Suara Pembaruan, 25 Mei 1998.

APA-APA YANG TAK BOLEH TERULANG LAGI

Oleh: Eka Darmaputera

Pak Habibie yang saya hormati.,

Saya tidak mengenal Bapak, dan Bapak pun pasti tidak mengenal saya.

Sebab itu, saya tidak tahu apakah kita saling menyukai. Itu tidak

penting. Namun suka atau tidak suka, sejak Kamis pagi ini Bapak

adalah Kepala Negara saya. Dengan tulus saya harus menghormati

Bapak. Dan suka atau tidak suka, saya adalah warga negara

Indonesia, yang mesti pula Bapak ayomi dan lindungi.

Sebagai warga negara Indonesia itulah, saya menulis surat ini. Sengaja

saya membuatnya sebagai sebuah surat terbuka, oleh karena surat ini

juga ingin saya sampaikan kepada seluruh bangsa. Betapapun isinya,

Bapak mesti membaca dan mendengarkannya. Oleh karena, konon,

kebesaran kualitas kepemimpinan seseorang antara lain diukur dari

kemampuan dan kemauannya untuk mendengarkan dari semua yang

dipimpinnya, tanpa kecuali. Semoga Bapak setuju.

 

Pak Habibie yang saya kasihi.,

Baru dua kali bangsa kita mengalami suksesi. Kedua-duanya, sungguh

menyedihkan, baru bisa berlangsung setelah menelan begitu banyak

korban. Saya mohon, Bapak serta segenap bangsa bertekad dan

berusaha sekeras mungkin agar suatu mekanisme diciptakan, sehingga

hal semacam ini tidak akan pernah terulang lagi. Begitu Bapak menerima

sebuah kedudukan, pada saat itu juga Bapak harus siap dan ikhlas untuk

berhenti kapan saja. Hanya dengan begitu, bila nanti Bapak mesti

menyerahkan jabatan presiden kepada pengganti Bapak, Bapak dapat

melakukannya dengan senyum yang lebar. Tidak setegang seperti yang

saya saksikan ketika Bapak menerimanya Kamis pagi itu.

Salah satu cara agar tragedi tidak terulang kembali, adalah dengan

belajar dari kesalahan masa lampau serta mengoreksinya. Masa

pemerintahan peralihan Bapak ini hendaknya Bapak manfaatkan untuk

meletakkan fondasi yang sehat bagi perkembangan dan kejayaan

seluruh bangsa di waktu-waktu yang akan datang. Bila perlu jadilah

seperti Nabi Musa yang rela memimpin umatnya guna sampai ke

perbatasan, walau ia sendiri tidak pernah memasukinya.

 

Pak Habibie yang saya hormati.,

Kesalahan yang paling pokok dan paling fatal dari pemerintahan Orde

Baru adalah, ketidakmampuannya mendengarkan kritik dan ketidak-

mampuannya melakukan koreksi. Sebaliknya, keahlian dan keteram-

pilannya adalah menggalang dan membeli dukungan secara artifisial.

Semua ini terjadi secara berangsur-angsur, seiring dengan semakin

mantap dan mapannya kekuasaan. Orde Baru yang pada awalnya lahir

sebagai kekuatan korektif, menjadi kian tertutup bagi koreksi. Setiap

cara dipakai untuk membeli dukungan, dan setiap cara pula dipakai

untuk membungkam koreksi. Diharamkannya lembaga oposisi, diperke-

nalkannya mekanisme recalling, dipraktikkannya pencabutan SIUPP,

diberlakukannya Litsus, cekal dan seterusnya, semua itu adalah sedikit

dari jauh lebih banyak contoh dari "produk asli" dan "produk andalan"

Orde Baru untuk membungkam koreksi.

Ketika koreksi dibungkam, maka yang tersingkir adalah kejujuran,

dan yang terbenam adalah kebenaran. Dan yang muncul? Tidak bisa

lain adalah penjilat-penjilat, kaum oportunis dan para vested-interest.

Mereka yang hari ini berteriak "Hosana", dan besok dengan sama

lantangnya berteriak "Salibkan Dia", virus-virus penyakit korupsi,

kolusi dan nepotisme. Kita lalu bagaikan memelihara tikus-tikus untuk

menggerogoti rumah sendiri. Bapak mesti menghindar dari mereka!

Pak Habibie, betapa singkat pun usia pemerintahan peralihan yang

Bapak pimpin, ia akan terukir dengan tinta emas bila Bapak

memulainya dengan mencabut semua produk serta mentalitas yang

anti-koreksi itu. Bila Bapak segera mengumumkan bahwa oposisi

tidak lagi diharamkan, semua suara didengarkan, pembredelan

pers serta recalling anggota parlemen ditabukan, dan perbedaan

pendapat diberi tempat.

 

Pak Habibie yang saya kasihi.,

Ada satu hal lagi di mana Orde Baru telah berubah sifat. Seperti pada

penyakit kanker di mana sel sehat berubah sifat menjadi pembunuh,

begitulah perubahan sifat yang terjadi pada Orde Baru juga telah

berkembang menjadi amat membahayakan. Perubahan yang saya

maksudkan adalah, ketika secara gradual Orde Baru yang semula

inklusif terjerembab menjadi semakin faksional dan tersekat-sekat.

Mungkin waktu itu Bapak masih berada di Jerman. Tapi saya masih

ingat benar ketika Orde Baru dilahirkan. Kesatuan-kesatuan Aksi yang

melahirkannya pada waktu itu mewakili seluruh spektrum lapisan,

golongan dan profesi yang ada di dalam masyarakat. Sampai para

pengendara becak pun membentuk Kesatuan Aksi. Suku, ras dan

agama tidak dipersoalkan. Dalam Front Pancasila semuanya bahu-

membahu saling mendukung, tanpa curiga. Golkar, dengan Doktrin

Kekaryaannya, membanggakan inklusivisme bahkan menawarkannya

sebagai alternatif. Pencanangan Pancasila sebagai satu-satunya asas

konon juga dilandasi oleh tekad sekali untuk selama-lamanya

melenyapkan faksionalisme dan sektarianisme dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Namun lambat laun tembok-tembok pembatas serta tembok-tembok

pemisah pun bermunculan, semakin banyak dan semakin sempit.

Perasaan saling curiga dan terancam antar-kelompok seakan-akan

justru semakin dirangsang. Proses penggeseran dan penggusuran terus-

menerus terjadi, diakui atau tidak diakui. Bagaikan orang yang men-

derita luka dalam, masyarakat Indonesia hanya kelihatannya saja utuh,

namun sesungguhnya terserpih-serpih di dalam.

Saya mengakui bahwa perusakan dan pembakaran gedung gereja

memang bukan barang baru. Apalagi terhadap toko-toko dan rumah-

rumah orang Cina. Tapi siapa dapat menyangkal bahwa pada beberapa

tahun terakhir inilah, peristiwa-peristiwa memalukan itu menjadi amat

fenomenal. Nasionalisme saya sungguh terganggu, ketika orang semakin

tidak terganggu oleh tulisan ''Milik Pribumi'' atau ''Milik Muslim'' yang

terpampang telanjang di mana-mana. Di mana kita dan ke mana kita

setelah 28 Oktober 1928 itu?

Ketika kesatuan dan persatuan bangsa seolah-olah tidak dipedulikan

lagi, maka seluruh masa depan bersama itulah yang sebenarnya

dipertaruhkan. Tidak mungkin kita mengatasi krisis hebat ini, terlebih-

lebih menghadapi tantangan-tantangan besar di masa depan,

dalam keadaan terpecah belah.

Pak Habibie, Bapak mesti merekat dan menjahit lagi kain yang nyaris

rantas dan terserpih itu. Bapak mesti menjahitnya dengan sangat

berhati-hati, agar cabiknya jangan malah bertambah parah.

Demokratisasi yang diperjuangkan oleh gerakan reformasi, tidak bisa

tidak, memang berarti diperhatikannya dan tersalurnya aspirasi yang

besar dan yang banyak. Tapi yang tak kurang pentingnya dari prinsip

demokrasi adalah, terjaminnya dan terlindunginya hak-hak hidup

mereka yang kecil dan sedikit. Rasa "ayem" dan aman seluruh

komponen bangsa tanpa kecuali adalah prasyarat bagi terjalinnya

solidaritas nasional yang kokoh. Dan hanya dengan solidaritas nasional

yang kokoh, Bapak akan dapat memimpin bangsa ini dengan tenang.

Basis dukungan terhadap kepemimpinan Bapak pun akan jauh lebih

luas dan lebih kokoh.

Oleh sebab itu saya setuju benar dengan mereka yang menyarankan agar Bapak

mengawali langkah pemerintahan Bapak, dengan tindakan kenegarawanan yang

mewujudkan sebuah rekonsiliasi nasional. Bebaskan semua tapol, berikan

tempat bagi semua kelompok, dan berdirilah di atas semua golongan.

Rezim yang lama, mesti diakui, telah menyakiti hati banyak orang dan

banyak kelompok. Saya mohon dengan arif Bapak berhasil mengajak

bangsa ini agar tidak memakai kesempatan ini untuk melampiaskan

dendam kesumat. Ini bukan waktunya untuk membuka luka lama dan

menoreh luka baru, yang akan menambah penderitaan bangsa yang

telah amat sakit ini. Juga bukan waktunya untuk bersikap dominasi-

dominasian. Doa saya adalah agar Bapak mampu menampilkan diri

sebagai Bapak semua orang, semua kelompok dan semua golongan.

 

Pak Habibie yang saya hormati.,

Dalam Alkitab kami, disebutkan bahwa ''anggur yang baru memerlukan

kerbat yang baru.'' Anggur pembaruan telah tersedia. Terima kasih

kepada adik-adik mahasiswa dan mahasiswi yang telah berhasil

membuat mujizat, mem"possible"kan apa yang seolah-olah "impossible"

Sekarang yang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah ''kerbat-kerbat'' baru.

''Stock lama'' hanya bisa dipakai untuk sementara, sebab akhirnya

akan sulit bisa dipakai untuk mengemban tuntutan-tuntutan kebutuhan

yang baru.

Itulah, pak Habibie, surat saya. Doa saya agar Bapak berhasil meletak-

kan dasar bagi kehidupan politik yang lebih demokratis, kehidupan

ekonomi yang lebih adil, dan kepastian hukum di segala bidang.

Syalom.