
                         (Kenangan RTP Poltabes, Medan)