Penjara dan Iman

          Penjara merupakan bukti risiko yang telah saya tanggung.
      Selama di Rutan Tanjung Gusta saya tetap belajar mensyukurinya.
      Saya justru memiliki waktu khusus untuk semakin melihat dan
      memahami kehendak Tuhan untuk sekarang dan yang akan datang.
      Ketika di Rutan saya kerap merenungkan firman-Nya, berdoa dan
      berpuasa.  Kebiasaan ini telah mengubah saya. Sebelum di penjara
      saya sangat benci dan dendam kepada Presiden Suharto, karena banyak
      kasus yang ditangani selalu berbenturan dengan mereka.  Namun belajar
      dari kisah Daud dan Saul, saya menyadari bahwa mereka harus
      dikasihi.  Untuk mengasihi mereka, saya harus terus menyuarakan
      kebenaran.  Kalau tidak bangsa ini akan hancur!  Inilah yang harus
      kita hindari.  Hal lain, saya semakin diteguhkan bahwa yang saya
      lakukan benar, baik secara iman maupun hukum.  Karena itu, saya
      tidak mungkin berhenti. Saya harus menyuarakan kebenaran dan
      terus berjuang bersama rakyat.

           Saya juga menyaksikan kebenaran yang dinyatakan Tuhan.
      Ketika menunggu vonis pengadilan negeri Medan, saya berpuasa dan
      beriman akan bebas.  Ketika akan naik banding, Tuhan meneguhkan
      iman saya melalui mimpi.  Dalam mimpi, dengkul kaki sebelah kiri
      saya digigit harimau.  Saya melawan dengan menyebut, "Dalam nama
      Yesus kukalahkan kau."  Setelah itu saya sadar.  Tetapi isteri saya
      mengatakan bahwa hukuman saya akan ditambah. Saya tidak tahu dari
      mana dia memperoleh informasi tersebut.

           Besoknya, seperti biasa, saya berdoa dan terlintas dalam
      hati bahwa hukuman saya akan ditambah, tapi saya tetap yakin
      bahwa saya pasti bebas. Kebenaran akan menang.

           Kenyataannya?  Ternyata hukuman saya ditambah menjadi 4
      tahun.  Sehingga ketika diumumkan saya tidak kaget lagi.  Menjelang
      Paskah, saya puasa lagi.  Dalam komunikasi dengan Tuhan, saya
      diberi keyakinan akan bebas tanggal 20 Mei.  Februari'95 ketika
      isteri datang, saya katakan padanya bahwa saya akan bebas tanggal 20
      dan saya minta ia menjemput.  Dia tertawa dan mengatakan, "Kau
      terlalu optimis."  Karena dua kali ditertawakan, saya diam. Seminggu
      kemudian saya kembali lagi mengatakan padanya bahwa saya akan
      bebas pada tanggal tersebut.  Dia tetap belum percaya.  Bahkan setelah
      bebas pun ketika saya menelponnya dari LBH, dia tidak percaya.
      Peristiwa tersebut persis seperti ketika Petrus keluar dari
      penjara.  Rodhe, perempuan yang menyambut kedatangannya tidak
      percaya bahwa Petrus yang mengetuk pintu. Saking girangnya, dia
      berteriak-teriak, "Petrus pulang..., Petrus pulang .....," tetapi
      tidak membukakan pintu.

           Banyak pengalaman berkesan ketika saya di penjara.  Hubungan
      dengan Allah tetap terjaga, dan saya berteman baik dengan narapi-
      dana disana.  Memang saya punya beban psikologis, dan rindu
      kepada keluarga.  Namun pada dasarnya saya sangat bersuka cita.

           Jika kita ingin demokrasi berjalan, tidak cukup hanya ber-
      doa.  Kita harus melakukan berbagai upaya.  Banyak yang dapat
      dilakukan mahasiswa dan alumni yang beragama Kristen.  Selain
      terlibat langsung, mahasiswa dan alumni juga dapat bersaksi
      melalui profesi, tulisan, pengajaran dan perpuluhannya.  Banyak
      orang-orang yang membutuhkan ulurah tangan kita.  Saat ini SBSI
      membutuhkan dana untuk memperjuangkan rakyat kecil.  Kami dengan
      tangan terbuka menerima dukungan, baik secara doa, daya dan dana!

              [Prev: Resiko&Keluarga]     [Next:  Kenangan RTP Poltabes Medan]    [Main Page]

            (sumber: Jurnal Muchtar Pakpahan, INDONESIA-L: apakabar@clark.net]