Mensesneg: Pemerintah Sangat Sesalkan Peristiwa Situbondo

Muspida Jatim Belasungkawa

Jakarta, 12 Oktober

Menteri Sekretaris Negara Moerdiono mengatakan pemerintah sangat menyesalkan terjadinya kerusuhan di Situbondo Jawa Ti-mur Kamis (10/10) yang mengakibatkan jatuh korban jiwa 5 orang meninggal serta menimbulkan kerugian berupa terbakarnya beberapa bangunan kantor, rumah ibadah, gedung sekolah, pertokoan dan panti asuhan.

"Peristiwa tersebut dapat merusak kerukunan hidup beragama yang selama ini telah dibangun, dipelihara dan dikembangkan dengan sungguh-sungguh sebagai pengamalan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila," kata Moerdiono kepada wartawan di Gedung Sekretariat Negara Jakarta, Jumat (11/10) sore.

Dikatakan, mengingat kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang paling asasi, bukan pemberian pemerintah ataupun golongan, pemerintah sungguh-sungguh mengharapkan agar masyarakat dapat menahan diri dan tidak mudah terpancing oleh isu, hasutan maupun desas-desus yang menyesatkan. Juga agar seluruh pemimpin umat dapat lebih meningkatkan lagi pembinaan umatnya masing-masing untuk mencegah terjadinya peristiwa serupa di kemudian hari.

Dijelaskan, pada hari Kamis (10/10) sewaktu berlangsungnya sidang kelima peradilan kasus pelecehan agama oleh terdakwa bernama Saleh yang beragama Islam, lulusan SMU tahun 1991 telah terjadi kerusuhan di Situbondo, Jawa Timur. Kerusuhan tersebut terjadi akibat kemarahan massa setempat yang tidak terkendali, berjumlah antara 2.000-3.000 orang.

Berkat kerja sama antara aparat pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat, maka keamanan dan ketertiban di kota itu telah dapat dipulihkan kembali. ''Terhadap mereka yang terlibat dalam kerusuhan itu sedang diambil tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku dan untuk pengusutan selanjutnya telah ditahan sejumlah orang,'' kata Moerdiono.


Gubernur Jatim

Gubernur Jatim HM Basofi Soedirman menyerukan agar warga masyarakat Situbondo mampu mengendalikan diri dan tidak melakukan aksi-aksi pengrusakan sebagaimana insiden 10 Oktober baru lalu.

Tindakan brutal sekitar 5.000 massa yang merusak gedung Pengadilan Negeri (PN), 26 tempat ibadah termasuk sebuah kelenteng, dua sekolah beragama, toko, panti asuhan serta menewaskan lima korban jiwa manusia satu keluarga, tidak saja akan ditangani secara hukum hingga tuntas. Namun lebih dari itu, para umaro (pemerintah) dan ulama Jatim sama-sama mengutuk peristiwa tersebut karena mengabaikan aturan norma agama dan hukum yang berlaku.

Hal itu ditandaskan Gubernur Jatim dalam acara jumpa pers di rumah dinas Pangdam V Brawijaya, Jalan Raya Tugu, Kota Madya Malang, Sabtu (12/10) pagi. Dalam jumpa pers tersebut Gubernur didampingi Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Imam Utomo, Kapolda Jatim Mayjen (Pol) Drs H Sumarsono SH,MBA, Kajati Jatim A Rachman SH serta Kependam V Brawijaya Letkol CHB S. Soebagyo.

Gubernur beserta seluruh Muspida TK I Jatim termasuk para Panglima Kotama Jatim menyatakan rasa prihatin yang mendalam. Kasus tersebut diakuinya sebagai murni SARA yang sangat mudah diletupkan orang yang tidak bertanggung jawab. Kasus 10 Oktober di Situbondo ini, menurut Basofi diakuinya sebagai kasus yang tergolong sangat berat, sehingga memerlukan peran serta semua pihak, tidak terkecuali para ulama.


Belasungkawa

"Kami sebagai para pimpinan di sini (Jatim) menyatakan ikut belasungkawa atas jatuhnya korban jiwa lima orang warga Situbondo akibat terkurung dalam rumah ibadah yang dibakar massa," ujarnya sambil mengingatkan, peristiwa buruk yang mengakibatkan kegiatansosial ekonomi warga kota Kabupaten Situbondo terganggu selama dua hari (10-11/10) itu sebenarnya tidak perlu terjadi.

Menjawab pertanyaan Pembaruan, Gubernur membenarkan, adanya kemungkinan pihak ketiga yang menggerakkan massa untuk tujuan tertentu. Sebab, melihat dari asal-usul pecahnya kasus kerusuhan massal itu dirasakan sangat tidak masuk di akal. Bagaimana mungkin isi perdebatan antara seorang pemuda dengan pamannya sendiri yang sama-sama beragama Islam, tentang proses matinya seorang tokoh ulama di Situbondo, bisa meledak menjadi permasalahan massal.

"Jikalau kasusnya sendiri sudah ditangani aparat penegak hukum dan kemudian kejaksaan menuntut hukuman maksimal sebagaimana diatur dalam KUHP, mestinya masyarakat memahaminya. Jangan diartikan pemerintah ikut melindungi terdakwa. Oleh karenanya, kita semua aparat keamanan di Jatim kini sedang mencari, siapa penggeraknya dan apa motivasinya," ujar Basofi sambil menambahkan, bahwa hasil pertemuan antara umaro' dengan ulama setempat sepakat bahwa kasus Situbondo adalah tindakan salah besar.


40 Orang

Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Imam Utomo dan Kapolda Jatim Mayjen (Pol) Drs H Sumarsono SH,MBA menambahkan, hingga hari ini sudah ada 40 orang tersangka pelaku kerusuhan massal diamankan. Mereka kini sedang dalam pemeriksaan intensif dan hampir dipastikan akan diseret ke meja hijau. Pangdam dan Kapolda yang dikenal sangat dekat dengan ulama di Jatim menyatakan sangat menyesalkan peristiwa itu bisa terjadi.

"Dari hasil pengusutan mereka itu nantinya kita akan mengetahui, apa motivasinya dan siapa penggeraknya," ujar Pangdam sambil membenarkan, orang-orang tertentu yang diduga ikut menggerakkan hampir pasti dalam waktu cepat atau lambat akan dapat diketahui.

Sehubungan dengan hal itu, Pangdam yang juga Ketua Bakorstanasda Jatim meminta seluruh wargha masyarakat Situbondo untuk membantu aparat keamanan menciptakan situasi dan kondisi kamtibmas yang mantab. Lebih dari itu, kita berharap masyarakat membantu memberikan informasi untuk menyingkap tuntas insiden Situbondo tersebut.


Peristiwanya

Kronologis peristiwa yang melatarbelakangi insiden 10 Oktober di Situbondo adalah sebagai berikut. Pada April 1996, pemuda bernama Saleh (26), bekerja sebagai tukang bengkel, beragama Islam, warga Desa Gebangan, Kecamatan Kapongan, Kabupaten Situbondo bertandang ke rumah KH Zaini, pengasuh Ponpes Nurul Hikam di Desa Kesambi Rampak, Kecamatan Kapongan, Kabupaten Situbondo.

Dalam dialog tukar pikiran tersebut, Saleh secara tidak terduga miminta pendapat KH Zaini tentang tiga hal yang terkait erat dengan keimanan Islamnya sendiri. Yakni tentang Nabi Muhammad, sholat dan proses meninggalnya tokoh ulama KH As'ad almarhum yang dikenal sebagai mantan pengasuh Ponpes Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Asembagus.

KH Zaini kemudian melaporkan ucapan Saleh yang diketahui sebagai salah satu anggota Toriqoh Muhammad yang mengkaji ilmu Hakekat Ma'rifat yang pengikutnya ada sekitar 100 orang di Pulau Madura dan Situbondo ke aparat keamanan setempat untuk bisa dituntut ke meja hijau. Perkara penyidikan oleh Polres Situbondo pada 29 Juli dilimpahkan ke Kejaksaan.

Kepala PN Situbondo, sesudah menerima pelimpahan berkas perkara dari kejaksaan, Senin (2/9), maka segera menggelar pesidangan pertama pada hari Kamis (12/9) dengan susunan majelis hakim terdiri dari M. Ridwan Drajad SH, R. Sumaryanto SH dan Gatot Suharnoto SH. Sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rianto SmHk. Hadir dalam persidangan perdana itu sekitar 100 orang. Sidang berjalan tenang tertib dan aman.

Sidang kedua digelar pada, Senin (16/9) dengan dihadiri sekitar 200 orang pengunjung. Massa ketika itu sudah agak brutal karena sempat menghadang mobil tahanan dan memecahkan kaca lampu belakang. Aksi brutal tersebut sempat melahirkan pertengkaran antara petugas Kejaksaan dengan massa yang beringas. Namun turunnya aparat keamanan dari Polres Situbondo berhasil mengamankan suasana. Kondisi kamtibmas pada sidang ketiga, Jumat (27/9) juga berlangsung aman-aman saja kendati jumlah massa meningkat menjadi sekitar 5.000 orang.

Pada persidangan keempat dengan jadwal pemeriksaan terdakwa Saleh, Jumat (4/10) berlangsung agak panas. Sebab, jumlah massa yang mengikuti persidangan meningkat menjadi 1.500 orang. Massa mulai agresif dan memukul terdakwa di ruang tahanan dan melempar kaca ruang tahanan PN hingga pecah berantakan. Aparat keamanan gabungan Polres dan Kodim 0823 Situbondo yang berjumlah sekitar 150 orang siaga penuh di lokasi PN. Massa bubar dan keamanan pun dapat dikendalikan.


Insiden Pecah

Memasuki persidangan kelima, Kamis (10/10), JPU Rianto membacakan tuntutan terhadap terdakwa Saleh yang diyakhini terbukti melanggar pasal 156 (a) huruf (a) jo 64 (1) KUHP, yakni melakukan tindak pidana penodaan terhadap sesuatu agama yang dianut Republik Indonesia secara berlanjut. Kepadanya Jaksa mengajukan tuntutan maksimal 5 (lima) tahun penjara.

Mendengar tuntutan Jaksa, massa pengunjung yang mencapai ribuan orang menuding Jaksa tidak adil. Karenanya, massa berteriak-teriak histeris agar terdakwa yang jelas-jelas beragama Islam namun berani melecehkan agamanya sendiri dan tidak menghormati ulama itu dituntut hukuman mati. Kegaduhan sidang berhasil ditenangkan,namun ketika hakim mengetokkan palu menutup sidang, massa yang ada di dalam ruangan enggan angkat kaki.

Sesudah berhasil dihalau aparat keamanan gabungan keluar ruang sidang yang sudah usai, massa mulai berani melawan petugas dengan melemparkan batu secara membabi buta. Massa yang mengamuk kemudian nekad membakar mobil tahanan Kejaksaan dan sepeda motor anggota Polri. Mobil dinas Dandim 0823 Situbondo Letkol Art Imam Prawoto pun tidak luput dari lemparan batu hingga kaca pecah berantakan.

Aksi kebrutalan di PN Situbondo dapat dicegah dengan datangnya mobil PMK, 2 SSK Yonif 517, 2 SSK Satbrimob Malang dan Surabaya. Massa perusuh yang mencapai 5.000 orang akhirnya bergerak memisah lalu melakukan aksi pengrusakan terhadap rumah-rumah ibadah, panti asuhan, merusak pertokoan, sekolahan dan membakar mobil dan sepeda motor petugas yang ada di jalanan, mulai dari kota Situbondo hingga ke Besuki, Panarukan dan Asembagus.

Peristiwa itu baru berhasil dikendalikan pukul 17.30 WIB setelah Pangdam V Brawijaya dan Kapolda Jatim beserta beberapa para ulama hadir menenangkan massa warga Situbondo.

Para korban yang meninggal masing-masing, Ishak Kristian STh (70) Pendeta GPPSS Injil Sepenuh, Ny Kristiana (65) Elisabet (20) anak kandung, Rita (25) anak Asuh Nova (15), keduanya anak asuh.


Menteri Agama

Sementara itu Menteri Agama Tarmizi Taher menjawab pertanyaan Pembaruan Jumat (11/10) malam di Kendari mengatakan "Saya mengimbau bangsa kita ini, dalam kaitan keagamaan kita adalah bangsa yang sangat menimbang, memandang kekeluargaan itu sebagai inti kebangsaan kita ini". Oleh sebab itu menurutnya masalah-masalah lokal yang masih berkembang meski kita atasi dengan melihat segala faktor. Jadi jangan yuridis saja, tetapi juga masalah budaya, masalah perasaan masyarakat, karena sudah banyak terjadi, di Timor Timur, di NTT, di Irian Jaya dan sekarang di Jawa Timur (Jatim), itu adalah kadang-kadang sesuatu pertimbangan hanya satu aspek saja. aspek hukum saja, aspek yuridis.

Oleh karena itu kita menimbang segala permasalahan dari segala macam aspek yang dikatakan "pendekatan konprehensif", harus dilihat budaya, dilihat agama karena bangsa kita adalah bangsa yang rukun.


------------------------------------------------------------------------
The CyberNews was brought to You by the OnLine Staff
SUARA PEMBARUAN ONLINE
------------------------------------------------------------------------


Back to articles