SUARA PEMBARUAN DAILY


Masalah WNI Keturunan Cina

Oleh: Asep Saefuddin

Kami, kakak dan adik saya, dilahirkan dari keluarga petani yang sekaligus pedagang. Orangtua kami mengikuti Hukum Mendel untuk kebebasan segregasi dalam teori hereditas, yakni dari 10 anggota keluarga, ada 5 laki-laki dan 5 perempuan. Lalu, semua laki-laki berkecimpung di dunia pendidikan (guru), adapun yang perempuan adalah ibu rumah tangga sambil berjualan, warung sembako (bisnis kecil-kecilan). Barangkali di dalam khromosom Y (penentu jenis kelamin laki-laki) kami terdapat sifat ''kependidikan'', lalu di dalam khromosom X (penentu jenis kelamin perempuan) terdapat sifat ''senang berbisnis''. Wallahualam.

Kami tinggal di Kecamatan Garut-Kota di daerah pertokoan. Praktis tetangga di lingkungan keluarga kami adalah para pedagang yang pada umumnya keturunan Cina. Kehidupan masa kecil kami sampai remaja (SLTA) lebih banyak bermain dengan teman-teman Cina ketimbang bukan Cina. Begitu pula orangtua kami, sebagai pedagang tak pernah lepas dari hubungan dengan para pedagang Cina itu, baik masalah bisnis atau urusan sosial dan yang lainnya. Singkatnya, bagi kami, tiada hari tanpa Cina, kecuali di hari Minggu yang sering kami manfaatkan pergi ke sawah untuk bermain atau membantu petani yang masih terkait dulur, itupun terkadang kami pergi bersama tetangga yang Cina itu.

Anugerah Tuhan

Kami hidup sehari-hari berdampingan dengan keluarga Cina dan mereka pun hidup menyatu dengan budaya lokal (di dalam hal ini Sunda), perbedaan etnis sama sekali bukan penghalang buat kami untuk berhubungan. Masalah perbedaan etnis adalah anugerah Tuhan yang memang demikian adanya dan harus kita syukuri sebagai faktor keragaman alami. Saya orang Sunda dan mereka orang Cina adalah the state of being, tetapi yang jelas bahwa saya dan mereka adalah orang Indonesia. Untuk itu, tidak jarang saya ikut makan di rumah mereka, begitu pula mereka di rumah kami. Begitu intensnya hubungan kami, disadari atau tidak, saya telah mendapatkan pelajaran berharga dari mereka. Banyak hikmah yang sebenarnya dapat dipetik dari perilaku Cina, khususnya di dalam masalah kesungguh-sungguhan, kerja keras, keuletan, kedisiplinan, dan sifat-sifat produktif lainnya yang telah membawa mereka kepada kekuatan ekonomi yang luar biasa.

Di dalam hal berbisnis, kalau kita perhatikan dengan saksama, sebenarnya para keluarga Cina itu lebih banyak melakukan in-house training yang dilakukan sejak kecil dan rutin hampir setiap hari. Pada kesempatan acara makan malam misalnya, sering mereka melakukan diskusi ringan mengenai masalah perdagangan, peluang bisnis, komoditas unggulan pada skala lokal, nasional, dan bahkan internasional. Jadi program MBA (Master of Business Administration) pada dasarnya sudah mereka lakukan di dalam rumah secara riil dari hari ke hari, bukan sekadar teori-teori bisnis administrasi yang masih belum tentu juntrungannya. Tanpa gelar MBA formal, sebenarnya mereka (pada umumnya) adalah MBA yang sudah mendarah-daging.

Adalah sangat wajar bila kepiawaian mereka berbisnis jauh di atas rata-rata bangsa Indonesia pada umumnya.

Dengan kuatnya tingkat kepakaran para keluarga Cina di dalam berbisnis, ditambah dengan daya kekerabatan yang juga luar biasa kuatnya, maka mereka mampu membuat jejaring bisnis secara rapi baik untuk skala lokal-nasional maupun internasional. Sewaktu saya mendapat kesempatan sekolah di Guelph (kota kecil di Provinsi Ontario, Kanada) tahun 1990-1996, saya menemukan produk-produk pangan buatan Indonesia di toko Cina (Oriental Market) Guelph. Yang membuat saya terkejut, senang campur bangga adalah ketika saya menemukan biskuit bagelen Kho Pek Goan yang pabriknya persis di depan rumah saya di Garut. Saya merasa senang dan bangga karena pabrik roti sederhana di depan rumah yang banyak mempekerjakan warga Garut itu ternyata telah melanglangbuana ke manca negara. Hal ini adalah berkat keluarga Indonesia (keturunan Cina) yang membuka jejaring bisnis sampai ke pelosok-pelosok kota kecil di seluruh dunia.

Keunggulan Kompetitif

Kalau saya melihat, kemampuan para keluarga Cina untuk berbisnis adalah suatu keunggulan kompetitif yang sebenarnya patut kita syukuri. Artinya ketangguhan mereka harus menjadi modal dan pilar utama bangsa Indonesia di era globalisasi ini. Jadi, keunggulan ini harus dikemas sebaik-baiknya demi kepentingan bangsa dan negara, bukan sekadar untuk menguntungkan segelintir orang yang pada umumnya adalah mereka yang dekat dengan kekuasaan.

Saya berkeyakinan bahwa keluarga Cina melalui keuletannya akan mampu mendongkrak potensi sumber daya Indonesia untuk tujuan ekspor yang nantinya akan menambah devisa negara. Mereka tidak perlu diberi fasilitas berlebihan, dan sekaligus juga jangan dihalang-halangi sejauh mereka tidak menyalahi aspek legal yang berlaku di bumi Indonesia ini. Berikanlah perlakuan sesuai dengan hukum yang berlaku bagi semua warga negara, tanpa ada perkecualian. Hukumlah mereka seandainya bersalah dan berilah penghargaan bila mereka menaikkan citra bangsa Indonesia di mata dunia.

Kemudian, jadikanlah mereka sebagai mentor untuk mengkader bangsa Indonesia lainnya di dalam berbisnis baik untuk skala kecil atau pun besar. Jadi, mereka diberi kewajiban untuk menyatu dengan masyarakat Indonesia. Dan masyarakat Indonesia harus mau terbuka dengan mereka seraya menerima mereka secara apa adanya dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya.

Dalam menghadapi millenium ketiga ini kita harus lebih bersikap rasional daripada emosional. Di dalam berbisnis ini, kemampuan keluarga Cina secara umum belum ada penggantinya. Jadi kita harus belajar kepada mereka. Bukannya malah mereka dibenci, dijauhi, atau dijarah. Di dalam konteks ini, peranan hukum kenegaraan untuk memperlakukan mereka secara sama akan sangat membantu upaya pembauran. Disiplin penyelenggaraan hukum ini harus kental di permukaan. Diskriminasi pelaksanaan hukum akan membahayakan kehidupan bangsa.

Keunggulan berbisnis ini sebenarnya adalah salah satu akibat dari sifat ketekunan, kesungguh-sungguhan dan kerja keras mereka yang luar biasa. Ketiga sifat ini pada dasarnya sangat diperlukan untuk fakultas kehidupan lainnya, misalnya sebagai saintis. Sewaktu saya kuliah S1 (Institut Pertanian Bogor), saya mempunyai teman WNI-Cina yang sekarang ini telah menjadi profesor di UCD (University-College of Dublin) Irlandia. Teman saya itu memperoleh PhD dari Davis-California sekitar 10 tahun yang lalu dan sempat menjadi profesor di University of Washington, Seattle, USA, selama sekitar 5 tahun. Saat ini dia sering di-acknowledge oleh jurnal-jurnal statistika bergengsi pada tingkat internasional, termasuk Jurnal Biometrika tempat berkumpulnya para ''dedengkot'' statistika dunia.

Banyak penemuan teman saya itu dalam teori dan aplikasi statistika yang telah membuat nama IPB terbawa-bawa sebagai almamater pertamanya. (Kalaulah saya anggota Senat IPB, saya akan usulkan orang itu untuk mendapat gelar ''Doctor Honoris Causa'', sebuah gelar yang sebenarnya bukanlah sekadar monopoli para pejabat tinggi). Saya yakin, saintis Indonesia keturunan Cina di manca negara ini tidak hanya teman saya itu. Bila mereka diberi penghargaan nasional, nama Indonesia di kancah keilmuan dunia akan menjadi bersinar-sinar.

Bila ruang gerak untuk para keluarga Cina itu diperluas tidak saja di sektor bisnis, saya berkeyakinan bahwa mereka dapat memberikan sumbangsih yang signifikan dalam membawa nama Indonesia ke tingkat internasional. Hal ini tentu akan memberikan pengaruh positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk dalam menaikkan citra Indonesia di mata internasional. Sebagai akibatnya investasi asing pun akan mengalir ke negara ini. Untuk itu, sangat layak bila mereka diperlakukan sama dengan suku-suku Indonesia lainnya untuk berkiprah di dalam sektor apa saja, termasuk politik dan pemerintahan.

Keragaman kesukuan atau etnis adalah pertanda kebesaran Ilahi dan anugerah buat bangsa Indonesia. Mensyukuri keragaman ini adalah kewajiban kita semua, yaitu dengan meningkatkan kerja sama antara seluruh komponen bangsa secara objektif, bijak, tanpa perlakuan diskriminatif. Dunia masa depan akan sangat memerlukan kerja sama yang tinggi diantara kita. Tanpa itu semua, kita akan tergusur-gusur oleh derasnya perkembangan zaman. Tiada gading yang tak retak berlaku untuk semua, termasuk seluruh suku yang ada di Indonesia ini. Jadi berperilakulah wajar dalam hidup dan kehidupan ini. Tempatkan kebenaran sebagai kebenaran dan kesalahan sebagai kesalahan, jangan dicampur aduk.***

Penulis adalah dosen Institut Pertanian Bogor


Last modified: 6/29/98