25 Gereja Dibakar 10,000 Massa

Date: Sat, 12 Oct 1996 16:14:41 -0400 (EDT)
From: indonesia-l@igc.apc.org
To: apakabar@clark.net
Subject: IN: 25 Gereja Dibakar 10,000 Massa ...

25 Gereja, 4 Sekolah dan Biara Di Situbondo Dibakar dan Dihancurkan 10.000 Masa

Bukan hanya 25 Gereja dan sebuah Klenteng yang dirusak, dibakar dan dihanguskan, tetapi gedung TK, SD dan SMP serta gedung Pengadilan Negeri Situbondo. Beberapa pertokoan China juga turut dijadikan sasaran amukan masa. Kantor Kapolres dan kantor Pengadilan Negeri juga dirusak. Beberpa mobil dan sepeda motor dibakar. Yang paling memprihatinkan adalah karena kebengisan itu mengakibatkan 6 korban jiwa:

  1. Pendeta Ishak K (gembala sidang GPPS Situbondo) beserta isteri serta dua anak kandung mereka = 4 orang
  2. Satu orang karyawan = 1 orang
  3. Satu orang Karyawan Rumah Tangga = 1 orang

Masa yang diperkirakan berjumlah 10.000 orang hingga saat ini telah merusak dan membakar:

Selain itu masa yang diperkirakan berasal dari daerah Asem Bagus juga merusak, membakar dan menghanguskan secara keji:

Penyulut Serangan Tujuh Jam Situbondo

Lima hari setelah ABRI merayakan ulang tahun dan satu bulan menjelang peringatan Hari Pahlawan RI, terjadilah serangan tujuh jam di kota Situbondo. Serangan terjadi antara jam 10.00 - 17.00. Akhir-akhir ini angka 7 memang lagi "go public" pada dataran kancah politik di tanah air Indonesia. Segera setelah Majelis Hakim yang terdiri dari M Ridwan, R Sumaryanto dan Suhartono menjatuhkan vonis penjara selama 5 tahun bagi Pak Soleh (28 tahun, agama Islam, lulusan SMA 1991) yang telah melecehkan agama Islam. Pak Soleh berkata bahwa:
1. Orang tidak perlu shalat jika sudah sampai ke tingkatan tertentu, karena Al-Quran sudah menyatu dalam dirinya. Dia mengaku mendapatkan ilmu itu dari almarhum KH Syamsul Arifin melalui Mudarso, guru spiritualnya.
2. Dengan penuh keyakinan Pak Soleh mengatakan bahwa almarhum KH As'ad Syamsul Arifin - ulama Situbondo yang semasa hidupnya amat disegani - juga mempunyai ilmu salat itu, namun belum sempurna. Akibatnya, kata Pak Saleh, wafatnya Kyai As'ad juga belum sempurna.

Pernyataan itu menyulut amarah masyarakat Situbondo dan sekitarnya yang dikenal amat fanatik kepada Kyai As'ad. Massa menuntut Pak Saleh dihukum mati, sedangkan pengadilan memberikan hukuman 5 tahun. Mendengar keputusan itu, masa yang berjumlah kurang lebih 10.000 orang segera melampiaskan kekecewaan dengan cara merusak gedung Pengadilan Negri serta kantor Kapolres Situbondo. Mobil Dandim dibakar. Berjarak sekitar 50 meter dari kantor Pengadilan Negeri Situbondo ada gereja Kristen Bethani, gereja Pantekosta dan gereja Kristen Jawa. Masa yang menuntut agar Pak Soleh dijatuhi hukuman mati atau sekurang-kurangnya hukuman seumur hidup segera membakar gedung-gedung gereja yang ada di sekitar kantor Pengadilan Negeri Situbondo.

Pendeta Ishak K beserta Isteri dan kedua anak mereka tidak dapat melarikan diri. Mereka dibakar di dalam gedung gereja GPPS. Hangus dan akhirnya mereka sekeluarga meninggal.

Tenaga Aparat Pemerintah tidak dapat mengatasi amukan masa. Oleh karena itu pelampiasan kekecewaan itu langsung disalurkan dengan cara merusak, membakar dan menghanguskan gedung peribadatan lainnya (kecuali Mesjid), sekolah dan pertokoan orang China.

Tangisan Di Atas Reruntuhan Gedung Gereja Yang Telah Rata Dengan Tanah

Hari itu adalah hari Kamis, 10 Oktober 1996 jam 11.00 siang. Para murid SD dan SMP sedang khusuk belajar mempersiapkan Ulangan Umum yang tidak lama lagi akan mereka hadapi. Namun, kekhusukan itu tiba-tiba dihancurkan oleh adanya masa yang diduga berasal dari daerah Situbondo, Bondowoso, Jember, Probolinggo, dan Banyuwangi.

Mereka membawa bom molotop. Melemparkannya ke gedung sekolah. Bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan para siswa yang sedang belajar. Mereka tercerai berai. Teriakan-teriakan dan tangisan histeris anak-anak kecil begitu menyayat. Masa semakin mendekati gedung sekolah. Mereka tidak mempedulikan teriakan dan tangisan anak-anak tak berdosa itu. Bengis, sadis dan keji. Dalam waktu yang sekejap gedung TK, SD dan SMP telah menjadi puing-puing arang. Rata dengan tanah.

Tindakan bengis, sadis dan keji belum pupus. Pada hari itu juga sekitar jam 13.00, massa melanjutkan kebengisan mereka dengan membakar gedung Gereja Katolik di daerah Panarukan dan Asem Bagus. Arsip-arsip penting tidak sempat diselamatkan. Hangus terbakar api dan kini juga tinggal puing-puing arang dan telah menjadi rata dengan tanah juga.

Kebengisan dan tindakan keji ternyata belum juga berakhir. Masa yang semakin histeris di dalam kebengisan akhirnya mendapatkan sasaran baru, yakni Rumah para suster SPM. Mereka masuk ke dalam biara para suster. Mengobrak-abrik barang-barang yang ada di situ. Para suster yang sudah diberitahu 10 menit sebelumnya telah mengungsi. Beberapa dokumen penting bisa diselamatkan. Namun barang-barang lainnya hancur lebur. Rumah biara para suster SPM akhirnya dirobohkan, dibakar dan dihanguskan. Kini tinggal puing-puing arang yang telah menjadi rata dengan tanah.

Kini tidak ada tempat ibadat yang tersisa, kecuali umat katolik dan umat protestan yang kehilangan tempat berdoa. Tempat menimba kekuatan dari Yang Ilahi. Tidak ada yang tersisa, kecuali anak-anak yang kini tidak mempunyai tempat untuk menimba ilmu guna mengisi masa depan. Tidak ada yang tersisa kecuali para suster SPM yang kini sudah tidak mempunyai tempat lagi untuk meletakkan kepalanya.

Kini masa sedang bergerak menuju daerah Bondowoso. Entah apa lagi yang akan diperbuat di daerah itu.

Dari Meja Peradilan Menuju Gedung Gereja

Mengapa masa melampiaskan kekecewaan mereka akan keputusan peradilan itu dengan cara membakar dan memusnahkan Gedung Gereja, Gedung Sekolah dan Biara? Itulah pertanyaan yang mesti kita jawab. Menunjukkan rasa prihatinan dan menyayangkan terjadinya peristiwa itu serta mengajak agar tidak terulang lagi adalah berguna, tetapi untuk saat ini, itu bukan yang terpenting. Mencari Dalang yang ada di balik peristiwa itu, kiranya justru akan menimbulkan masalah baru.

Di Tanah Air yang kita cintai ini memang belum pernah terjadi tindakan tegas dan transparan terhadap dalang kerusuhan pembakaran Gereja. Mungkin hal ini tidak pernah akan terjadi. Apabila tindakan tegas itu diberlakukan maka ada satu wadah masa mayoritas yang tidak dapat lagi dijadikan sarana untuk "mensuseskan" kebijaksanaan politik golongan tertentu.

Inilah akibatnya kalau kelompok agama sering dilibatkan dalam kegiatan berpolitik. Para politikus tertentu pasti akan "bermanis-manis" dengan kelompok agama mayoritas. Tindakan bermanis-manis ini tentu juga menguntungkan kelompok agama yang bersangkutan. Bahkan para ulama tertentu akan mencarikan dan mentafsirkan ayat-ayat Kitab Suci untuk mendukung gagasan bahwa agama harus dipolitisir.

Di dalam agama Kristen ada sebuah pernyataan yang berbunyi: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar, dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah". Jadi kolusi antara politikus tertentu dengan ulama tertentu pasti akan menghasilkan keberuntungan. Namun, pada saat kepentingan mereka saling bertabrakan, maka keduanya akan "cuci tangan" dengan cara mencari KAMBING HITAM. Proses mencuci tangan ini biasanya diusahakan dengan:

  1. menjungikir-balikan fakta dengan menggunakan bahasa yang ditulis oleh wartawan bayaran,
  2. mempermainkan angka kematian,
  3. mengalihkan perhatian
  4. memohon agar masalahnya tidak diteruskan lagi demi kepentingan masyarakat yang lebih luas dan demi stabilitas nasional,
  5. mem-PKI-kan kelompok tertentu,
  6. menangkap orang-orang tertentu dengan pemaksaan atau perekayasaan hukum,
  7. menyiksa fisik dan batin orang-orang tertentu agar merka menjadi jera atau agar mereka menyetujui pernyataan-pernyataan tertentu yang sudah direkayasa demi kepentingan kelompok pemerintah tertentu,
  8. apabila sudah kepepet dan tidak dapat berargumentasi lagi, maka mereka akan berkata: sangat disayangkan hal itu terjadi, kami turut prihatin, akan kami lacak terus otak pelakunya, masyarakat dapat menahan diri dan tidak mudah terpancing oleh isu, hasutan dan desas-desus yang menyesatkan, dll.

Dalam kerusuhan Situbondo tadi, delapan proses pencucian tangan tadi sudah dilaksanakan dengan cepat, mulus dan terpadu.

Beberapa masyarakat saat ini sedang sibuk menganalisa mengapa keputusan meja peradilan bisa melahirkan keputusan membakar dan memusnahkan Gereja? Beberapa umat kristen saat ini sedang takut bicara, takut beribadah, takut berkumpul melebihi dua atau tiga orang atas namaNya, takut berdoa di negara Pancasila yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa. Beberapa umat kristen saat ini sedang bertanya di dalam hati mengapa umat Islam berbuat demikian? Beberapa umat Islam sedang bertanya-tanya mengapa umat kristen demikian? Inilah politik MEMECAH BELAH yang merupakan sarana ampuh untuk menyusun sebuah strategi agar kepentingan politik tertentu dapat berjalan dengan bebas dan rahasia. Bebas dari hambatan. Rahasia di dalam ruang birokrat tertentu.

Pertanyaan dan pernyataan itu tentu tidak salah. Meskipun demikian tentu ada beberapa masyarakat yang saat ini sedang mencari tahu: siapakah Pak Soleh itu? Apa motivasinya sehingga ia berbicara seperti itu di daerah Situbondo yang terkenal santri itu? Mengapa dalam suasana seperti itu tiba-tiba ada isue yang mengatakan bahwa Pak Soleh disembunyikan di Gereja? Mengapa isue itu begitu cepat dapat menggerakkan masa untuk menghancurkan gereja? Sarana-sarana apa saja yang digunakan sehingga dalam waktu yang sekejap mereka dapat menghancurkan, merobohkan, membakar 26 tempat ibadah, 4 sekolahan, kantor polisi, kantor Pengadilan Negeri, dll ? Apakah hanya menggunakan sarana-sarana yang seadanya atau sarana yang memang sudah dipersiapkan?

Mengumpulkan masa sejumlah 10.000 orang bukanlah usaha yang gampang. Motivator macam apa yang menyampaikan isue kepada mereka sehingga mereka mau bergerak? Mengapa aparat keamanan tidak dapat "mencium" perencanaan ini? Kalau toh mereka sudah mencium, mengapa tidak ada sikap dan tindakan antisipatif ? Mengapa umat Kristen tidak mampu "mencium" terlebih dahulu akan adanya kerusuhan itu? Bagaimana sosialisasi mereka terhadap umat beragama lainnya? Berbagai macam pertanyaan kini mengalir dari benak dan sanubariku, namun aku tak tahu kemana akan bermuara? Ke KOMNAS HAM? Ke aparat Pemerintah? Ke LBH? Ke lembaga iuridis? Mungkin hanya kepada rumput yang bergoyang.



Back to articles