Cina di Indonesia

(Potongan 'cerita' Prof. Ben Anderson yang dikisahkan tgl. 27 Des.1995 di Ithaca)

Ketika saya paling akhir diperbolehkan berfoya-foya di Tanah Air -

hampir 23 taon yang lalu - pada suatu malam saya nongkrong

ngobrol-ngobrol dengan temen-temen di salah satu warung di kota

Sala. Tahu - tahu pembicaraan kami pindah ke topik 'kuburan cino'.

Dari pembicaraan itu muncul ungkapan bahwa 'si cino' itu tidak

berhak untuk beristirahat untuk selamanya di bumi Indonesia tanpa

gangguan, sehingga 'layak digusur' . Timbullah beberapa pertanyaan

di benakku : mengapa 'kuburan cino', perlu digusur, dan kapan

bertumbuh fantasi keblinger ini.

Pertanyaan tadi baru mulai terjawab setelah saya sempat membuat

riset di Pilipina pada akhir tahun 80-an. Karena di sana saya melihat

banyak sekali manusia yang jelas keturunan campur 'intsik', pribumi

dan Spanyol. Mungkin sekali prosentasi penduduk 'intsik' di Pilipina

jauh lebih tinggi dari prosentase 'cino' di Tanah Air. Selain itu

sebagian besar cukup berada, plus mereka nongol di segala bidang

politik, sastra, kriminalitas, agama, profesi dan sebagainya. Tetapi -

dan ini aneh mengingat bahwa para pribumi Pilipina masih masuk

bangsa Melayu raya - selama 100 tahun belakangan ini, di mana timbul

revolusi pertama di Asia, penjajahan Amerika, Perang Dunia ke-2,

dllnya, tidak pernah ada huruhara anti-cino. Malahan kasus-kasus

kekejaman dengan skala besar terhadap si cino dilakukan oleh

penguasa Spanyol, bukan pribumi, dan pembantaian paling akhir

terjadi pada taon 1762: pas duapuluh dua tahun setelah pembantaian

'cino' yang pertama di Indonesia yang dilakukan oleh orang-orang

Belanda di Batavia pada tahun 1740, 250 tahun yang lalu. Yang lebih

menarik lagi, ialah bahwa istilah Spanyol untuk manusia 'pendatang'

ini, sampai pertengahan adab ke-19, bukannya 'cino' tapi 'sangley'.

Kita kenal kata ini dalam versi Indonesianya yaitu 'sengli', yang

berarti dalam bahasa Hokkien 'si pedagang'.

Seolah-olah zaman dulu pejabat imigrasi Spanyol bertanya pada si

pendatang dari Fujian, "kamu ini siapa", dan dijawab "yang bener aje,

gue pedagang". Tapi saking gendhengnya dan mental sukuisnya si

pejabat, 'pedagang' diartikannya bukan sebagai nama aktivitas tetapi

sebagai nama sukubangsa. Tetapi 'nama' ngawur ini juga akan

menimbulkan pembantaian.

Di Hindia Belanda kita bisa lihat kegendhengan angker yang sangat

mirip. Risetnya Mason Hoadley ttg. Sejarah Cirebon antara abad

ke-17 akhir dan abad ke-18 awal menjadi bukti yang nyata. Pada

suatu waktu terjadi pembunuhan pejabat tinggi di kota udang yang unik

ini. Dari dokumen-dokumen pribumi kita dapat info bahwa yang

dituduh menjadi biang keladi pembunuhan itu ialah seorang pejabat

tinggi lain yang selalu disebut dengan titelnya Ki Aria Martaningrat.

Tetapi dari dokumen-dokumen Kumpeni orang ini selalu disebut

sebagai 'seorang Cina yang jahat' (si Ki Aria ini kebetulan menjadi

syahbandar di Cirebon dan rupanya menghalang-halangi strategi

monopoli perdagangan dari Kumpeni). Maka jelas sekali bahwa pada

masa itu orang-orang Cirebon tidak punya mental 'sukuis' apalagi

'rasialis'. Dunia mental mereka berdasarkan hierarki pangkat.

Penglihatan semacam ini sangat terbukti dari memoirenya Pangeran

Diponegoro yang dikarang dalam pembuangannya mungkin 100 tahun

setelah kasus Ki Aria Martaningrat. Di seluruh memoire itu, beliau

tidak pernah menganggap musuhnya sebagai 'bangsa' Belanda.

Musuh-musuh selalu disebut dengan pangkatnya, si Edeleer ini, si

Gubernur itu. Dengan demikian kita harus berusaha mengerti mengapa

dan bagaimana manusia di Hindia Belanda sempat 'belajar' merobah

gramatika alam pikiran mereka meniru alam pikiran Kumpeni.

Kita bisa mulai dengan pembantaian-pembantaian yang serem di

kedua markas besar kolonialisme gaya lama di Asia Tenggara, yaitu di

Manila ( 1762) dan di Batavia ( 1740). Mereka bisa terjadi karena

dua macam faktor.

Pertama-tama, faktor ketakutan dan paranoia dikalangan bule

sendiri, yang jumlahnya sangat terbatas, dan hidupnya puluhan

ribu kilometer dari tanah air masing-masing. Pada pertengahan

abad ke-17 kekuatan si Kumpeni sedang merosot dengan cepat

(paralel dengan merosotnya kedudukan Belanda sendiri di

percaturan politik di Eropa) sehingga dengan gampang sekali

dihancurkan oleh Inggris pada awal abad ke-19. Pada tahun

1760, Inggris sudah sapu bersih Spanyol yang makin lemah dari

Manila; tentara Inggris yang dibantu oleh kelompok Sangley

yang sudah lama merasa diperas oleh penguasa Spanyol

setempat. Ketika Inggris pergi, orang Spanyol balas dendam.

Faktor kedua ialah bahwa kedua markas besar ini didirikan

sebagai pusat perdagangan, dan karena itu menarik pedagang

dari banyak tempat di Asia; ternyata mereka diperlukan untuk

memperluas ekonomi masing-masing jajahan. Pendatang lain

juga nongol, tapi tanah air mereka sangat jauh, sedang

Tiongkok itu dekat dan masih jaya di bawah pimpinan

kaisar-kaisar Tsing yang keturunan Manchu. Bisa diduga bahwa

di kedua markas jajahan ini, si pendatang yang kulit berwarna

sekaligus diperlukan dan ditakuti oleh si pendatang yang berkulit

bule.

Tokh dalam jangka panjang cara menanggulangi masalah ini

dipecahkan dengan cara yang sangat berlainan, dan dengan akibat

jangka panjang yang lebih berlainan lagi. Di Pilipina, dari semula ada

usaha keras dari misionaris Katolik untuk mengkatolikkan bukan

hanya para pribumi tetapi kelompok-kelompok Sangley juga, biar

sama-sama masuk 'kebudayaan Katolik' yang dianggapnya universal

itu. Dengan sukses yang lumayan.

Tetapi usaha mereka tidak mungkin begitu berhasil kecuali dengan

politik yang dilaksanakan oleh penjajah dalam bidang hukum. Undang

- undang Spanyol memustahilkan seorang Sangley, kalow kawin

dengan wanita pribumi (dan ketika itu tidak ada wanita dari Fujian

masuk Pilipina), mempunyai anak yang juga berstatus Sangley.

Anak-anak itu langsung diberi status hukum sebagai seorang mestizo

(peranakan), seorang 'campur', dengan hak-hak, pajak-pajak,

kedudukan dsbnya sendiri. Dan karena si anak itu diasuh oleh ibunya

yang Katolik, di daerah yang berbahasa Tagalog, Cebuano atau

Ilokano, dia cepet sekali masuk kebudayaan yang lumayan jauh dari

kebudayaan Fujian. dan sering tidak bisa berbahasa Sangley. Dengan

cara beginian, jumlah Sangley tetap rendah, sedangkan jumlah mestizo

(keturunan campuran si Sangley itu) terus bertambah besar - hanya

karena kebijakan kolonial.

Ternyata daya politik asimilatif ini sangat kuat, sehingga ketika, pada

akhir abad ke-19, timbul pergerakan nasionalis anti-Spanyol, sebagian

besar pemimpin - pemimpin yang terkemuka berasal dari kelompok

mestizo ini - umpamanya sang martir, dan Bapak Tanah Air Dr Jose

Rizal. Dan tidak mengherankan bahwa di tengah sederetan presiden

Pilipina sampai sekarang, mungkin hanya si Magsaysay yang bukan

'mestizo'. Dengan demikian tidak terlalu mengherankan mengapa

sampai sekarang tidak pernah ada huruhara anti-cino yang berarti di

Pilipina.

Tetapi di Hindia Belanda, perkembangan sangat berbeda. Belanda

sendiri ialah negara kecil, dengan jumlah penduduk yang sangat

terbatas. Lagipula karena agama-agama Protestan baru nongol pada

pertengahan abad ke-16, dan jumlah penganutnya lebih terbatas lagi.

Tenaga kerja untuk aktivitas misionaris di Asia dengan sendirinya

minimal. Lebih dari itu, Nusantara sedang dikuasai oleh suatu

konglomerat bisnis, si Kumpeni, bukan oleh kerajaan yang

berlegitimasi agama Katolik. Dengan kekecualian-kekecualian tertentu

di Maluku, Kumpeni tidak berhasrat membuang duit untuk usaha

konversi, dan cepat-cepat membuat aliansi praktis dengan raja-raja

beragama Islam, sedangkan kolonialis Katolik di Pilipina sebaliknya

pasang perang religius yang serem terhadap raja-raja Muslim yang

kecil di daerah-daerah yang kecil. di daerah-daerah yang sekarang

disebut kawasan Bangsa Moro.

Di benak Kumpeni ada perhitungan juga bahwa usaha konversi bisa

juga menggoncangkan sistim kongkalikong yang didirikan dengan

penguasa-penguasa Islam lokal. Karena itu, usaha konversi yang

beneran baru mulai pada pertengahan abad ke-19, pada ketika

Kumpeni sudah diganti oleh negara Belanda sendiri. Misi-misi Katolik

dan Kristen baru bisa beroperasi dengan kebebasan terbatas 250

tahun setelah Belanda mulai macam-macam di Nusantara. Perlu düngat

ini !! Kalau di Pilipina garis-pisah agama menjadi penting,

sedangkan garis-pisah suku menjadi tidak penting, justru di

Hindia Belanda yang terjadi adalah sebaliknya.

Sekali lagi, yang paling berpengaruh adalah sistim hukum yang

diterapkan dan dipaksakan. Penguasa Belanda ternyata luar biasa

alergi terhadap segala macam `percampuran'. Dari semula sampai titik

terakhir. tidak pernah ada status yang mirip status 'mestizo' di

Pilipina.

Status dari anak-anak yang lahir dari adegan ranjang antara cowok

londo dengan cewek pribumi umpamanya, harus 'belanda' atau

`pribumi', tergantung si bokap.

Kalok si bokap `mengaku' seorang anak, si jabang bayi akan berstatus

Belanda, biar kulitnya ireng dan hidungnya pesek, kalok tidak, dia

akan hilang di tengah `dunia pribumi' yang maha luas itu. Kebijakan ini

mungkin sekali, dalam jangka panjang, dibuat dengan sengaja. Karena

penguasa Belanda bisa melihat bagaimana jajahan Inggris dan Spanyol

di benua Amerika akhirnya dihancurkan justru oleh kelompok

`peranakan Eropa', yang sebagian besar, di Amerika Latin, berdarah

campur.

Dengan demikian, golongan keturunan campur bule-pribumi selalu

dipisahkan antara minoritas yang ingin mati-matian mempertahankan

privilise- privilisenya atau sebagai masyarakat ibunya sebagai anak

haram, hasil hubungan seks yang liar. Dengan demikian, golongan

campur ini tidak bisa main peranan politik dan ekonomi penting, dan

selama abad ke-20 ini hanya segelintir diantaranya bisa nongol kecuali

dalam dunia film.

Politik Kumpeni terhadap kelompok Sangley dan keturunannya sangat

mirip dengan yang di atas, tetapi harus dimengerti dalam konteks

politik jajahan sebagai keseluruhannya. Karena Kumpeni, dengan

alasan- alasan yang disebut di atas, tidak pernah ada maksud atau

kemampuan untuk mengasimilasikan kelompok Sangley ke dalam

kebudayaan Belanda-Protestan, golongan ini harus dinetralisir dengan

cara lain. Dan cara itu adalah usaha untuk memisahkannya dari setiap

kemungkinan beraliansi dengan, dan berasimilasi kepada dunia

pribumi. Mereka tahu bahwa setiap si Ario Martaningrat tidak

dianggap 'Cino' oleh sultan-sultan di Cirebon dan mereka percaya

bahwa dia dan mungkin ortunya sudah menjadi Muslim; mereka tahu

bahwa wajah-wajah manusia di kota-kota perdagangan sepanjang

pesisir utara pulau Jawa, mereka bisa menduga betapa banyak orang

di situ adalah keturunan campur, sadar atau tidak. Mereka mungkin

juga lama-lama mengetahui bahwa di kekaisaran Tiongkok sendiri

banyak sekali terdapat manusia yang beragama Islam. Dengan

demikian, sebaliknya dari praktek Spanyol di Pilipina, mereka

berusaha keras supaya, secara hukum, keturunan-keturunan si

hoakiau, tetep `Cino' tanpa membuka kemungkinan mendapat status

sebagai orang campur. Peduli amat kalo anak-anak ini tidak bisa

berbahasa Hokkien, tidak mengerti adat istiadat sistim Konghucu, dan

sebagainya : dia harus tetap sebagai `Chineese'.

Status hukum ini sangat diperkuat dengan sistim ghetoisasi. Dengan

beberapa pengecualian yang penting, orang-orang ini dipaksakan

bermukim di kawasan kota tertentu, mereka harus kawin di antara

mereka sendiri dengan upacara `Cino' yang sedikit banyak diatur oleh

Belanda: mereka harus berdandan dengan gaya `Cino'. warisan

mereka harus diatur oleh peraturan tersendiri. Mereka tidak boleh

bepergian kemana mereka suka tanpa paspor internal. Dan yang paling

penting, sedapat mungkin mereka harus tunduk kepada pimpinan

otoriter dari `Kapten-Kapten' atawa `Major' (biasanya orang kaya

setempat) yang diangkat dan dipecat oleh gubermen sendiri. Sekaligus,

selama berabad-abad mereka juga tidak boleh terlalu bersifat `Cino',

dalam arti membuat sekolahan yang mengajar bahasa Cino tertulis,

apalagi bahasa lisan bangsanya Mandarin atau Hokkien. Pada

akhirnya mereka dibuat terkatung-katung - cino beneran tidak, pribumi

tidak. dan anggota kebudayaan Kristen-universal juga tidak. Bisa

dikatakan mereka dibikin semacam `banci' kebudayaan, banci perkara

status hukum dan lama-lama banci dalam arti politik.

Sekarang, mari kita berpaling kepada `pengecualian, yang disebut di

atas. Dalam hal ini, karangannya Jim Rush memang luar biasa

bagusnya. Karena di situ digambarkan bagaimana timbul, pada bagian

kedua dari abad ke-19, konglomerat `Cino' - menurut istilah zaman itu

`raja' - pada landasan perdagangan candu di bawah pimpinan

gubermen sendiri. Banyak segi dari sistim pembiusan ini - yang

mungkin lebih teratur dari sistim yang dipakai kartel-kartel cocaine di

Colombia sekarang - sangat menarik. Boleh saya garisbawahi

beberapa diantara segi ini :

Saling ketergantungan an tara elit-elit bule, `Cino' bikinan, dan

pribumi.

Bule pegang monopoli pengimporan candu dari India Inggris, sindikat

kapten-kapten dan major-major pegang kartel distribusi wholesale,

priyayi-priyayi dan weri-werinya menanggulangi perdagangan retail

dan tindakan pengamanan fisik (centeng) dari kartel-kartel itu tadi. Dus

seolah - olah diluar hierarki rasial yang resmi, pimpinan semua

kelompok bergandengan tangan untuk urusan dagang yang korbannya

rakyat kecil. Tokh justru hierarki-rasial-menurut- hukum membuat

perlu sistim setengah gelap ini.

Sistim bisnis ini dibuat sangat erat dengan hierarki birokrasi dan

kawasan teritorial yang menjadi landasannya. `Kawasan' monopoli,

batasnya sama dengan batas kabupaten dan keresidenan, sehingga

kuasa-kamtibmas si bupati pas dengan kuasa dagang si Kapten.

Orang `Cino, biasa diharamkan keluar dari ghettonya, dan dikontrol

dengan passensysteem yang ketat. Hanya si Kapten dengan bolo

dekatnya boleh mondar-mandir ke pedalaman. Dus kekayaan

kelompok `raja' pada dasarnya berdasarkan sistim politik dan

organisasi birokrasi. Monopoli mereka, seperti hampir semua

monopoli di dunia, hanya dimungkinkan dengan lindungan politik,

kepolisian, dan birokrasi yang bule-pribumi 10% bule, 90% pribumi.

Nah, selama Hindia Belanda menjadi daerah tertutup (orang Belanda

sendiri harus punya paspor untuk masuk sebelum 1870), sistim enak

ini aman. Tetapi setelah mulai cair pada tahun 1880-an, segala macam

konflik laten mulai nongol. Mungkin faktor yang paling penting adalah

pencabutan secara berangsur- angsur dari passenstelsel dan sistim

pemukiman paksa. Karena dengan demikian orang- orang `Cino'

peranakan untuk pertama kali boleh berkeliaran semaunya di

pedalaman, tetapi dari basis `ghetto' yang sudah berabad-abad

berlangsung dan dengan model raja-raja di depan matanya. Ditambah

gelombang `Cino, totok yang datang setelah 1890 dari kekaisaran

Tiongkok yang sedang ambles. Kebetulan pada masa yang sama

nasionalisme Tionghoa untuk pertama kali mulai tumbuh di bawah

pimpinan Sun Yat Sen di daerah Nanyang, di luar cengkeraman

birokrasi Tsing.

Tidak mengherankan kalok dalam situasi demikian, kelompok yang

berabad diperlakukan sebagai `Chineese, oleh gubermen, biarpun

mereka berbahasa Jawa, Madura, Bali, Melayu dan sebagainya, mulai

merasa bahwa mereka `kurang Chineese', dan mendirikan

sekolah-sekolahan dan organisasi yang berideologi `Chineesess'.

Lebih lagi tidak mengherankan bahwa di kalangan pribumi, khususnya

bibit-bibit nasionalis, timbul reaksi terhadap gejala-gejala ini, dan

bahwa reaksi mereka dalam banyak hal meniru contoh dari kelompok

Tionghoa. Jelas sekali umpamanya bahwa Taman Siswo adalah

semacam tiruan sistim sekolahan 'asli' Cino yang diperintiskan oleh

THHK.

Dan suatu masyarakat yang sudah begitu lama dibiasakan oleh

gubermen untuk mengimajinasikan existensinya sekelompok `cino'

-yang sebenarnya 85% sudah berasimilasi kepada kebudayaan

pribumi- dengan gampang sekali merasa bahwa `asimilasi' itu

sebenarnya cuman kedok: dan juga gampang tidak mengerti bahwa

konglomerat cino yang jahanam itu tidak berdasarkan `lihaynya bangsa

cino, tetapi adalah hasil dari kongkalikong antarsukubangsa tingkat

atas.

Dari situ timbul kemungkinan yang luas untuk huruhara rasialis yang

memang mulai terjadi di Hindia Belanda pada taon 1919, hanya 80

tahun yang lalu. Kalau sensus Belanda yang mulai diadakan pada tahun

1921 membagikan penduduk Hindia Belanda antara golongan yang

besar harus düngat pada pembagian itu berdasarkan sistim hukum

yang beratusan tahun usianya.

Golongan ini tentunya bangsa Eropa, Inlanders. dan Vreemde

Oosterlingen. Yang menarik dalam klasifikasi ini adalah bahwa

Belanda mengangkat diri sebagai orang Eropa (dan mendirikan

sekolahan seperti ELS Europeesche Lagere School), yaitu sebagai

wakil dari ras bule -tapi bukan sebagai Ureemde Westerlingen. Yang

juga menarik ialah bahwa orang `cino, disebut sebagai Ureemdelingen

-orang asing, padahal sebagian besar mereka sudah turun-temurun

menjadi penghuni bumi manusia di Nusantara. Ini mendapat dampak

yang mendalam, karena baik pribumi sendiri maupun kelompok `cino'

dengan demikian lebih lagi dibiasakan untuk menganggap yang terakhir

sebagai `orang asing'. Di situ kita bisa lihat dengan jelas bibit-bibit

pertama dari paradoks Warga Negara Indonesia yang berarti orang

asing, dan komentarnya si pimpinan Permias bahwa di kampus anu

ada 40 orang Indonesia, tetapi kalau termasuk cino bisa sampai 200.

Walaupun demikian perlu ditegaskan bahwa sebagian penting dari

pergerakan nasional berusaha untuk mengatasi alam pikiran ini.

Pimpinan revolusi berusaha keras untuk mencegah aksi rasialis

anti-cino. Tokh warisan politik kolonial menjamin bahwa sedikit sekali

`cino' pengen masuk badan perjuangan dan militer, dan

lembaga-lembaga ini condong untuk eksklusif terhadap `cino'.

Hampir semua partai politik besar selama zaman demokrasi liberal

punya tokoh yang `chineese', dan tidak jarang ada yang sampai bisa

jadi menteri. Bung Karno kasih angin kepada Baperki yang punya

ideologi bahwa `cino' itu cuman salah satu suku bangsa lain di antara

sekian macam sukubangsa di Nusantara.

Persetujuan Sunario-Chou En Lai pada pertengahan tahun 1950-an

adalah usaha untuk mengkonsolidasikan kewarganegaraan mutlak dari

sebagian besar kelompok `cino' di Nusantara. Anehnya, diantara

semua partai politik yang besar justru PKIlah yang aneh. Setelah Tan

Ling Djie diusir dari politburo pada tahun 1951, pimpinan Aidit cs

berusaha keras untuk mengeliminir orang `cino' dari badan-badan PKI

yang penting. `Cino' yang berhaluan kiri disuruh bermukim di ghetto

Partindo. Tapi ini juga mungkin hanya terjadi karena kekaisaran

Tiongkok sendiri setelah 1949, Partai Komunisnya Mao Tse Dong

mulai bertakhta.

Dengan latar belakang ini, tidak terlalu mengherankan kalau Orde

Baru, yang dalam begitu banyak hal mirip Orde kolonial,

menghidupkan kembali aspek-aspek penting dari konstelasi politik,

sosial dan kebudayaan zaman kolonial akhir. Alat keamanan -50 tahun

setelah Indonesia merdeka- tetap 9% bersih dari warganegara yang

`cino'.

Sistim konglomerat raja-raja cino yang berlandasan monopoli bikinan

birokrasi dan akibat perlindungan politik khusus, menjadi-jadi. Orang

cino dilarang bikin sekolah sendiri, atau punya pers sendiri, diajak

berganti nama, disuruh asimilasikan diri (persis seperti terjadi pada

zaman Belanda abad ke-19), supaya tidak menjadi Chineese beneran,

tetapi sekaligus mereka didiskriminasikan di hampir seluruh bagian

pekerjaan di luar dunia dagang.

Sekali lagi `pembencian' -ya bukan Chineese, ya bukan Indonesia-

kan enak. Pembagian fungsi ekonomis ini mempunyai dua akibat yang

menguntungkan. Di satu pihak, seperti diketahui, pimpinan negara

tidak diancam secara politik oleh timbulnya konglomerat pribumi,

konglomerat Cino dari sudut politik tokh impoten. Di lain pihak

pimpinan negara bisa juga memperlihatkan bahwa selama orde baru

tidak pernah ada menteri atawa jenderal yang 'jelas cino', jadi

kedaulatan rakyat tetap aman di tangan wakil-wakil asli dari

masyarakat Inlander.