_________________________________________________________________
Senin, 14 Oktober 1996
_________________________________________________________________

Tajuk Rencana

Bagaimana Kita akan Memahami Kasus Situbondo

GUBERNUR Jawa Timur Basofi secara jujur mengakui ia belum memahami bagaimana persoalan antara kemenakan dan paman sesama muslim akhirnya melalui sidang pengadilan justru menyulut kerusuhan SARA. Katanya dalam konferensi pers: "Yang menjadi pertanyaan kenapa kemarahan itu kemudian ditumpahkan kepada orang lain."

Kerusuhan yang berpangkal tolak - ber-casus belli - dari ketidakpuasan terhadap tuntutan pengadilan pada terdakwa suatu kasus pelecehan agama, berkembang menjadi kemarahan massal yang bermuatan SARA. Menjadi sasaran kemarahan massa itu sejumlah gereja, sebuah kelenteng, beberapa sekolah, gedung pengadilan, kendaraan dan toko di Situbondo serta sepanjang jalan sampai ke Panarukan, lima orang tewas terbakar.

Bukan saja dari jumlah yang menjadi sasaran, peristiwa Situbondo itu menggugat perhatian tetapi juga dari bobot muatan SARA-nya. Karena itu sangat masuk akal manakala kecuali menyesalkan, kita juga merenungkan serta mempertanyakan apa yang sesungguhnya terjadi dan mengapa hal itu terjadi.

Untuk mengetahui secara benar bagaimana duduknya perkara, diperlukan pemeriksaan pihak yang berwajib baik urutan kejadiannya, para pelaku maupun kaitan-kaitannya. Suatu analisis secara umum kiranya dapat kita lakukan lebih dulu.

Analisis umum yang kita maksudkan ialah hadirnya pandangan, perkiraan dan rasa perasaan dalam masyarakat, bahwa menyertai proses, permasalahan dan jalannya pembangunan serta penyelenggaraan kehidupan politik kita, persoalan SARA tidak surut melainkan bertambah rawan.

Persoalan SARA, terutama unsur agama dan etniknya sangat mudah disulut dan dikobarkan baik karena warisan masalah itu sendiri maupun karena menjadi saluran dari aspirasi serta rasa tidak puas dalam bidang-bidang lain.

Di antara bidang-bidang lain itu yang sangat potensial dan eksplosif adalah bidang kesenjangan sosial ekonomi, rasa ketidakadilan serta bidang sosial - politik dan sosial budaya. Namun yang terutama menonjol adalah rasa tidak adil dalam sosial - ekonomi maupun sosial - politik, kesenjangan sosial - ekonomi serta perasaan dilanggarnya rasa kepatutan, fairness.

MENGAPA pandangan dan rasa perasaan itu bukan saja hidup tetapi hidup meluas dalam masyarakat. Beberapa faktor ingin kita angkat sebagai bahan pertimbangan apakah memang demikian?

Kita ulangi lagi faktor yang begitu sering dikemukakan sehingga sudah menjadi klise; yakni bahwa masyarakat dan kita semua berada dalam gegap - gempitanya perubahan yang menggeser posisi kita secara fisik, psikologis, nilai-nilai budaya maupun kepentingan.

Kemajuan ekonomi cukup besar selama pembangunan 30 tahun terakhir ini dan kemajuan itu dirasakan oleh seluruh masyarakat. Secara kuantitatif hal itu dengan spektakuler ditunjukkan oleh turunnya secara drastis jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan dari 70 persen menjadi 14 persen saja. Adalah kondisi yang tidak menguntungkan, bahwa kemajuan itu disertai permasalahan, ekses serta keadaan yang disaksikan dan dirasakan sebagai kesenjangan.

Kesenjangan itu untuk sebagian sesungguhnya merupakan keadaan sementara yang tidak terelakkan terutama pada fase-fase pertama pembangunan melalui jalan ekonomi pasar.

Anggapan, rasa perasaan maupun kondisi obyektif tentang kesenjangan itu bertambah besar, ketika usaha kita semakin menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan adil, belum berhasil. Kelemahan itu digambarkan dengan maraknya konotasi kolusi, korupsi, monopoli dan ungkapan-ungkapan sejenisnya.

SEJAK semula kita, masyarakat dan pemerintah sadar, pemerataan dalam semangat dan kaitan keadilan sosial harus dilaksanakan. Trilogi sebagai strategi pembangunan membuktikan kemauan politik itu.

Kemauan politik untuk mewujudkan pemerataan dalam semangat dan konteks keadilan sosial tidak berhenti pada konsepsi, strategi dan rencana, tetapi dilaksanakan secara konkret.

Sejak semula intervensi terhadap pasar demi pemerataan dalam semangat keadilan sosial dilaksanakan dan ditangani sebagai program khusus.

Program khusus itu dilaksanakan melalui program inpres desa dan kabupaten, lewat inpres kelompok penduduk tertinggal seperti nelayan, petani, pedagang kecil. Bantuan diberikan lewat program inpres maupun program kredit murah.

Usaha itu ditingkatkan sejak 3 tahun yang lalu dengan program inpres desa tertinggal serta program keluarga sejahtera.

Besarlah kemajuan yang dicapai untuk memperbaiki kesehatan ibu, kesehatan anak, kesehatan lingkungan dan, usia rata-rata orang Indo-nesia, sehingga dunia luar mengaguminya.

DENGAN segala perbaikan secara konkret itu bagaimana menjelaskan hadirnya perasaan tidak puas dan tidak adil yang seakan-akan bukan berkurang tetapi bertambah-tambah dalam masyarakat?

Barangkali hal itu disebabkan karena perbaikan kondisi umum itu tetap disertai kesenjangan dan kesenjangan itu secara fisik dan secara keadilan dirasakan serta disaksikan seperti misalnya di satu pihak merebak kompleks-kompleks pertokoan besar, di lain pihak berlangsung penggusuran-penggusuran.

Juga dirasakan apa yang dinamakan kolusi, korupsi dan koneksi tidaklah surut bahkan dirasakan sebagai semakin tidak terkendali. Bahwa kejanggalan dan hal ihwal yang menyimpang itu memang tidak dimuat da-lam media massa konvensional akan tetapi tersebar dan diketahui lewat media alternatif, lewat telekomunikasi, dan mobilitas penduduk.

Dalam tahun-tahun terakhir ini bahkan juga dirasakan, betapa fungsi kontrol dan sistem menjadi kurang efektif dan sebagai gantinya semakin berlaku pendekatan serta pertimbangan serba pribadi. Keadaan itu mempengaruhi pandangan dan pendekatan dalam menangani persoalan politik, juga berpengaruh dalam menilai hal ihwal yang terjadi dalam masyarakat.

Apa yang terjadi di Situbondo membuktikan pandangan dan penilaian kita tentang apa yang berlangsung di Jakarta dalam akhir Juli lalu: Bahwa bukan isu sosial yang berbentuk sosial-politik yang sanggup menggerakkan massa, melainkan isu dan persoalan apa pun yang berbaju SARA, khususnya agama dan etnik.

PEMERINTAH bertindak menurut hukum, bahkan juga melangkah sesuai dengan garis politik yang berlaku. Akan tetapi, baik peristiwa Juli di Jakarta dan terutama kejadian di Situbondo, sebaiknya sekaligus juga membuat kita, secara rendah hati mawas diri dan koreksi diri.

Usaha pemerataan harus semakin disertai perwujudan asas dan rasa keadilan. Termasuk di dalamnya usaha mengendalikan kolusi, korupsi dan koneksi yang melanggar rasa keadilan dan kepatutan.

Pendekatan praktis, pragmatis dan kuantitatif telah membuktikan hasilnya, termasuk hasil mengajak masyarakat berpandangan dan berorientasi secara lebih nyata, lebih konkret, tidak sekadar kira-kira atau pada umumnya.

Tetapi bagi bangsa kita yang besar dan majemuk serta harus menghadapi perubahan intensif hampir di semua bidang kehidupan, tetap diperlukan - bahkan kini semakin diperlukan - pandangan dan pendekatan yang visioner, yang membesarkan hati, yang memberi motivasi dan mengajak terbang mengatasi keseharian.

Semakin diperlukan pendekatan psikologis politis karena banyak persoalan hidup masyarakat yang hanya bisa dilegakan - diselesaikan secara psikologis oleh pendekatan kualitatif itu.

Wawasan kebangsaan, rasa perasaan persatuan, kebersamaan serta kekeluargaan janganlah dianggap selesai atau dengan sendirinya akan menyertai kemajuan ekonomi. Persoalan itu justru tetap harus menjadi kesadaran dan pemahaman kita secara sungguh-sungguh, justru di tengah kemajuan, perubahan serta permasalahan yang kita hadapi.

DALAM kaitan besar itulah kita mencoba mendudukkan kejadian Situbondo yang sama-sama kita sesalkan seraya menempatkan tantangan kepada umat beragama dan kepemimpinannya bagaimana kita semua menghayati agama dengan persaudaraan yang sekaligus memperkukuh persatuan kita sebagai bangsa Indonesia.



Back to articles