SUARA PEMBARUAN DAILY


Analisis Christianto Wibisono

Kebangsaan Vs Kemanusiaan

Presiden Clinton mendarat di Xian sebagai Presiden AS pertama yang mengunjungi RRC sejak insiden Tiananmen, pada saat intervensi bersama AS-Jepang, mencoba mempertahankan nilai yen yang sedang merosot karena stagnasi dan krisis ekonomi Jepang. Saya menyaksikan jumpa pers duet Clinton-Jiang Zemin di Great Hall of the People yang ditayangkan melalui CNN, Sabtu siang waktu Beijing.

Salah satu pertanyaan wartawan ialah bagaimana menjelaskan fenomena ambruknya yen dan intervensi Washington Tokyo di satu pihak dan upaya serius Beijing untuk mempertahankan nilai renminbi. Sebab bila terjadi devaluasi renminbi, maka itu akan memicu gelombang kedua depresiasi seluruh mata uang Asia termasuk rupiah. Clinton menjawab bahwa intervensi AS hanya sekadar faktor pendukung, dan resesi ekonomi Jepang hanya bisa diatasi oleh Jepang sendiri yang harus segera membenahi struktur fundamentalnya yang kropos dan rawan.

Pertanyaan media lain tentang Dalai Lama dan Tibet serta pembangkang Cina dijawab secara diplomatis oleh Jiang. Pemerintah Cina tidak berkeberatan berdialog dengan Dalai Lama, dengan syarat Dalai Lama mengakui bahwa Tibet adalah bagian integral dari Cina. Disindir pula oleh Jiang bahwa Dalai Lama mewakili paham teokrasi, seperti Eropa sebelum Abad Pertengahan dan Pra Reformasi ketika kekuasaan Gereja atau Agama dan negara bercampur baur manunggal. Kenyataan bahwa jumpa pers itu ditayangkan bebas tanpa sensor di seluruh Cina juga ditekankan oleh CNN sebagai terobosan Beijing dalam menyikapi arus gerakan demokrasi di Cina.

Westphalia vs Washington

Menyaksikan jumpa pers Clinton Jiang Zemin kita melihat dialog dua filosofi besar umat manusia yang diwakili oleh negara terbesar dalam jumlah penduduk dan negara terkuat dalam ekonomi politik bisnis militer, RRC dan AS. Jiang Zemin mewakili bangsa dan negara yang sudah berumur ribuan tahun yang selalu merasa sebagai pusat dan kiblat dunia karena pernah menjadi pusat imperium peradaban manusia selama berabad-abad. Jiang Zemin juga mewakili ideologi pengagum nationstate atau negara kebangsaan. Suatu paham yang juga lahir di Barat, hasil Peace of Westphalia tahun 1648 dengan semboyan right or wrong my country.

Sementara Bill Clinton mewakili ideologi kemanusiaan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia melawan dominasi absolut penguasa tunggal yang selama berabad-abad, merupakan sistem politik yang bersifat generik dan universal dimana pun dimuka bumi ini. AS lahir karena individu anggota masyarakat tidak ingin dikuasai oleh sistem politik sepihak yang mendikte masyarakat yang senantiasa bisa salah dan memerlukan koreksi terus-menerus secara transparan. Karena itu AS menghormati oposisi, dissident dan perimbangan serta pengawasan kekuasaan yang efektif untuk mencegah dominasi negara oleh oknum dan klik oligarki tertentu dengan dalih atau slogan muluk apapun.

Saya baru saja membaca buku 3d Milenum The Challenge and the Vision, suatu produk dari kelompok seniman dan cendekiawan global dalam wadah The Club of Budapest yang diketuai Ervin Laszlo. Anggotanya 36 orang antara lain Dalai Lama, aktor Peter Ustinov, konduktor Zubin Mehta, Inayat Khan dan Richard von Weiszacker. The Club of Budapets berdiri tahun 1993 dan melihat mutlak perlunya pendekatan multidisiplin dan sentuhan kepekaan etis kemanusiaan dalam memasuki milenium ketiga. Laszlo yang adalah gurubesar pada Yale, Princeton dan State University of New York menyimpulkan bahwa paradigma lama yang dipakai untuk menyikapi masa depan akan gagal.

Tidak mungkin kita mengelola dunia sekarang dengan praduga dan konsep masa lalu betapa pun suksesnya teori yang sudah membaku dan nyaris membeku dalam otak generasi lama elite dunia. Harus ada terobosan ke arah paradigma baru dimana dikap konservatif right or wrong my country yang dimitoskan dan diberhalakan, dirubah menjadi sifat proaktif menyongsong tantangan globalisasi yang semakin akut.

Membaca Laszlo tidak perlu khawatir bahwa anda akan menjadi liberal klasik, sebab Laszlo justru mengintrodusir pola win-win solution ketimbang winner takes all yang menjadi kiblat kaum liberal klasik zaman Adam Smith. Saya rasa bagi orang yang sudah melewati masa Keynes, tidak perlu menjadi dogmatis bahwa liberalisme Barat itu identik dengan homo homini lupus. Sebab sejak ditantang oleh Marxisme dan Fasisme, liberalisme Barat sudah alih rupa dan mawas diri menjadi liberalisme yang manusiawi, menyegani intervensi negara dan publik. Demi tetap memelihara kebebasan individu dari ancaman pembajakan dan penindasan oleh golongan mana pun, birokrasi dan aparatur negara. Maupun dari bisnis maupun mobokrasi brutal kaum anarkis, teroris dan fanatis primordial yang tidak mampu mengatasi naluri biadab dan sifat kebinatangan yang rendah dalam diri manusia beringas.

Pemikiran The Club of Budapest ini sangat diwarnai oleh sentuhan etnis dan rasa estetika para seniman budayawan yang mewakili pelbagai peradaban dan latar belakang agama. Saya rasa The Club of Ciganjur yang dipimpin Gus Dur ketika mengeluarkan pernyataan mengutuk Tragedi Biadab 12-14 Mei, tidak kalah inteleknya maupun kadar kemanusiaannya dibanding The Club of Budapest. Saya juga menilai militansi Ester Yusuf, wanita muda Tionghoa yang menikah dengan pribumi Batak tulen, yang berani mengeluarkan Deklarasi dan menuntut ABRI untuk mempertanggungjawabkan absennya aparat keamanan selama 48 jam holocaust di Jakarta tidak kalah dengan Mary Robinson, mantan Presiden Irlandia yang sekarang menjadi Presiden Komite HAM PBB. Saya salut pada Rosita Noor, wanita lajang Minang tulen yang berani mengultimatum Perintah RI bahwa BAKOM PKB akan mengadukan Tragedi Biadab itu ke PBB. Bila pemerintah tidak mengutuk dan menghukum aktor intelektual dan pemicu tingkah laku biadab yang membuat jati diri Indonesia terpuruk mirip Nazi Hitler dan rezim Pol Pot. Saya sendiri merasa kecil karena sedang berada di AS untuk mendampingi cucu saya yang menderita "disoerientasi habitat". Seorang anak sudah terbiasa dengan rumahnya, kamarnya, lingkungannya. Mendadak karena dibakar dan was was terus menerus selama berada di Jakarta, cucu saya harus berpindah rumah, kamar dan lingkungan. Para psikiater sibuk menganalisis secara ilmiah, tapi para orang tua bayi dan cucu seperti saya yang harus menanggung beban berat menyaksikan proses adaptasi yang sulit bagi anak kecil yang sering menangis tak keruan juntrungan.

Terkadang saya pribadi terpikir untuk melakukan gugatan "class action" mewakili korban Tragedi Biadab 12-14 Mei bukan untuk diri saya atau anak-anak saya atau cucu saya, walaupun mereka sangat menderita, karena yang diperkosa dan dibunuh, tentu jauh lebih menderita dari saya dan keluarga saya. Saya sedang berpikir keras dan berkonsultasi dengan pengacara saya, apakah saya bisa menggugat oknum yang bernama Soeharto sebagai penanggungjawab kebiadaban 12-14 Mei 1998. Sebab waktu itu Soeharto masih menjadi Presiden RI yang tidak bisa melarikan diri dari tugas dan kewajiban serta tanggungjawab melindungi tumpah darah Indonesia dan segenap rakyat Indonesia. Tapi selama 48 jam, rezim yang dipimpin oleh Soeharto tidak mampu mengirim satu tentara atau polisi untuk mencegah dan menindak para pemerkosa, penjarah, pembunuh rasialis yang telah menginjak-injak hak asasi manusia dan mempermalukan reputasi RI dimata ummat manusia seluruh muka bumi. Saya termasuk yang percaya dan yakin bahwa ABRI dan pemerintah RI sebgai suatu kesatuan kolektif institusi politi modern, tidak mungkin mempunyai kebijakan membiarkan Tragedi Biadab itu. Karena itu saya tidak ingin menggugat dan menyalahkan pemerintah RI maupun ABRI secara institusional. Saya hanya ingin menggugat kepada oknum Soeharto agar ia bertanggungjawab kepada seluruh rakyat Indonesia dan sgenap umat manusia atas apa yang terjadi pada hari-hari terakhir rezim politik kesrakat yang dipimpinnya secara tangan besi, one man show dan telah memakan banyak korban jiwa dan harta manusia tidak berdosa secara sangat sadis dan tidak manusiawi.

Gugatan saya cukup sederhana, Soeharto harus memberi ganti rugi finansial dan material kepada seluruh korban kebiadaban rekayasa dan teror politik yang pernah dilakukan selama 32 tahun berkuasa. Tidak hanya korban yang dijarah selama 48 jam Tragedi Biadab Kontra Reformasi, melainkan korban yang jatuh sejak Malari. Keluarga Hariman Siregar dan mertuanya Prof Dr Sarbini, dengan anak istri yang menderita depresi dan dipenjara. Keluarga dan pribadi Subadio Sastrosatomo yang juga keluar masuk penjara. Keluarga HR Dharsono yang dipenjara dan difitnah, keluarga para korban insiden Tanjung Priok, insiden Santa Cruz Dili, insiden Lampung dan rentetan peristiwa berdarah berlatar belakang rekayasa politik yang sudah dilupakan orang. Pada skala global, kejahatan dan kekeliruan politik yang dilakukan oleh Nazi Hitler dan bahkan pemerintah AS yang menginternir warga keturunan Jepang di AS, telah memberikan ganti rugi finansial kepada para korban ketidakadilan masa lalu Soeharto pribadi harus bertanggungjawab mengapa terjadi pembakaran sistematis terhadap gereja dan insiden SARA sejak Situbondo berantai ke seluruh tanah air, menjelang Pemilu sampai pelaksanaan Sidang Umum MPR Maret 1998. Soeharto pribadi juga harus bertanggungjawab atas drama 27 Juli 1996 ketika kantor DPP PDI diserbu "preman politik secara brutal dan ebringas. Daftar dosa Soeharto ini bisa setebal Ensiklopedia Britanica bila dirinci secara detail bahkan perlu pula diusut mengapa ia tidak melindungi alm jenderal Yani, ketika ia dilapori Kolonel Latief bahwa PKI akan menculik Yani cs. Kolonel Latief masih hidup dan bisa diperiksa kembali mengapa PKI justru membiarkan Soeharto lolos?

Terus terang saja, saya kasihan dan prihatin terhadap Soeharto yang ditinggalkan oleh para mantan penjilat dan pengekornya. Saya juga tidak kepengen mendapat ganti rugi sepeserpun dari Soeharto untuk rumah eks anak saya di Pantai Indah Kapuk. Tapi saya akan menggugat dan menuntut pengelola Pantai Indah Kapuk, PT Mandara Permai untuk mengganti rugi secara material dan finansial kepada semua penghuni rumah murah jenis Camar dan Walet yang dibakar dan dirampok. Sedang jenis rumah mewah dan showroom Indomobil tidak terlempar bekas kerikil sekalipun. Bekas rumah anak saya sendiri seyogyanya dilestarikan sebagai Monumen Tragedi Biadab Kontra Reformasi 12-14 Mei 1998. Harus ditulis dengan huruf besar yang tampak dari udara, LAST DAYS OF SOEHARTO, BARBARIC TERROR OF MAY 12-14 1998. Supaya kita sebagai bangsa tidak mengulangi kesalahan serupa di masa depan. Supaya kita benar-benar mengutuk dan menjamin bahwa teror biadab itu tidak akan terulangi oleh siapapun dan dengan dalih apapun. Supaya kita sebagai bangsa mampu memasuki Milenium Ketiga seperti peringatan The Club of Budapest, bukan dengan semboyan masa lalu yang ketinggalan zaman seperti right or wrong my country, apalagi my president yagn berKKN dan berpola Ken Arok.

Masa depan dunia akan bergeser pada kemanusiaan yang adil dan beradab. Masa lalu yang dibajak oleh penguasa totaliter atas dalih nasionalisme dan chauvinisme, tidak mungkin survive karena akan dikucilkan oleh dunia yang beradab dan berperikemanusiaan. tingkah laku yang lebih jahat dari binatang terhadap sesama manusia oleh oknum Kontra Reformasi harus dikutuk sekeras-kerasnya. Kunjungan Clinton ke RRC sekarang ini telah memaafkan insiden Tiananmen, tapi dunia tidak akan melupakan pembantaian biadab itu secara mudah. Trauma Tiananmen akan tetap menjadi beban sejarah bagi RRC. Karena itu Zhao Ziyang menulis surat terbuka bahwa pemerintah RRc harus meminta maaf dan menyesali serta mengutuk penggilasan mahasiswa oleh tank secara brutal. Zhao Ziyang adalah PM dan Sekjen Partai Komunis Cina yang bersimpati dan mendatangi demonstran mahasiwa di Tiananmen sebelum mereka digilas oleh tank dan panser atas perintah Li Peng yang direstui Deng Xiao Ping. Segera setelah itu Zhao Ziyang dipecat dan ditahan dalam kota Beijing hingga saat ini.

Dialog Clinton dengan Jiang Zemin yang terjadi di Beijing seharusnya memberi ilham kepada kita apakah kita sebagai bangsa akan survive memasuki Milenium Ketiga dengan sistem politik demokratis atau ingin tetap ngotot dengan sistem politik model Westphalia yang ketinggalan zaman. Jiang Zemin dan RRC mewakili pola westphalia yang mengklaim bahwa elite politik mampu memberi kepemimpinan pada rakyat yang masih melarat dan bodoh.

Clinton mewakili sistem demokrasi modern yang insaf dan sadar bahwa manusia bisa berdosa dan membajak kepentingan umum, karena vested interest pribadi dan keluarga elite politik. Karena itu sistem demokrasi sejati yang menganut paham pembatasan, pengawasan dan perimbangan kekuasaan merupakan prasyarat mutlak keberhasilan suatu rezim meningkatkan kesejahteraan lahir batin, material spiritual penduduk yang dikelolanya. Sistem ini juga memperjuangkan kemanusiaan bagi seluruh umat manusia termasuk melindungi hak asasi para oposan dan dissident yang di negara asal mereka dibunuh, dibantai, dicekal, dibui dan dimusuhi.

Waktu menulis analisis ini saya sangat terharu dan terkesan oleh perjuangan Hafsat Abiola (23 tahun), putri Presiden terpilih Nigeria, Moshood Abiola yang ditahan oleh penguasa militer Nigeria, Jenderal Sani Abacha sejak 23 Juni 1994. Ibunya, Kudirat yang memperotes penangkapan suaminya, dibrondong peluru di Logas ketika akan berangkat menghadiri Wisuda Hafsat. Minggu lalu Jenderal Sani Abacha mati mendadak dan diganti oleh Mayjen Abdulsalam Abubakar. Hafsat melancarkan kampanye melalui Time, Newsweek dan media massa AS bahwa ia akan kembali ke Nigeria. Hafsat juga mengecam pemerintah AS yang tidak menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Nigeria karena kepentingan bisnis maskapai minyak AS. kecaman Hafsat memang tepat, sebab AS juga tidak mampu mencegah Sani Abacha menggantung Ken Saro Wiwa, penyair dan dramawan terkenal Nigeria. Tapi kampanye demokrasi oleh Hafsat hanya bisa dilakukan dari bumi AS yang menghormati hak asasi dan oposisi demokratis. Dari Portland saya berdoa semoga Indonesia tidak perlu jadi Nigeria dan mengalami banyak Hafsat yang kehilangan ayah dan ibu karena perbedaan politik. Kepada mereka yang ngotot bersemboyan right or wrong country atau my commander in chief atau my president, belajarlah tentang Tiananmen, tentang Hafsat dan tentang politik kemanusiaan yang utuh melawan kebangsaan pola Westphalia yang kuno. sempit dan kerdil.

Insiden Trisakti dan teror Kontra Reformasi, tragedi biadab 12-14 Mei 1998 telanjur mencoreng kita sama dengan Tiananmen mencemari citra RRC. Semoga elite Indonesia bertobat, mawas diri dan mohon ampun agar Tuhan tidak menghukum bangsa Indonesia menjadi Sodom dan Gomora menjelang Millenium Ketiga. ***


Last modified: 6/29/98