Tempo Interaktif
Edisi 16/03 - 20/Juni/1998 

         Wawancara Harry Tjan Silalahi: 
         "Nasib Etnis Cina Di Indonesia
         Seperti Nasib Isteri Kedua"

                             Kerusuhan sosial yang terjadi
                             belakang ini lebih menjurus
                             kepada sentimen anti etnis Cina.
                             Padahal, sentimen ini sebelumnya
                             tidak pernah ada dalam sejarah
                             menjadi kerusuhan yang massal
                             di semua tempat. Karena itulah
                             tokoh pembauran yang juga
                             anggota Dewan Pertimbangan
                             Bakom PKB, Harry Tjan Silalahi
                             merasa ada banyak keanehan
                             dalam kerusuhan yang terjadi di
         medio pertengahan Mei 1998 lalu. Apalagi bukti-bukti di
         lapangan menunjukkan adanya dugaan kuat: ada kelompok
         yang terorganisir yang ikut memprovokasi, memancing
         keberanian massa. 

         Masalah-masalah apa saja yang sebenarnya masih menjadi
         ganjalan dalam proses pembauran dan kerukunan antar etnis
         terutama Cina di Indonesia? Untuk mengetahui hal itu lebih
         rinci, maka Edy Budiyarso menemui Harry Tjan Silalahi,
         63, tahun tokoh pembauran dan mantan Ketua Partai Katolik
         Indonesia di masa Orde Lama ini. Berikut hasil perbincangan
         yang dilakukan di kantor tempat Harry bekerja, CSIS, Jalan
         Tanah Abang III Jakarta Selatan, Jum'at 19 Juni lalu.
         Petikannya: 


         Bagaimana Anda melihat k erusuhan yang terjadi pada
         pertengahan Mei 1998 lalu? 

              Saya melihat ada gerakan SARA khusus etnis
              Cina itu sejak terjadi kerusuhan di Pantura,
              Cirebon dan Losari, Jawa Barat. Lebih kentara
              lagi kemudian kejadian di Jakarta dan Solo pada
              pertengahan Mei 1998 lalu. Fokus kepada etnis
              Cina dapat dibuktikan di lapangan. Para pemilik
              toko dan rumah selalu memasang alat
              sembahyang muslim dan menuliskan juga
              tulisan pribumi muslim. Jadi, pribumi saja masih
              belum cukup. 

              Kerusuhan ini kemudian menjalar sampai ke
              Palembang. Jelas peristiwa ini sangat
              memilukan. Dari laporan di lapangan dan
              laporan Komnas HAM terlihat ada kelompok
              yang teroganisir yang menggerakkan.

         Kejanggalan apa saja yang Anda dapatkan dari laporan
         di lapangan? 

              Ada pola kerusuhan yang sama, target yang
              sama. Padahal dalam sejarahnya, konflik rasial
              di Indonesia tidak pernah pernah spontan terjadi.
              Harus ada konflik yang laten di suatu
              masyarakat, yang terus menerus terjadi. Dan ini
              hanya terjadi di satu daerah saja, tidak sampai
              menjalar sangat luas. Apalagi sebelumnya,
              kira-kira setahun yang lalu, sudah ditemukan
              selebaran yang bertuliskan ganyang Cina, awas
              Kristenisasi. Ini menunjukkan adanya
              pengorganisasian.

         Bagaimana dengan kerusuhan-kerusuhan yang berbau
         etnis sebelumnya, seperti kasus Situbondo dan
         Tasikmalaya? 

              Yang terjadi di Situbondo itu konotasinya lebih
              ke arah religius. Masalah rasial hanya menindih
              persoalan religius. Karena kebetulan anggota
              gereja-gereja Kristen itu anggotanya adalah
              warga keturunan Cina. 

         Khusus untuk Jakarta, tampaknya aksi penjaran,
         pembakaran dan pemerkosaan, pada awalnya dibiarkan
         oleh aparat keamanan. Anda kecewa? 

              Itu yang sangat disayangkan. Pemerintah lewat
              alat-alat keamanannya tidak tanggap, terlambat
              dan kurang jumlahnya. Lebih menyakitkan lagi
              bagi warga minoritas, tidak ada pejabat
              pemerintah yang menyapa secara khusus, tidak
              ada yang merasa turut prihatin dan mau
              menampung keluhan para korban. 

              Yang muncul malah generalisasi. Ada yang
              menyatakan syukurin luh. Bukankah ada
              sekelompok orang-orang Cina yang hidup
              berlebihan dan turut dalam penjarahan yang
              lebih besar, seperti yang dilakukan oleh para
              kolutor dan para konglomerat? Hal ini membuat
              rasa penolakan yang kuat sekali dari bagian
              tubuh bangsa, dari kelompok minoritas.

         Apa sebenarnya yang dibutuhkan warga keturunan
         dalam situasi sulit seperti itu? 

              Kami rindu adanya orang-orang yang mau
              mendengarkan keluhan kami. Apalagi jika yang
              diajak bicara itu orang yang memiliki otoritas.
              Warga keturunan itu ingin ada pejabat negara
              yang mengatakan bahwa mereka satu saudara,
              sehingga tidak perlu merasa khawatir.
              Kerusuhan yang terjadi hanyalah kecelakaan
              bangsa di mana kita sama-sama merasa malu.

              Selanjutnya kepada kepada sebagian kecil
              warga keturunan Cina yang melakukan kolusi,
              korupsi, harus ditindak secara hukum. Jangan
              ditindak secara politis Karena itu tidak sesuai
              dengan prinsip negara hukum.

         Apakah Anda bisa menunjukkan dari kelompok mana
         barisan yang terorganisir tadi? 

              Jelas kami tidak bisa menyebutkan sesuatu
              yang tidak jelas betul. Maka, sudah menjadi
              kewajiban petugas keamanan membuktikan
              adanya kelompok terorganisir itu. Bukankah
              Presiden Habibie sendiri yang menyebutkan
              adanya kelompok teroganisir di depan para
              perwira ABRI. Penyelidikan ke arah itu harus
              dilakukan oleh aparat keamanan untuk
              menumbuhkan rasa aman, sehingga diharapkan
              di masa yang akan datang, kejadian ini tidak
              akan terulang lagi.

         Apakah fakta sosial yang menunjukkan adanya
         kesenjangan itu juga ikut menjadi berperan? 

              Makanya sudah harus diubah orientasi
              pembangunan nasional. Dari pembangunan fisik
              saja yang melupakan masalah non fisik, seperti
              masalah psikologis kejiwaan, masalah kultural
              dan masalah-masalah politik. Semua masalah
              itu harus seimbang.

              Orde Baru ini 'kan terlalu terpesona oleh
              kemajuan ekonomi. Sehingga, aspek-aspek lain
              seperti pembinaan politik, kultural, suasana
              psikologis yang tegang antara orang kaya dan
              orang tidak punya. Antar etnis antar agama
              harus disantuni sehingga masalah ini tidak
              menjadi tidak terlambat.

         Bagaimana dengan anggapan bahwa selama ini orang
         Cina dibiarkan gemuk dengan saluran ekonomi
         kemudian dijadikan korban seperti hewan kurban? 

              Saya kira itu benar. Digemukkan kemudian
              dibantai. Ini jelas tidak menguntungkan
              siapa-siapa. Karena yang kurus-kurus akan
              ketinggalan waktu, jika membantai, dan
              menjarah barang-barang yang hanya dinikmati
              sesaat. Padahal yang diperlukan adalah
              pemerataan sejak semula. Ini yang kurang
              diperhatikan.

         Kenapa ini bisa terjadi? 

              Hal ini bisa terjadi, karena banyak orang-orang
              Top di masa Orde Baru itu lemah dalam
              penguasaan konsep tentang national building.
              Sedikit sekali dari mereka yang membaca
              kembali, siapa penghuni bangsa Indonesia yang
              sebenarnya. Seperti yang dirumuskan oleh para
              pendiri bangsa, sehingga orang dengan mudah
              menyatakan pribumi Indonesia. Padahal, tidak
              ada Indonesia, yang ada hanyalah pribumi Solo,
              Batak, Sunda, karena kata Indonesia sendiri
              bukan kata asli Indonesia, melainkan diambil
              dari bahasa Yunani. 

         Sebagai bekas Ketua Partai Katolik Indonesia, Anda
         bisa membandingkan rasa kebangsan dari pemimpin
         bangsa? 

              Maaf saja, konsepsi kebangsaan Pak Harto itu
              sangat minim jika dibandingkan dengan Bung
              Karno. Bung Karno itu keluar mengatakan saya
              ingin bangsa Indonesia yang besar. Sedangkan
              Pak Harto jika keluar mengatakan dirinya orang
              Jawa. Jadi, jika Bung Karno dulu memakai peci
              dan pakaian safari yang diterima semua orang
              dan menunjukkan ciri khas orang Indonesia.
              Sedangkan Pak Harto datang ke Istana
              menggunakan blangkon dan pakain adat Jawa.
              Dari contoh kecil ini saja sudah bisa dilihat visi
              Pak Harto yang tidak sejauh Bung Karno.

         Anda setuju dengan anggapan bahwa politik
         diskriminasi memang sengaja dilestarikan untuk
         melanggengkan kekuasaan politik Orde Baru? 

              Ya. Saya memiliki pengandaian yang pas
              dengan warga keturunan di Indonesia. Secara
              politis orang-orang Cina ini diperlakukan sebagai
              isteri kedua, gundik atau selir. Mereka ini
              dinikmati tubuhnya, tetapi tidak pernah diajak ke
              acara-acara resepsi., sehingga mereka tidak
              mengerti masalah-masalah kenegaraan. Rasa
              memiliki bangsa pun kurang, sehingga wajar
              saja jika mereka memiliki uang, mereka akan
              selalu simpan. Karena mereka takut sang
              penguasa, sang suami ini akan mencari isteri
              yang baru lagi.

         Kongkritnya? 

              Orang Cina kuat di bidang ekonomi karena
              sejarah. Mereka juga sering dipakai oleh para
              pejabat pemerintah yang pribumi, untuk
              mengelola sumber-sumber ekonomi pejabat itu.
              Bukan mengurusi sumber ekonomi negara.
              Lantas mereka melakukan monopoli,
              keuntungan dari monopoli itu dibagi bersama,
              sehingga yang rugi lagi-lagi adalah rakyat yang
              harus membeli barang dengan harga mahal.
              Kedua-duanya salah dalam kasus seperti ini. 

              Lantas jika masyarakat tahu ada korupsi di
              lingkungan pemerintah, maka, pejabat itu
              dengan mudah mengatakan semua itu terjadi
              karena dominasi ekonomi Cina. Padahal,
              mereka juga menikmati keuntungan bersama.
              Hal ini yang terjadi di hampir semua pemerintah
              daerah di Indonesia. Di pusat dengan cara-cara
              monopoli. 

         Apakah jalan keluarnya bisa dilakukan dengan
         mendirikan partai politik, seperti yang dilakukan oleh
         Partai Politik Tionghoa? 

              Menurut saya itu bukan solusi yang tepat.
              Pendirian Partai Tionghoa bisa malah menjadi
              bumerang dan kontra produktif. Saya melihat
              adanya tendensi pembatasan, dalam partai.
              Partai politik harus dibatasi hanya yang memiliki
              konstituen lima persen dari jumlah penduduk.
              Jika kurang dari lima persen, maka tidak boleh
              ikut dalam pemilu, berarti bubar. 

              Kalau partai Tionghoa didirikan, maka tidak
              akan bisa menjadi partai, karena jika seluruh
              orang Tionghoa memilih, jumlahnya tidak akan
              lebih dari tiga persen. Padahal, kita tahu orang
              seperti Kwik Kian Gie itu sudah pasti akan
              memilih PDI, Yunus Yahya PDI juga. Jusuf
              Wanandi pasti akan memilih Golkar. Dan orang
              pribumi itu sudah pasti tidak akan memilih
              Partai Tionghoa.

         Jalan keluar seperti apa yang bisa dilakukan untuk
         mencegah aksi rasialisme terulang lagi? 

              Harus ada pendidikan politik, sosial yang
              dilakukan oleh para pemimpin informal. Seperti
              yang dilakukan Gus Dur, begitu sampai di
              Surabaya, dari Eropa, setelah ada kerusuhan
              Tasikmalaya, ia lantas mengatakan saya
              sebagai pemimpin umat Islam meminta maaf
              atas kerusuhan Situbondo. Dan pada saat itulah
              suasana menjadi tenang.

              Begitu juga seperti yang sekarang dilakukan
              oleh Amien Rais. Amien mengatakan
              saudara-saudara keturunan Cina, kesalahan
              tidak karena mereka, tetapi kesalahan kebijakan
              pemerintah. Lantas Amien mengatakan agar
              warga keturunan yang masih berada di luar
              negeri agar kembali dan bersama-sama
              memperbaiki bangsa. Pernyataan itu sungguh
              menyentuh hati, dan kami sebagai warga
              keturunan juga merasa diorangkan, disamakan
              derajadnya. Ini penting sekali. 

==============================================
Sumber Berita : Tempo Interaktif Online
==============================================