Hari-hariku di LP Tanjung Gusta


     
      Kamis, 22 September 1994.
      -------------------------
           Jam 06.30 pegawai L.P sudah membuka pintu selku.  Aku rasanya
      sudah bangkit.  Malamnya tetap sulit tidur, tersiksa rasanya.
      Disatu pihak aku ingin jaga sidang, tetapi kepalaku tidak bisa
      diajak berdamai.
           Jam 08.00 aku menuju ruang registrasi, disana sudah kudapati
      Jaksa Manik dan Mayor Pol Panjang kepada mereka aku beritahukan
      aku sakit, kepalaku puyeng, rasanya tidak sanggup sidang.  Kalau
      aku tidak sidang, kupikirkan juga teman-teman/pendukung yang
      sudah menunggu nanti kecewa. Juga atas saran jaksa Manik, aku
      putuskan aku harus ke pengadilan.  Tapi kuminta dipenuhi, aku
      jangan dikapit, diberi jalan bebas cukup tanganku dipegang, dan
      didampingi salah seorang dari pegawai L.P, setinjak atau Turnip.
      Manik memenuhinya.
           Kamipun masuk masuk kedalam mobil, susunannya masih seperti
      hari senin sebelumnya.  Ketika melewati pasar Sunggal dan sei
      kambing, aku dengan khalayak berseru "hidup Muchtar Pakpahan,
      hidup Bapak rakyat".
           Sesampainya di pengadilan, aku beritahukan aku sakit, lalu
      aku diperiksakan ke klinik pengadilan.  Kulihat dokternya seperti
      keturunan Cina, aku makin waspada.  Soalnya ada juga isu, Cina
      membiayai penangkapan kami, walaupun aku pastikan tidak semua
      Cina anti SBSI.  Ini bukan soal rasialis bukti lain tiga teman
      Cina ikut dalam tim pembela.
           Selesai dipersiksa, dokter itu mengeluarkan surat keterangan
      sidang dapat dilanjutkan.  Atas bujukan jasksa, dan akupun berkepen-
      tingan, eksepsiku sebaiknya segera kubaca. aku memilih bujukan
     jaksa.  Aku dibawa keruang sidang.
           Hakim bertanya apakah saudara sehat? aku jawab "sakit".
     Tetapi menurut dokter saudara sehat, lalu bagaimana ? aku berse-
     dia dilanjutkan persidangan ini, tetapi biarkanlah aku duduk
     santai, sampai dimana sanggupnya aku berhenti.  Ketua menyatakan
     silahkan.
           Ketika aku mulai membaca, mataku berkunang-kunang, denyutan
     kepala terasa semakin kencang, aku paksakan diriku membacakan.
     Terasa ada getaran disekujur tubuhku ketika aku membacakan
     "militer disumatera bagian utara (Kodam I) selama akhir-akhir ini
     adalah ganas, tidak layak disebut militernya negara yang beridi-
     ologi Pancasila".  Lalu aku terhenti sejenak, kuusap-usap mataku,
     lalu kuteruskan membaca.
           Ketika aku membacakan "buruh terlalu lama di eksploitasi dan
     dikekang kebebasannya", kembali aku sepertinya kehabisan suara.
     Kupijit-pijit kepalaku bagian belakang, lalu ditanya hakim "masih
     sanggup"? aku jawab "masih".  Memasuki halaman terakhir, aku
     terhenti dan tidak sadarkan diri.  Aku dibawa ke klinik, disana
     aku dirawat isteriku.  Dokter menawarkan disuntik, aku tolak.  Aku
     takut kejadian cerita Spionase terhadap diriku.
           Aku lupa berapa lama kejadian itu, aku kembali dibawa ke
     dalam ruang sidang.  Ketua majelis membacakan penetapannya, aku
     dirawat di R.S Pirngadi, atas biaya negara.  Aku berucap, Tuhan
     tangan mu lah jiwa,ragaku.
           Aku agak tegang juga, jangan-jangan dokter dipakai sebagai
     alat  ...... aku segera dilarikan, masih dibawa ke Kejari, katanya
     menyelesaikan administrasinya.  Padahal isteri dan keluarga dan
     pengacara sudah menunggu di rumah sakit Pirngadi.  Selama menunggu
     di Kejari, aku ditunggui sahabatku Luthfie Hakim.  Dari Kejari aku
     bertelepon ke anakku di Jakarta pinjam hand phonenya Mayor Pan-
     jang.
           Sekira jam 16.00,aku dibawa ke R.S Pirngadi, aku dibawa
     kekelas I, ruang Cendrawasih, kamar 5. Pendirianku aku akan tidak
     mau makan dan minum atau makan obat bila bukan dari yang benar-
     benar kupercayai.
           Begitu tiba di kamar, aku diperiksa seorang suster, kulihat
     namanya br.  Pakpahan, dan dia bilang, "yakinlah, tuangkan hatimu
     itu, aku adi disini".  Agak legalah hatiku, "terima kasih Tuhan
     yang baik, engkau senantiasa menyertaiku" kata ku kepada Tuhan.
     Memang benar, sebelum isteriku datang, ia sebentar-sebertar
     datang ke kamarku.
           Sekira jam 18.00, isteriku bersama Alden Tua dan Abdul
     Razak.  Setelah itu Alden Txia fian Abdul Razak pergi keluar me-
     nyiapkan segala kebutuhanku, seperti pakaian dan obat.  Jam 18.30,
     dr. Abiran Nababan datang mencek, makin tenanglah kurasa, karena
     dokter ini adalah sahabat baikku.  Tetapi ketika ia memeriksa
     kesehatanku, ia dikawal oleh polisi dan jaksa.  Sehingga ia bicara
     hanya sebentar, dan hanya mengenai penyakit.
           Malam itu aku terganggu juga oleh H.T para petuga kepoli-
     sian.  Menurut para suster yang berganti-ganti datang menjenguk.
     Yang menjaga kurang lebih 30 orang Kedatangan para suster dan
     dokter itu ingin kenal, dan mengucapkan mereka simpatisan.
     
     
          [Prev: September 21]     [Next: September 23]    [Main Page]
       
                         (sumber: Jurnal Muchtar Pakpahan, INDONESIA-L: apakabar@clark.net)
                         (Hari-hariku di LP Tanjung Gusta)