SUARA PEMBARUAN DAILY 
--------------------------------------------------------------------------------

Perkosaan Brutal Untuk Kepentingan Politik JAKARTA

- Sadis, kejam, brutal! Itulah ungkapan bagi perbuatan para perusuh yang
pemerkosa wanita-wanita WNI keturunan Tionghoa pada kerusuhan 13-14 Mei
lalu.

Akibat perbuatan sadis tersebut, para wanita korban perkosaan mengalami
gangguan psikis yang sangat parah. Di samping derita fisik yang masih
memerlukan perawatan.

Bahkan, di antara para korban yang tidak sanggup menanggung derita psikis,
ada yang nekat mengakhiri hidupnya.

Menurut Ita F. Nadia, koordinator Kalyanamitra, salah satu divisi Tim
Relawan yang menangani masalah kekerasan terhadap perempuan, saat ini di
antara korban ada yang tinggal di luar negeri, biara, luar pulau Jawa, rumah
yang dianggap aman dari intimidasi, klinik dan di rumah sakit jiwa.

Dari hasil verifikasi dan investigasi Kalyanamitra, peristiwa sadis itu
mulai terjadi pukul 16.00 WIB pada 13-14 Mei lalu.

Lokasi kejadian di ruko yang pemiliknya WNI keturunan Tionghoa di beberapa
jalan besar Jakarta Barat, dan Jakarta Utara.

Perkosaan dilakukan oleh 3-7 pria berbadan kekar, sangar secara bergantian,
dan serentak di berbagai ruko.

Ketika itu pukul 16.00 WIB, tiga gadis bersaudara tinggal di sebuah ruko
berlantai tiga, di tepi jalan besar kawasan Jakarta Barat.

Ketiganya merasa takut ketika tujuh pria masuk ke ruko dan mengobrak-abrik
seluruh isi toko. Dalam keadaan panik dan takut, ketiganya lari ke lantai
III untuk bersembunyi.

Namun, para perusuh mengejar ketiganya dan memerintahkan mereka telanjang.
Mereka tidak memperkosa wanita yang sulung karena dianggap sudah terlalu
tua, maka adiknya yang berumur 18 tahun dan 20 tahun diperkosa secara
bergantian oleh empat dari tujuh pria itu di hadapan mata kakaknya.

Usai memperkosa, di antara perusuh turun ke lantai I membakar toko. Namun,
karena kedua gadis bersaudara itu berteriak histeris saat diperkosa, pria
yang masih berada di lantai III mendorong kedua gadis tersebut ke dalam
kobaran api di lantai I.

Tragisnya, kedua gadis yang malang itu tewas terpanggang api bersama seluruh
isi toko. Sedangkan kakak korban yang dalam keadaan telanjang diselamatkan
oleh tetangganya setelah para perusuh meninggalkan ruko.

"Korban itu selalu menelepon saya, tapi belum pernah bertemu. Karena,
komunitasnya takut intimidasi itu terulang kembali. Ia sangat tidak percaya
lagi kepada pribumi," tutur Ita.

Dipukuli

Penderitaan akibat tindakan sadis para perusuh bukan hanya dialami wanita
WNI keturunan Tionghoa yang tinggal di ruko.

Seorang wanita yang sore itu pulang dari kantor dengan menumpang taksi di
kawasan Cengkareng dicegat oleh 10 pria.

Mereka memerintahkan si wanita ke luar dari taksi. Dalam keadaan takut,
wanita itu ditelanjangi dan sekujur badannya dipukuli.

Akibatnya, tubuh wanita ini penuh dengan luka-luka, terutama di bagian dada.
Dalam keadaan terluka, seorang haji menolongnya dengan memberikan jilbab
untuk menutupi tubuh korban, dan diantar ke rumah korban.

Para perusuh pun memperkosa wanita yang sudah bersuami. Seorang ibu yang
sedang menyusui anaknya ketika kerusuhan itu terjadi, tidak luput dari
serangan.

Tokonya diserang dan sang ibu diperkosa oleh tiga lelaki, sedangkan suaminya
luka parah dipukuli para perusuh. Akibatnya, wanita ini mengalami stres luar
biasa.

Tidak itu saja, di Jakarta Barat, menurut pengakuan wanita korban yang saat
ini berada di Hong Kong, anak gadisnya berumur 16 tahun diperkosa dan
vaginanya dirobek.

Saat ini gadis tersebut dalam tahap penyembuhan, dan dari segi mentalnya
sudah sangat parah. Walau anak itu hidup, namun si ibu seakan-akan sudah
kehilangan anaknya sebagai manusia.

Dalam kerusuhan itu bukan hanya anak gadis saja yang jadi korban, tapi juga
keluarga dan usaha mereka sudah hancur.

Seorang korban perkosaan yang stres berat selalu berteriak akan bunuh diri
kepada orangtuanya. Akhirnya, ayah korban yang menyaksikan sendiri anaknya
diperkosa para perusuh ini juga mengalami goncangan jiwa. Karena, anak
gadisnya selalu meneriakkan ingin bunuh diri.

Akhirnya, dalam keadaan stres berat sang ayah memberikan anak gadisnya racun
serangga, dan anak itu akhirnya bunuh diri.

Korban lainnya, seorang anak berumur 10 tahun. Karena tidak kuat, ibu anak
itu yang juga diperkosa perusuh akhirnya bunuh diri. Sedangkan ayahnya
dibakar oleh perusuh.

Korban perkosaan lainnya yang ditangani Kalyanamitra, seorang wanita berusia
sekitar 25 tahun. Korban ingin melupakan masa lalunya dengan cara tidak
menggunakan bahasa Indonesia.

Ia kini selalu berbahasa Mandarin, dan tidak mau memakai baju-bajunya yang
dulu.

Para korban dan keluarganya saat ini berada di Singapura, Taiwan, Hong Kong,
Cina, di luar pulau Jawa, biara dan rumah yang dianggap aman.

Korbam umumnya belum bisa dimintai keterangan, karena mengalami goncangan
jiwa yang sangat parah.

Telah Direncanakan

Disebutkan, korban perkosaan yang sudah ditangani dokter ada sekitar 20
orang di sebuah rumah sakit (RS) jiwa, dan ada tiga orang di klinik jiwa
yang masih banyak belum terjangkau.

Korban yang mengungkapkan perasaan dan kejadian sadis lewat telepon ada lima
orang, yang berada di rumah yang aman tiga orang dengan kondisi yang sangat
parah. Sedangkan enam korban perkosaan di Jakarta Barat kini berada di luar
negeri.

Menurut Ita, perkosaan yang dilakukan 3-7 orang itu, merupakan suatu
tindakan sadis yang telah direncanakan untuk menghancurkan WNI keturunan
Tionghoa untuk kepentingan politik. Karena, kekejaman itu dilakukan secara
serentak di suatu wilayah yang disertai dengan pembakaran.

Sedangkan perempuan dijadikan korban, karena perempuan di Indonesia dianggap
sebagai properti atau sebagai benda milik keluarga.

Sehingga, perempuan di Indonesia ini dinilai tidak punya hak apa-apa, karena
ia hanya sebagai properti keluarga. Karena itu, pemerkosaan brutal yang
dilakukan perusuh; untuk membangun rasa ketakutan masyarakat dengan
mengorbankan wanita WNI keturunan Tionghoa.

Dirancang

"Biasanya hal seperti itu dilakukan di suatu negara yang sedang mengalami
konflik. Ini tidak mungkin dilakukan orang biasa, karena orang biasa itu
tidak mampu melakukan. Ini suatu teror yang sudah direncanakan dan ada
pihak-pihak di balik ini," tandasnya.

Ita mengatakan, pemerkosa tidak pernah dikenal oleh korban, dan bukan dari
komunitas mereka. Pelaku perusuh diterjunkan serentak di berbagai tempat,
dan setelah melihat lokasi kejadian, pemerkosaan itu dilakukan di ruko milik
WNI keturunan Tionghoa yang berada di jalan besar.

Walau di perumahan biasa juga ada beberapa korban, tetapi jumlahnya sangat
kecil.

Artinya, si penyerang mudah diturunkan dan diangkut kembali.

Kalau pun ada penduduk sekitar yang tertangkap, mereka bukan pelaku
pemerkosaan, tapi penjarah. Bahkan, penduduk atau petugas keamanan yang
mengetahui perkosaan itu tidak berani berbuat apa-apa, karena ketakutan.

"Ini menunjukkan, hal itu sudah dirancang dan sekarang masalah ini sudah
tenggelam oleh masalah politik. Padahal, tindakan penghilangan hak hidup
manusia, merupakan pelanggaran hak hidup manusia yang paling brutal,"
tandasnya. Perkosaan, perusakan dan pembakaran terhadap WNI keturunan
Tionghoa, menurut Ita, secara langsung bukan karena kesenjangan sosial.

Sebab, kesenjangan sosial sudah sejak lama dibentuk, yakni dengan
menghadirkan anggapan di masyarakat; WNI keturunan Tionghoa hanya orang yang
berdagang, memikirkan uang, yang tidak mau bergaul dengan orang Indonesia.

Konstruksi semacam itu diba ngun dan ditanamkan sejak zaman dulu. Konstruksi
ini semakin diperkuat dengan mengeksklusifkan tempat tinggal WNI keturunan
Tionghoa.

Padahal, tidak semua WNI keturunan Tionghoa kaya. Khususnya di Jakarta,
dibentuk suatu tempat tinggal eksklusif Tionghoa oleh rezim yang berkuasa.

Sehingga, ketika terjadi sesuatu, komunitas inilah yang dikorbankan, sebagai
kelompok yang mengakibatkan kesenjangan ekonomi.(NN/D-7)