Bab II
Paparan Data dan Temuan
  
11.4. Mengadu-domba Umat Beragama


Skenario yang dirancang oleh para perekayasa kerusuhan rupanya tergolong canggih, dan njlimet dengar target utama terjadi perselisihan terbuka antara warga NU dengan umat beragama lain. Hal itu setidaknya terlihat dalam proses penanganan yang dilakukan aparat terhadap para santri pesantren Walisongo dan siswa SMA, STM dan SMEA Ibrahimy. Dalam penangkapan atas para siswa dan santri itu, misalnya, telah terjadi penyiksaan-penyiksaan baik fisik maupun mental.

KH Fawaid As'ad yang santri-santrinya disiksa oleh aparat itu menyatakan bahwa ia memang telah menerima laporan dari para santri jika mereka itu selama di dalam tahanan telah disiksa oleh tentara Kristen. Dikatakan begitu, ungkap Kiai Fawaid karena para tentara itu saat melakukan siksaan berkali-kali menunjukkan kalung salib kepada para santri. "Bahkan mereka itu berulang-ulang menyatakan dirinya sebagai orang Kristen. Saya sendiri pun semula percaya jika para tentara Kristen itu memang dendam dengan umat Islam karena gereja mereka dibakar," ujar Kiai Fawaid.

Kiai Fawaid sendiri pada gilirannya sadar jika dalam peristiwa itu memang terdapat suatu rekayasa yang berusaha mengadu umat Islam dengan umat Kristen. "Bahkan dua hari setekah kerusuhan itu; ada orang naik becak dan turun di pintu gerbang pondak sambil memotret-motret pintu pondok. Orang itu kepada santri yang bertugas jaga memberikan informasi, bahwa para pemuda Kristen akan menyerang pondak kami," ujar Kiai Fawaid.

Jika rekayasa mengadu umat Kristen dengan warga NU itu berhasil maka target utama dari skenario itu adalah memojokkan figur Gus Dur sebagai pimpinan NU yang selama ini dikenal toleran terhadap umat beragama lain. Sebab andaikata skenario itu berhasil dan kedua umat beragama itu terlibat bentrok berdarah, maka dukungan umat Kristen terhadap Gus Dur akan hilang dengan sendirinya karena Gus Dur dianggap tidak mampu mengendalikan umatnya.

Usaha mengadu warga NU dengan umat beragama lain, setidaknya terlihat pula pada kasus penyiksaan aparat yang mengakibatkan terbunuhnya Ahmad Sidhiq yang tidak lain adalah pendekar LPS-NU Pagar Nusa. Dalam kasus Ahmad Sidhiq itu terdapat kesan di masyarakat bahwa petugas, yang kejam dan memperlakukan tindakan sewenang-wenang terhadap korban adalah polisi dari Bali yang beragama Hindu.

Kisah kematian Ahmad Sidhiq sendiri bagi masyarakat Situbondo adalah kisah yang sangat dramatis. Sebab lelaki yang dikenal warga di sekitarnya sebagai pendekar yang sangat gigih menentang perjudian di daerahnya itu telah mengalami nasib yang lebih buruk dibanding "anjing buduk" selama ditahan di Koramil Kapongan dan Polres Situbondo.

Syaifullah, 24, warga desa Curah Cottok, Kapongan, Situbondo yang adalah adik kandung Ahmad Sidhiq menuturkan bahwa kakak kandungnya itu memang dikenal sebagai pemuda yang gigih menentang perjudian. Dengan kemampuannya sebagai seorang pendekar Pagar Nusa, ungkap Syaifullah, Ahmad Sidhiq sering membubarkan perjudian di desanya baik judi yang berbentuk dadu, lotre telur, capjiekie maupun permainan ujung. "Pada tahun 1995 kakak saya malah pernah mengirimkan surat kepada Kapolsek Kapongan. Isi surat itu adalah memperingatkan Kapolsek bahwa kakak selaku pimpinan Pagar Nusa beserta tokoh masyarakat yaitu Hadi Hasan Bashri tidak menginginkan di desa Curah Cottol ada kegiatan judi, sebab bisa meresahkan masyarakat. Malah kakak mengingatkan, jika masih ada judi maka ia beserta tokoh masyarakat akan bertindak sendiri," ujar Syalfullah.

Diduga akibat dari tindakannya yang gigih dalam memberantas judi dalam berbagai bentuk dan suratnya yang keras mengingatkan Kapolsek Kapongan itu, maka Ahmad Sidhiq pada akhirnya mengalami nasib dramatis. Sebab menurut informasi di Kapongan, pelindung permainan ujung yang di dalamnya terdapat unsur judi itu tidak lain dan tidak bukan adalah oknum aparat Koramil setempat bernama Warnoto.

Ketika kerusuhan 10 Oktober 1996 pecah, begitu Syaifullah menuturkan, Ahmad Sidhiq ditangkap oleh pihak aparat pada 11 Oktober 1996. "Waktu itu rumah kami dikepung aparat. Kemudian tanpa surat perintah apapun, kakak ditangkap dan dijabloskan di tahanan Koramil Kapongan. Waktu dijenguk keluarga, kakak menyatakan jika dia terus-menerus disiksa oleh Warnoto dan Jaroko. Kakak juga bilang kalau ia dikepruk kursi oleh Warnoto. Kakak juga mengaku kalau tubuhnya dihajar dengan kayu. Saya waktu itu hanya melihat, dari hidung kakak terus mengalir darah segar," ujarnya.

Setelah remuk dipermak oleh dua orang oknum Kapongan, begitu Syaifullah maka Ahmad Sidhiq yang dari hidungnya terus mengalir darah itu dibawa ke RSUD sebab Sidhiq juga mengaku kalau pandangan matanya menjadi kabur. Setelah dibawa ke RSUD, Sidhiq kemudian dipindahkan ke Polres Situbondo. "Tapi di Polres itu penyiksaan terhadap kakak makin sadis. Dengan suara lemah, kakak mengaku kalau mulutnya baru saja dimasuki kayu dan kayu itu dihantam bagian pangkalnya oleh polisi," ujar Syaifullah.

Setelah disiksa lahir dan batin, ungkap Syaifullah ketegaran Ahmad Sidhiq runtuh. Ia mendadak sering hilang kesadaran dan merasakan kepalanya sakit luar biasa. Itu sebabnya, Ahmad Sidhiq dibawa ke RSUD. Pada saat bersamaan, isteri Ahmad Sidhiq menjenguk ke Polres. Melihat suaminya akan dibawa ke RSUD dengan tangan kiri diinfus dan tangan kanan diborgol, maka isteri Ahmad Sidhig menyatakan ingin ikut mengantar. "Keinginan kakak ipar saya itu dipenuhi oleh polisi, tapi tangannya diborgol bersama kakak Ahmad Sidhiq. Jadi waktu ke rumah sakit itu, mereka berdua tangannya diborgol bersama. Padahal kakak ipar saya waktu itu sedang hamil enam bulan," kenang Syaifullah.

Abdullah, 6O, ayah kandung Ahmad Sidhiq menyayangkan perlakuan petugas terhadap anak kandungnya itu. Sebab dalam keadaan sakit tanpa daya itu, petugas berlaku sangat kasar sekali. Misalnya saja, ungkap Abdullah, tangan Ahmad Sidhiq tetap diborgol dengan kasar meski kondisinya sudah sangat lemah. Bahkan karena kekasaran dalam memborgol, infus yang menancap di lengan Ahmad Sidhiq terkena borgol. Anak saya menjerit kesakitan. Dan sesudah itu, ia hilang kesadarannya," ujar Abdullah.

Kesaksian tentang penderitaan Ahmad Sidhiq diberikan juga oleh Syaiful Aswan, SH, yang merupakan pembela hukumya. Menurut Syaiful, kondisi Ahmad Sidhiq itu sudah sangat lemah dan secara psikologis ia selalu kelihatan takut jika melihat borgol atau orang berpakaian militer. Untuk itu, aku Syaiful, ia memohon kepada petugas yang berasal dari Bali itu untuk melepas saja borgol dari tangan Sidhiq. Namun pihak petugas tetap memborgol tangan Ahmad Sidhiq tanpa menghiraukan permohonannya dengan alasan untuk mematuhi perintah atasan. "Padahal saya sudah bilang akan lapor kepada atasannya agar Ahmad Sidhiq tidak perlu lagi diborgol karena keadaannya sudah mengenaskan, tapi petugas itu benar benar tidak mau menghiraukan permohonan saya. Ia tetap memborgol tangan Sidhiq," ujar Syaiful.

Menurut Syaiful ia sebenarnya mencurigai terjadi semacam luka di tengkorak kepala Ahmad Sidhiq. Sebab kliennya itu setiap saat selalu minta agar kepalanya ditekan keras-keras, dan setiap kali tekanan dikendorkan maka Ahmad Sidhiq akan menjerit kesakitan. "Waktu itu saya minta agar dokter Wahyu dan dokter Munir me-rontgen kepalanya, mereka tidak mau. Malah yang di-rortgen dadanya. Bahkan setelah meninggal pun, dokter tidak mau men-visum," ujar Syaiful.


[Daftar Isi]    [Previous]   [Next]