PANGGILAN DAN TANGGUNG JAWAB MEMASUKI MASA DEPAN BERSAMA

Refleksi Umat Kristen Indonesia Dalam Rangka Merayakan Paskah dan Menyongsong Pemilihan Umum 1997.

PENDAHULUAN.

"Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah. Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah didalam hatimu. Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan dan perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita." (Kol 3 : 15 - 17).

Perasaan sukacita dan syukur meliputi hati, setiap kali kita, umat Kristen Indonesia, merayakan Paskah. Oleh kebangkitan Yesus Kristus, kuasa dosa dan kematian telah dikalahkan, diganti dengan kuasa kasih yang membebaskan, menghidupkan, memberi damai dan menjadikan kita manusia yang baru. Dalam kuasa kebangkitan-Nya dengan penuh pengharapan dan sukacita kita songsong masa depan yang lebih baik bagi semua orang, sesuai dengan kehendakNya. Sebagai manusia baru, sendiri-sendiri maupun bersama-sama, kita terpanggil untuk menjadi saksi-saksi atas kasih Kristus yang telah bangkit dan menjadi saluran berkat bagi semua.

"Andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu ". (1 Kor 15:14)

Berbagai peristiwa kekerasan dan kerusuhan yang terjadi, perusakan gedung gereja dan tempat-tempat ibadah lainnya, perusakan sekolah-sekolah, panti-asuhan, fasilitas-umum, kantor-kantor, harta-benda milik pribadi, perkelahian antar suku, demikian pula terbunuhnya hamba Tuhan pendeta Ishak Kristian, isterinya bersama 3 orang sanak-keluarganya, sikap permusuhan terhadap warga keturunan Cina, sungguh amat mencemaskan hati kita. Hasutan dan ancaman kepada kita, baik sebelum, selama, maupun sesudah peristiwa-peristiwa itu terjadi, sangat meresahkan hati. Kita menjadi saksi dan mencatat peristiwa ketegangan dan kekerasan yang terjadi diberbagai tempat di pulau Jawa, di Kalimantan Barat, di Timor Timur dan di Irian Jaya, peristiwa-peristiwa yang telah mengganggu persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa.

Ditengah-tengah perubahan dan kemajuan bangsa yang dicapai sebagai hasil pembangunan berkesinambungan selama lebih dari seperempat abad, mengendap berbagai potensi laten yang berdampak positif maupun berdampak negatif bagi bangsa. Kemajuan dan perubahan telah memperkokoh potensi bangsa Indonesia untuk terus maju, untuk terus membina persatuan dan kesatuan bangsa. Berbagai kekurangan dan kelemahan yang ada menumbuhkan potensi keresahan dan ketidak puasan. Potensi ini semakin dirangsang oleh apa yang dirasa sebagai ketidak-adilan, kesenjangan dan kemiskinan, praktek-praktek koruptif dan penyalah-gunaan kekuasaan, sikap angkuh dan melecehkan dari sementara pejabat. Kondisi masyarakat demikian itu rawan. Berbagai siasat politik dapat memanfaatkannya bagi kepentingan tertentu. Itulah yang kita rasakan telah terjadi dibalik peristiwa kekerasan dan kerusuhan itu.

Kita semua meyakini kebenaran fakta sejarah bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 sebenarnya adalah bukti nyata kesepakatan seluruh bangsa untuk bersatu dalam negara Republik Kesatuan dari Sabang sampai ke Merauke dan kenyataan itu ditegaskan kembali dan disahkan dengan penetapan Pancasila dan UUD 45 pada keesokan harinya. Kaidah-kaidah dasar yang kita yakini sebagai bangsa telah terkristalisasi didalam Pancasila dan UUD 45. Masyarakat Indonesia yang sangat majemuk itu bersatu dalam didalam kepelbagaiannya, sebagaimana dinyatakan di dalam lambang Bhinneka Tunggal Ika. Tiada lain, kita sangat bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih yang telah menganugerahkan kepada rakyat Indonesia sebuah bangsa dan negara. Kita berjanji untuk menjaga dengan sekuat tenaga keutuhan bangsa dan negara kita sebagaimana terkandung didalam Pancasila dan UUD 45.

Sekarang kita menyaksikan betapa segelintir orang berusaha mengganggu keutuhan bangsa dan negara yang telah diperjuangkan rakyat Indonesia sepanjang sejarah. Walaupun ada yang ingin melihat peristiwa kekerasan itu sebagai permusuhan antar agama, antar suku atau antar etnis, namun kita tidak melihat peristiwa itu sebagai pertentangan antara umat Kristen dengan umat Islam, atau antara suku Dayak dengan suku Madura, atau antara pribumi dengan non-pribumi keturunan Cina. Pada dasarnya peristiwa kekerasan dan kerusuhan itu adalah ulah segelintir perusuh yang mencoba mengadu-domba masyarakat dengan menunggangi berbagai kerawanan yang terdapat ditengah masyarakat untuk merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu..

Perasaan kita tersentuh dan haru manakala saudara-saudara sebangsa yang beragama Islam turut berusaha mengatasi kekerasan dan kerusuhan itu dan bahkan turut serta memperbaiki kerusakan gedung gereja dan kerusakan-kerusakan lainnya yang telah terjadi. Demikian pula kepada ABRI dan aparat negara yang kemudian mengatasi keadaan dan memulihkan ketertiban kita menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih.

Kepada Pemerintah kita senantiasa mengharapkan untuk menindak tegas berdasarkan hukum mereka yang menjadi penggerak kekerasan serta bijaksana dalam mencegah terulangnya kembali kekerasan dan kerusuhan seperti itu. Kita sendiri kiranya mengampuni mereka, pribadi-pribadi yang telah berbuat kekerasan itu, sebab sebenarnya mereka tidak mengetahui apa yang diperbuatnya (Bdk Luk 23:34). Kitapun perlu bercermin diri agar kita tidak berbuat dan bersikap yang dapat menjadi batu sandungan bagi saudara-saudara kita sebangsa dan semakin menyadari bahwa kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari bangsa ini dan perlu bekerja-sama bahu-membahu dengan saudara-saudara kita membangun bangsa dan negara. Sekarang marilah kita memusatkan perhatian, menatap kemasa depan. Sebagai umat Tuhan yang telah beroleh keselamatan melalui kemenangan Kristus atas dosa dan maut, kiranya hati dan pikiran kita dipenuhi oleh kuasa kasih Kristus yang membawa damai sejahtera, yang memungkinkan kita melaksanakan panggilan dan tanggung jawab kita sebagai bangsa dengan berpengharapan, khususnya di dalam memasuki putaran 5 tahunan kepemimpinan nasional bangsa yang akan dimulai lagi dengan pelaksanaan Pemilihan Umum pada tanggal 29 Mei 1997 yang akan datang.

I. SEJARAH BANGSA.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berkembang dan lahir dalam suatu proses sejarah yang panjang. Mutiara-mutiara sepanjang perjalanan sejarah di bumi Nusantara sambung-bersambung, semakin lama semakin nyata. Dari awal kehadiran suku-suku dan agama-agama di bumi persada, kejayaan kerajaan-kerajaan Nusantara, datangnya penjajah silih berganti, ganti-berganti dan bersama-sama, jiwa bangsa telah ditempa dan dibentuk untuk kemudian lahir sebagai bangsa Indonesia. Atas berkat Allah perjuangan bangsa Indonesia berhasil memperoleh kemerdekaan.

Sejarah yang benar adalah sumber keterangan dan saksi yang penting bagi generasi penerus tentang berbagai peristiwa yang telah terjadi dimasa lampau. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia adalah saksi yang benar bagi perjuangan dan pengorbanan para pahlawan dari berbagai suku dan daerah, dari berbagai agama dan kepercayaan, baik pada masa kerajaan Nusantara, pada era kebangkitan nasional, pada era merebut kemerdekaan, maupun pada era menegakkan dan mengisi kemerdekaan.

Sejarah yang benar adalah juga sumber inspirasi dan pendorong semangat untuk melanjutkan perjuangan memasuki masa depan dengan berkeyakinan dan berpengharapan. Agar generasi yang sekarang dan generasi-generasi selanjutnya dapat terus bahu-membahu melaksanakan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, guna mewujudkan Indonesia yang maju, modern, adil dan makmur dan tetap pada jati-dirinya.

Bagi kita, bangsa dan negara Indonesia adalah sebuah karunia, karya Allah yang unik, agung dan diberkati-Nya. Dari kepelbagaian kemajemukan suku, agama, budaya dan wilayah, kita telah dipersatukan sebagai satu bangsa. Didalam ketunggalan sebagai bangsa Indonesia kita tetap memelihara kebhinnekaan kita sebagai kekayaan dan sumber kekuatan serta kreativitas. Oleh karena itu kita akan senantiasa memelihara prinsip Bhinneka Tunggal Ika di dalam persatuan dan kesatuan bangsa dan tidak ingin menyimpang daripadanya. Sangatlah tepat bait seloka yang terdapat dalam madah Sutasoma karya Mpu Tantular yang menyatakan : "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrwa" (Mengabdi dan setia kepada prinsip berbeda-beda namun tetap satu jua sebagai suatu kebenaran yang tiada duanya). Prinsip Bhinneka Tunggal Ika telah dimeteraikan didalam lambang negara Garuda Pancasila dan semboyan Tan Hanna Dharma Mangrwa dilestarikan sebagai sasanti lambang Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia.

Agama-agama semawi dan agama-agama lainnya mulai hadir diwilayah persada Nusantara semenjak ratusan tahun yang lalu. Sejarah mencatat kehadiran umat Kristen semenjak tahun 645 Masehi di daerah Pancur, Barus, Tapanuli, sebagaimana dicatat dalam buku kuno tulisan Shaykh Abu Salih al-Armini dan telah di dokumentasikan oleh Dewan Gereja-gereja di Indonesia pada tahun 1979. Demikian pula kehadiran jemaat Tuhan di Padang, Sumatera Barat, di Semarang dan Surabaya di pulau Jawa, diberbagai tempat di pantai Barat Sulawesi bagian Selatan dan bagian Utara, di pelbagai tempat di Maluku serta pada daerah-daerah lainnya, semuanya pada awal abad ke-16, bersaksi tentang kehadiran agama Kristen di bumi Nusantara sejak lama. Kedatangan pedagang dari Portugis, Spanyol dan Belanda dan kemudian penjajahan Belanda telah menambah pertemuan masyarakat Nusantara dengan agama Kristen. Bersamaan dengan itu ke-Kristen-an semakin berkembang di wilayah Nusantara. Tetapi sejarah membuktikan bahwa agama Kristen bukanlah agama kolonial. Para pejuang kemerdekaan yang beragama Kristen dimasa kerajaan Nusantara dan juga dimasa kebangkitan nasionalisme Indonesia modern, justru mendapat dasar dan motivasi terdalam bagi perjuangannya melawan penjajahan dan ketidak-adilan didalam iman Kristiani-nya.

Thomas Matulessy Kapitan Pattimura, pejuang pada era pra-kebangkitan nasional dari Maluku, adalah seorang pejuang kemerdekaan pada zamannya. Pada waktu terkepung disebuah gereja di Saparua, ia meninggalkan Alkitab di mimbar, terbuka pada kitab Mazmur 17 yang baru dibacanya. Ia adalah seorang pejuang yang memperoleh inspirasi perjuangannya di dalam iman Kristiani. Kemerdekaan adalah hak, karena kemerdekaan adalah bagian dari keselamatan oleh kebangkitan Kristus. Bersama para pejuang pada era itu, seperti Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Nyi Ageng Serang di Banten, Jawa Barat, Sisingamangaraja ke-12 di Tapanuli, Sultan Hasanuddin di Sulawesi Selatan, Christina Martha Tiahahu di Maluku, Tengku Cik di Tiro, Cut Nyak Dien dan Teuku Umar di Aceh, Pangeran Antasari di Kalimantan, Pattimura telah menyemaikan prinsip kemerdekaan di dalam embrio kelahiran bangsa Indonesia di kemudian hari. Sebelumnya sejarah juga mencatat kepahlawanan raja Mataram, Sultan Agung Anyokrokusumo pada abad ke-17 dalam melawan penjajah Belanda.

Politik etis di Hindia Belanda, yang dilaksanakan oleh kolonial Belanda sebagai kompensasi atas korban kekejaman politik tanam paksa sebelumnya, telah melahirkan generasi pertama warga pribumi Hindia Belanda yang memperoleh pendidikan Barat modern. Mereka memperoleh kesadaran baru tentang kemerdekaan dan prinsip kesetaraan umat manusia didalam wadah nasional yang bersatu dan merdeka. Sejarah mencatat hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1908 bersamaan dengan lahirnya Budi Utomo yang melambangkan bangkitnya kesadaran nasional modern dalam wawasan Hindia Belanda. Selanjutnya sejarah mencatat lahirnya bangsa Indonesia melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang sangat monumental itu. Sejarah menyaksikan bagaimana kepelbagaian Indonesia, baik suku maupun agama telah mempersatukan diri dalam nasion Indonesia. Sepanjang proses sejarah itu, umat Kristen bersama-sama dengan yang lain terlibat didalamnya.

Sebuah peristiwa monumental lainnya terjadi pada waktu para pendiri bangsa Indonesia berhasil mengatasi perbedaan paham yang mendasar tentang sila-sila Pancasila sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan dapat pada tanggal 17 Agustus 1945. Keesokan harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945, para pemimpin bangsa, Ir. Sukarno, drs. Mohammad Hatta, Prof. DR. Mr. Raden Supomo, Mr. Johannes Latuharhary, Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi, Haji Teuku Muhammad Hassan, Mr. Raden Kasman Singodimejo, Mr. I Gusti Ketut Pudja, Drs. Yap Tjwan Bing, Haji Wachid Abdul Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan kawan-kawan, menegaskan ulang hakekat negara kesatuan yang diproklamasikan sehari sebelumnnya dan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) itu mengesahkan Undang-undang Dasar yang sekarang kita kenal sebagai UUD 45. Sejarah mencatat kegigihan Mr. Johannes Latuharhary dan Dr. G.S.S.J. Ratulangi pada sidang-sidang PPKI sebelumnya dalam mempertahankan bentuk negara kebangsaan yang meliputi wilayah dari Sabang sampai Merauke. Jika perbedaan prinsip itu tidak dapat diatasi sebelumnya, maka Proklamasi 17 Agustus 1945 tentu tidak akan pernah terjadi dan bumi Nusantara mungkin sudah akan tercerai-berai didalam bentuk beberapa negara yang berdasar agama dan paham kebangsaan. Dengan diatasinya perbedaan itu Proklamasi dapat dilakukan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke dapat berdiri dan selanjutnya Pancasila dan UUD 45 dapat disahkan. Oleh karena itu Pancasila bukanlah pengorbanan ataupun hadiah dari satu golongan untuk bangsa atau untuk golongan lainnya. Pancasila adalah buah kebijaksanaan dan kebesaran jiwa seluruh pemimpin bangsa.

Sejarah juga mencatat betapa banyaknya korban jiwa dan harta dalam mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan. Makam pahlawan yang tersebar diseluruh persada menjadi saksi betapa banyak putera-puteri seluruh suku, seluruh agama, seluruh daerah, telah gugur dan jasadnya menghiasi bumi pertiwi. Seorang pejuang muda, Walter Robert Monginsidi tertangkap dan dihukum tembak mati oleh penjajah Belanda di Makasar. Ia mengakhiri hayatnya didepan regu tembak Belanda dengan tangan kiri memegang Injil, mata terbuka dan tangan kanan mengepalkan tinju seraya berseru "Merdeka!!". I Gusti Ngurah Rai adalah putera Bali yang terkenal heroik didalam perjuangannya mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda. Dengan perintah perang "Puputan" ia memilih gugur di medan perang daripada menyerah kepada Belanda. Sejarah juga mencatat kepahlawanan Panglima Besar Jenderal Sudirman, Bapak Tentara Nasional Indonesia. Serta merta dengan itu kita juga mengingat peran Letnan Jenderal Tahi Bonar Simatupang, Kepala Staf Angkatan Perang yang meletakkan dasar-dasar peran militer dalam perjuangan bangsa.

Pada kurun waktu berikutnya sejarah juga mencatat jasa Frans Kasiepo dan kepahlawanan Komodor Yosaphat Sudarso dalam epos pembebasan Irian Jaya. Kemudian diikuti oleh pengorbanan Jenderal Achmad Yani, Letnan Jenderal M.T. Haryono, Letnan Jenderal S. Parman, Jenderal Mayor D.I. Panjaitan, Kolonel Sugiyono, Kapten Pierre Tendean, AIPDA Karel Satsuit Tubun dan lain-lain, yang gugur karena pengkhianatan PKI.

Konfigurasi nama dalam berbagai peristiwa sepanjang sejarah masa lalu Indonesia menggambarkan betapa kayanya lembaran sejarah Indonesia dihiasi oleh rangkaian kepahlawanan putera-puterinya yang berasal dari berbagai suku, berbagai agama dan berbagai daerah dalam berbagai waktu dan kesempatan. Sejarah juga menyaksikan bahwa kita, sama seperti saudara-saudara yang lain, telah sama-sama membangun sejarah Indonesia semenjak awal, telah turut berkorban bagi bangsa Indonesia pada setiap tahap perjuangannya. Demikian pula dalam babakan Orde Baru, bersama-sama dengan saudara-saudara yang lain, kita telah turut meluruskan jalan perjuangan bangsa, kembali atas rel perjuangan menegakkan dan mengisi kemerdekaan berdasarkan Pancasila dan UUD 45.

Dari cerminan sejarah perlu direnungkan bahwa keikutsertaan kita didalam perjuangan bangsa, untuk membangun bangsa, untuk menegakkan kemerdekaan, untuk membangun negara yang menghormati keadilan, kesetaraan, kebersamaan, dan nilai-nilai lainnya sebagaimana dikandung didalam Pancasila berakar jauh kedalam penghayatan iman Kristen dan tidak untuk bersiasat mencari balas jasa dan keuntungan sempit.

Prinsip itu kiranya dapat terus dihayati dan diwariskan kepada generasi penerus. Dengan bercermin kepada sejarah bangsa, kita bertekad untuk terus menjawab panggilan untuk bertanggung jawab bagi kemajuan bangsa guna mencapai cita-cita kemerdekaan.

II. PERGUMULAN DAN TANTANGAN.

Bangsa Indonesia adalah salah satu dari hanya beberapa bangsa negara berkembang didunia yang berhasil melakukan pembangunan berkesinambungan selama lebih dari seperempat abad. Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas 7 % se-tahun, bangsa Indonesia telah berhasil mengatasi permasalahan- permasalahan mendasar negara berkembang dan sekarang telah berada dalam tahap tinggal landas.

Dalam menyongsong abad ke-21, pada waktu mengawali Pelita VI, masyarakat dunia menjuluki Indonesia sebagai "The Asian Miracle". Kita, umat Kristen Indonesia, dengan tulus menghargai prestasi yang membanggakan itu. Disebabkan oleh berbagai keterbatasan kemampuan, pembangunan harus dilakukan secara bertahap dan dengan menetapkan prioritas tertentu. Untuk selanjutnya, sesuai dengan kemampuan yang berhasil dikembangkan, berbagai kelemahan dan kekurangan yang terjadi berdasar tolok-ukur Pancasila dan UUD 45, perlu dikoreksi dan disempurnakan.

Kita menyadari bahwa pilihan yang diambil telah membuahkan hasil kemajuan dan perubahan namun juga telah menyisakan berbagai kelemahan dan kekurangan. Permasalahannya adalah bagaimana agar bangsa ini, ditengah-tengah kemajuan yang dicapai, dapat menyadari kelemahan dan kekurangannya dengan setepat-tepatnya untuk kemudian secara bijaksana melakukan koreksi dan penyempurnaan atas kekurangan-kekurangan itu tanpa harus menimbulkan kerugian dan goncangan yang tidak perlu.

Kita juga bergumul dengan ekses proses kemajuan yang telah menyebabkan penduduk asli di Kalimantan dan Irian Jaya, demikian pula ditempat-tempat lain seperti di Timor Timur, di sebagian wilayah Nusa Tenggara Timur, dan lain-lain, menjadi terdesak, ketinggalan dan terasing dari proses kemajuan secara keseluruhan, yang telah menimbulkan ketidak-puasan dan keresahan yang semakin lama semakin mendalam. Demikian pula kegiatan ekonomi eksploitasi kekayaan alam yang merusak lingkungan telah semakin memperparah keadaan rakyat kita yang berdiam didaerah itu dan mengandalkan hidupnya sehari-hari pada kekayaan alam.

Belakangan ini kita merasakan betapa ikatan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika itu mengalami cobaan dan goncangan. Nampaknya kesejahteraan rakyat yang telah meningkat secara menyeluruh telah membangkitkan dinamika baru yang memerlukan penanganan dan penyaluran yang tepat. rancang bangun politik nasional yang berasal dari era awal 1970-an kelihatannya memerlukan penyesuaian dan revitalisasi agar rakyat yang telah semakin sejahtera dan semakin kritis-dinamis itu dapat menyalurkan aspirasinya secara baik dan wajar. Apabila kesempatan untuk itu tidak terbuka didalam sistem, ada kemungkinan mereka akan mencari saluran diluar sistem atau bahkan mencari sistem alternatif.

Dalam kaitan itu kita melihat munculnya kembali berbagai ide dan konsepsi yang tadinya pernah muncul dalam sejarah masa lalu bangsa, sebagai harapan penyaluran berbagai aspirasi yang berkembang. Namun sebenarnya ide dan konsepsi itu telah usang dan tidak sesuai lagi karena bangsa telah menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hanya saja bangsa ini perlu terus memperbaharui rancang bangun politik nasionalnya itu sehingga struktur dan sistem politik dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya supaya ide dan konsepsi yang telah usang itu tidak perlu dimuncul-munculkan kembali.

Inilah salah satu pergumulan dan harapan kita, yaitu agar bangsa ini terus bertumbuh semakin maju, semakin adil, semakin demokratis tanpa harus tersandung pada permasalahan baru disekitar ideologi negara.

Kita juga menyadari bahwa untuk bisa keluar dari belitan keterbelakangan, bangsa Indonesia harus memacu pertumbuhannya. Pilihan tersebut mengandung risiko. Memacu pertumbuhan masyarakat yang belum berkembang telah berakibat sempitnya lingkup ekonomi yang dapat menjadi pusat penunjang pertumbuhan itu dengan dampak melebarnya kesenjangan, baik kesenjangan sosial maupun kesenjangan antar sektor dan kesenjangan perkembangan wilayah.

Kita juga menyadari bahwa tidak ada rumus sekali-jadi untuk mengatasi dilema itu. Koreksi atas kelemahan kebijakan memacu pertumbuhan perlu dilakukan melalui intervensi terus-menerus agar aspek pemerataan dapat ditanggulangi secara bermakna tanpa harus menyebabkan pertumbuhan menjadi mandek. Sebaliknya kita juga menyadari bahwa pertumbuhan yang sangat cepat justru akan mempersulit usaha pemerataan. Apabila terjadi keadaan demikian maka pertumbuhan yang cepat tanpa pemerataan yang memadai akan rawan terhadap pergolakan dan pada gilirannya akan mengakibatkan pembangunan terhenti dan bahkan juga akan merusak hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.

Dengan menyadari sepenuhnya bahwa didalam kesejahteraan bangsa-lah kesejahteraan kita terletak, maka kita harus berusaha dan bertanggung jawab bagi kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara karena dengan demikianlah kita sejahtera. (Bdk Yer 29: 7).

Pendekatan pragmatik memang diperlukan untuk menopang usaha pertumbuhan ekonomi ditengah-tengah ekonomi dunia yang bersaing ketat, tetapi pendekatan itu telah memperhadapkan kita dengan berbagai permasalahan moral, etik dan spiritual. Korupsi, kolusi dan penyalah-gunaan kekuasaan adalah berbagai penyimpangan yang terjadi tengah-tengah masyarakat serta perlu memperoleh perhatian sungguh-sungguh untuk dihentikan manakala kita ingin mensukseskan pembangunan berkesinambungan dengan sekaligus melakukan koreksi dan peningkatan. Kelemahan dan cela moral, etik serta spiritual itu merusak keteladanan serta menumbuhkan keresahan dan kemarahan dikalangan rakyat.

Tantangan pembangunan masa depan juga mensyaratkan bangsa untuk mengembangkan budaya yang sesuai. Masyarakat bangsa yang majemuk pada hakekatnya adalah potensi laten yang amat positif bagi pengembangan budaya yang didukung berbagai pusat budaya Nusantara. Jikalau kita sebagai bangsa membiarkan budaya tumbuh dan berkembang atas dasar pola budaya tunggal, baik budaya daerah maupun budaya agama, bangsa ini akan kehilangan potensinya yang hebat untuk tumbuh berkembang menjadi bangsa yang besar. Bangsa ini akan kehilangan jati-diri yang sesungguhnya bilamana budaya tidak tumbuh sebagai budaya yang Bhinneka Tunggal Ika.

Kita bergumul untuk memajukan saling pengertian, persaudaraan dan kerukunan ditengah-tengah masyarakat kita yang majemuk. Kita juga menyadari bahwa maksud baik itu juga dihayati oleh saudara-saudara sebangsa. Namun kita juga mengetahui bahwa usaha dan maksud baik itu tidaklah mudah, diperlukan kesabaran dan ketekunan. Di dalam kerangka itu kita berharap agar semua pihak menyadari bahwa ada berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan Pemerintah yang semula dimaksud untuk menciptakan dan memelihara kerukunan dan persaudaraan pada kenyataannya justru telah merangsang semakin berkembangnya sikap saling mencurigai dan bermusuhan ditengah masyarakat.

Bangsa Indonesia juga bergumul dengan pelbagai tantangan yang datang dari perkembangan global. Perkembangan ilmu dan teknologi di dunia demikian pesat dan masyarakat kita semakin mampu menyerap perkembangan itu. Dalam proses demikian masyarakat mengalami tarikan yang paradoks. Disatu pihak masyarakat ditarik kearah modernitas, keterbukaan, persaingan dan kerjasama, tetapi dilain pihak masyarakat ditarik kearah premordialisme sempit, pikiran dan sikap sektarian serta fundamentalisme.

Demi kebaikan bersama, paradoks ini perlu dicermati dan dikelola dengan bijaksana.

Kita bergumul dalam pengharapan agar bangsa berhasil melewati tahapan yang kritis ini di dalam perjuangan menjadi bangsa yang maju tetapi yang tetap berkepribadian sesuai jati dirinya yang Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kerangka itu kita berharap agar komunikasi yang sehat dan yang saling menghargai dapat diadakan dan dikembangkan, melibatkan para pemuka masyrakat dan pemerintah. Agar supaya komunikasi dan dialog itu bermanfaat bagi bangsa hendaknya dilakukan dalam suasana kebersamaan yang saling menghormati, bersama-sama mengacu kepada nilai-nilai dasar Pancasila, tanpa ada yang bersikap merasa paling berhak dan paling tahu apa keinginan dan keperluan masyarakat yang sebenarnya.

Peristiwa-peristiwa kekerasan dan kerusuhan yang terjadi telah membangunkan kita untuk bercermin diri. Kita perlu berusaha memengerti apa maksud Tuhan di dalam berbagai peristiwa itu ? Persekutuan diantara kita perlu dibenahi. Demikian pula hubungan kita dengan masyarakat perlu semakin diperbaiki. Kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari mayarakat dan karena itu kita tidak boleh mengasingkan diri, menjauh dari masyarakat. Sopan-santun dan tata-krama pergaulan bersama perlu kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, termasuk didalam usaha memberitakan kabar baik.

Sebenarnya peristiwa kekerasan dan kerusuhan itu telah membuka kesempatan untuk menilai pembinaan iman, tatkala kita mengalami ketakutan, kecemasan, kehilangan pegangan dan bahkan penyangkalan. (Bdk Luk 22:54-62).

III. DATA DAN ANALISIS PERUSAKAN RUMAH IBADAH.

Sejarah telah membuktikan bahwa pertikaian ideologi, pertikaian etnik dan pertikaian antar umat agama sangat berperan dalam perpecahan bangsa. Setelah perang dingin ideologi usai dengan simbol runtuhnya tembok Berlin, dunia diperhadapkan dengan pertikaian antar etnis dan antar agama yang amat kejam. Bangsa dan negara Yugoslavia terpecah belah dan sirna dari muka bumi oleh pertikaian suku dan sekaligus agama. Etnis Hutu bertikai dengan etnis Tutsi. Kedua peristiwa diatas menelan korban yang besar, baik berupa hilangnya persatuan dan kesatuan bangsa maupun korban nyawa dan harta benda. Kita semua tidak ada yang menginginkan hal serupa terjadi di negeri ini. Namun terjadinya peristiwa kekerasan dan perusakan gedung gereja dan tempat-tempat ibadah lainnya serta ditiup-tiupkannya permusuhan dan kebencian antar agama, antar suku, maupun kebencian kepada warga keturunan Cina, perlu di waspadai.

Pada awal perjalanan negara Republik Indonesia jumlah kejadian perusakan gedung gereja, tempat-tempat ibadah lainnya, panti-asuhan, dan sebagainya, relatif sedikit. Peristiwa perusakan gedung gereja khususnya terjadi didaerah yang mengalami gejolak politik dan keamanan sehubungan dengan gerakan ekstrim kanan DI/TII di Aceh, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat. Diluar itu, kalaupun ada peristiwa yang terjadi, adalah insiden terbatas dan bersifat sangat lokal.

Beberapa tahun setelah pembangunan menyeluruh mulai menampakkan hasilnya, telah terjadi perubahan pola dan susunan kependudukan dalam wilayah negara. Wilayah dan kantong-kantong penduduk yang tadinya homogen, terdiri hanya dari salah satu suku atau salah satu agama, semakin berkurang dengan terjadinya perpindahan penduduk. Penduduk yang semakin berbaur dan heterogen disetiap wilayah memperbesar kemungkinan terjadinya letupan sosial akibat pergeseran antar kelompok. Sejarah mencatat meningkatnya peristiwa perusakan dan resolusi terhadap gedung gereja dalam kurun waktu tersebut.

Dalam kurun waktu antara awal tahun 1967 sampai akhir tahun 1992 peristiwa perusakan dan penutupan gedung gereja meningkat dibandingkan era sebelumnya. Selama rentang waktu 25 tahun itu terjadi 211 perusakan gedung gereja, atau rata-rata 8.4 gedung gereja per-tahun.

Sejak awal tahun 1993 sampai Mei 1996 telah terjadi peningkatan yang menyolok. 58 gedung gereja telah dirusak atau dibakar, belum terhitung gedung gereja yang diresolusi atau yang tidak boleh dipergunakan sebagai gedung gereja. Dalam 3 1/2 tahun telah terjadi 58 perusakan atau 16.6 kejadian per-tahun, sebuah peningkatan lebih dari 100 % dibanding kurun waktu sebelumnya.
(gbr.1, grafik, tidak dapat di insert dalam bentuk plain text)

Namun perusakan gedung gereja sangat melonjak tajam pada 10 bulan terakhir semenjak Juni 1996 sampai Maret 1997 dengan puncak peristiwa Surabaya, Situbondo, Tasikmalaya dan Rengasdengklok. 64 gedung gereja telah dirusak atau dibakar. Artinya sebuah peningkatan sebesar hampir 450 % lagi dibanding rata-rata kejadian pada periode 1993-(Mei)1996. (gbr2. grafik, tidak dapat di insert)

Dari sisi daerah sebaran peristiwa kekerasan dan kerusuhan itu kita mendapat kesimpulan sebagai berikut. Wilayah Jawa Timur tertinggi, yaitu 25.9 %,
Jawa Barat 21.4 %,
Sulawesi Selatan 13.7 %,
Jawa Tengah 13.3 %,
Kalimantan 4.8 %,
DKI Jakarta Raya dan DI Yogayakarta masing-masing 4.0 %,
Sumatera Utara dan Lampung masing-masing 2.8 %,
dan daerah-daerah lainnya 7.3 %.

Perusakan juga meliputi vihara dan fasilitas umum lainnya seperti perusakan bangunan sekolah, panti asuhan, toko-toko, rumah-pribadi, kantor pemerintah, pabrik, yang juga mengakibatkan ribuan pekerja kehilangan pekerjaannya dan ribuan anak sekolah kehilangan tempat bersekolah dan sebagainya.

Lebih dari itu, terjadi juga penganiayaan, pelecehan seksual, bahkan telah jatuh korban jiwa yang terjadi di Situbondo. Pendeta Ishak Kristian, isterinya Ribka Lena Kristian, putrinya Elisabeth Kristian dan sanak-nya Nova Samuel dan Rita, mati terbakar didalam kompleks gedung gereja yang dibakar oleh para perusuh.

Di dalam peristiwa kerusuhan yang terjadi di Situbondo, Tasikmalaya dan Rengasdengklok telah terjadi juga peristiwa kekerasan rasialis yang ditujukan kepada warga keturunan Cina.

Fenomena lain kita temukan dalam kerusuhan yang terjadi di Timor Timur. Sebuah surau dan sebuah gereja Protestan dirusak. Demikian pula di dalam kerusuhan dan bentrokan antar suku yang terjadi di Sanggauledo dan di tempat-tempat lain di Kalimantan Barat yang mengakibatkan ratusan korban meninggal. Dipermukaan, kerusuhan di kedua daerah itu lebih berbobot konflik antar suku dan budaya daripada konflik antar agama. Khususnya di daerah Timor Timur, peristiwa kerusuhan itu dilatar-belakangi keresahan dan kemarahan penduduk setempat atas proses interaksi sosial yang dirasakan mereka tidak bijaksana.

Mencermati peristiwa kekerasan dan kerusuhan yang terjadi, terutama yang terjadi dalam kurun 10 bulan terakhir, ditemukan berbagai kejanggalan pada kejadian pemicu meletusnya kerusuhan-kerusuhan tersebut.

Pada peristiwa Surabaya, Situbondo, Tasikmalaya dan Rengasdengklok ternyata kejadian pemicunya selalu bersifat salah informasi atau malah mengada-ada. Tidak ada bukti yang nyata bahwa meletupnya peristiwa itu dipicu oleh masalah pertentangan antar-agama, atau antar etnik, atau kemarahan pada aparat. Memang setelah terjadi letupan, kerusuhan itu marak dengan cepat. Namun juga jelas terbukti tidak ada kaitan sebab-akibat di antara berbagai peristiwa di tempat-tempat yang berbeda-beda itu.

Apabila kita mengamati dari sisi sebaran wilayah tempat kejadian peristiwa kerusuhan itu, kita tidak menemukan korelasi yang jelas antara keadaan tempat dengan terjadinya kerusuhan. Daerah-daerah itu bukanlah daerah yang terbelakang. Kesenjangan ekonominya tidak berhimpit dengan perbedaan etnik. Selanjutnya, jika diperbandingkan karakteristik daerah yang mengalami peristiwa itu dengan daerah lainnya, akan ditemukan sangat banyak daerah lain yang mempunyai karakteristik yang sama dengan daerah peristiwa, namun pada kenyataannya tidak terjadi peristiwa serupa di daerah lain tersebut.

Tetapi yang jelas tema pokok yang menjalar selama kerusuhan-kerusuhan itu adalah kebencian kepada orang Kristen dan kebencian kepada warga keturunan Cina.

Dalam kondisi seperti itu jelas terlihat indikasi adanya dalang aktor intelektual di balik kerusuhan itu.

Mengenali tema yang dipergunakan para perusuh dan mengingat pengalaman bangsa di masa lampau, peristiwa-peristiwa itu berkaitan dengan kegiatan kelompok ekstrim kanan yang berusaha bangkit kembali dengan memafaatkan kondisi masyarakat yang mengandung banyak kerawanan.

IV. KEPRIHATINAN DAN HARAPAN.

Bangsa Indonesia yang majemuk dan bersatu adalah karunia Tuhan. Sejarah terbentuknya bangsa dan negara Indonesia yang unik dan panjang sangat mengagumkan. Kita mensyukuri anugerah Tuhan itu, yang memberikan sebuah bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan prinsip Ke-Tuhan-an yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan Permusyawaratan/ Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai dasar Pancasila itu telah mengkristalisasikan prinsip-prinsip terdalam kemanusiaan universal bagi rakyat Indonesia. Prinsip kemerdekaan, prinsip kebebasan beragama dijamin oleh negara, prinsip persamaan didepan hukum tanpa kecuali, prinsip keadilan, prinsip kebersamaan, dan prinsip-prinsip pokok lainnya telah menjadi prinsip-prinsip yang dianut oleh bangsa dan negara.

Keutuhan bangsa dan negara anugerah Tuhan ini adalah milik bangsa yangpaling berharga yang harus bersama-sama dipelihara dengan sekuat tenaga. Kita prihatin manakala menyaksikan masih ada yang berusaha merusak keutuhan itu dengan berbagai dalih dan dengan menggunakan berbagai cara.

Kita juga menyadari berbagai kelemahan dan kekurangan yang dapat mengganggu kesinambungan pembangunan disegala bidang dan bahkan yang dapat menggangu keberadaan kita sebagai bangsa Indonesia. Kita juga menyadari sepenuhnya bahwa kita bersama-sama turut bertanggung jawab sesuai bidang masing-masing. Merosotnya kepercayaan terhadap kepastian dan keadilan hukum, penyalah gunaan kekuasaan, sikap meremehkan dan menakuti-nakuti rakyat serta praktek-praktek koruptif sementara pejabat mendorong merebaknya kekerasan dikalangan rakyat dan sangat berbahaya bagi kelangsungan stabilitas yang sehat dan dinamis.

Demikian pula permasalahan kesenjangan yang diikuti dengan prasangka rasial anti keturunan Cina merupakan sumber ancaman bagi ketenangan dan ketenteraman masyarakat.

Merupakan keprihatinan bagi bangsa apabila setelah menyadari berbagai kelemahan itu, tidak menanggulanginya sebagaimana harusnya. Kita prihatin karena akibat-akibat keadaan itu, apabila tidak tertanggulangi dengan baik, sungguh sangat berbahaya bagi keberadaan bangsa.

Kita juga prihatin, apabila setelah peristiwa kekerasan dan kerusuhan itu kita tidak melakukan mawas diri dan memperbaiki kekurangan didalam sikap dan pergaulan kita ditengah masyarakat majemuk Indonesia. Mungkin saja pelayanan dan kesaksian kita telah terasa menyakitkan mata dan melukai hati saudara-saudara kita sebangsa.

Sejalan dengan keprihatinan itu, kita sangat mengharapkan agar kesinambungan pembangunan disegala bidang dapat berlangsung sambil terus melakukan koreksi, peningkatan dan pembaharuan atas segala kekurangan yang masih terdapat ditengah-tengah bangsa. Yaitu khususnya guna memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa, untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan, memperbaiki moral dan etika dan untuk terus mengembangkan perwujudan demokrasi Pancasila. Marilah kita melakukan semua itu dengan hati yang tulus dan itikad yang murni seraya mengucapkan syukur atas segala keberhasilan yang telah dicapai.

Kita menatap kemasa depan dengan penuh pengharapan seraya terus bersama-sama mengembangkan komunikasi dan dialog diantara semua unsur kepelbagaian masyarakat, bersama-sama mencegah terjadinya kekerasan dan kerusuhan dan bekerja sama bahu-membahu mengatasi berbagai tantangan masa depan.

Kita perlu semakin bersungguh-sungguh menggalang kerjasama dengan semua pihak yang berkemauan baik untuk memantapkan kebangsaan Indonesia, mempertebal solidaritas kebersamaan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki, guna mengusahakan hajat hidup layak bagi semua orang.

Kiranya cobaan yang datang dalam berbagai musibah kekerasan dan kerusuhan dapat lebih mengukuhkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Mejadi harapan kita senantiasa agar setiap kekuatan sosial dan kekuatan politik bangsa dapat menjadi pendorong bagi saling pengertian, menjembatani dan menjadi perekat bagi keutuhan persatuan dan kesatuan ditengah-tengah kemajemukan. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tetaplah kiranya menjadi milik nasional yang tidak pernah berubah, milik semua golongan, prajurit pejuang yang Sapta-Margais dengan bekal Sumpah Prajurit, yang setia mengawal keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang berlandaskan Pancasila dan UUD 45.

Berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan Pemerintah, pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan yang justru telah merangsang dan memberi tempat bagi rasa saling mencurigai, saling bermusuhan agar ditarik dan disempurnakan. Dilaksanakannya tanggung jawab Pemerintah untuk mengayomi seluruh warganya secara adil dan penuh kecintaan akan menghasilkan kerukunan dan persaudaraan yang alami dan sangat kokoh.

Oleh karena iman dan pengharapan kita baiklah kita senanatiasa menjawab panggilan kita untuk menjadi saluran berkat dan mengasihi sesama kita segenap saudara-saudara sebangsa. "Tuhan itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat bagi segala yang dijadikan-Nya." (Mzm 145:9).

Baiklah kita ingat pesan Tuhan agar kita menjadi umat yang disukai karena dengan demikianlah umat dapat melaksanakan pelayanannya. (Bdk Kis 2:47). Dan baiklah pula kita menyaksikan iman dan pengharapan kita dengan lemah lembut dan hormat agar supaya kita tidak menyakitkan mata dan tidak menyakitkan hati serta tidak menjadi batu sandungan bagi saudara-saudara kita sebangsa. "...... Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat." (1 Ptr 3:15b).

Memasuki masa depan yang penuh peluang dan tantangan yang datang bersama perubahan menyeluruh yang amat pesat, kita dituntut untuk bersiap dengan sumber daya manusia (SDM) yang bermutu dan bertanggung jawab sehingga apabila kita terpanggil untuk memenuhi tanggung jawab kita sebagai bagian tidak terpisahkan daripada bangsa ini, kita mampu melakukannya dengan sebaik-baiknya dan membawa kesejahteraan bagi semua orang. (Bdk Est 8:1-17).

Selanjutnya kita sangat mengharapkan agar pemilihan umum yang telah terlaksana teratur setiap 5 tahun sekali dapat terus meningkat mutu-nya agar dapat memerankan fungsinya sebagai mekanisme perwujudan kedaulatan rakyat, untuk menyegarkan semangat bangsa, melakukan koreksi dan pembaharuan yang diperlukan dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Melalui pemilihan umum yang jujur dan adil, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia, kita percaya amanat UUD 45 agar negara menyerap dinamik yang terjadi ditengah rakyat setiap 5 tahun sekali sebagai bahan untuk menentukan dan memperkokoh haluan dan kebijakan negara, dapat dilaksanakan.

Pemilihan umum adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Rakyat yang merupakan pemegang kedaulatan di dalam negara perlu menyadari bahwa hak kedaulatannya didalam pemilihan umum itu haruslah diemban dengan penuh kesungguhan dan dengan bertanggung jawab. Kiranya kita menggunakan hak kedaulatan rakyat itu dengan berhati-hati dan bersungguh-sungguh, dengan bebas, dengan mendengarkan hati-nurani masing-masing yang sedalam-dalamnya Kita dapat memahami bahwa ada diantara kita yang mengalami kesulitan dalam menentukan pilihannya. Kiranya hak-kedaulatan itu kita wujudkan pada waktunya di tempat pemungutan suara (TPS), dengan menggunakan hak kedaulatan kita secara bebas, tanpa rasa takut dan tidak takluk kepada tekanan dan paksa an serta tidak termakan bujukan dan rayuan dari pihak manapun.

PENUTUP

Marilah kita berdoa bagi keselamatan dan kemajuan bangsa dan negara. Kiranya Tuhan menjauhkan segala pencobaan dan dilepaskanNya bangsa Indonesia daripada yang jahat. Kita juga berdoa bagi para pemimpin dan pemuka bangsa, agar mereka melaksanakan tugasnya dengan takut kepada Tuhan, supaya pekerjaannya mendatangkan kebaikan dan kemajuan untuk seluruh bangsa. Kita juga berdoa agar Tuhan berkenan atas bangsa ini dan memalingkan wajahNya dan memberkati bangsa ini dan kepada kita diberikan kelayakan dan semangat untuk dapat hidup di dalam kesetiaan pada Tuhan agar kelak kita memperoleh mahkota kehidupan. (Bdk Why 2:10).

Atas segala kekerasan dan kerusuhan yang sudah terjadi, kita memohon kekuatan dari Tuhan agar kita dapat memaafkannya. "Tetapi Aku berkata kepadamu : Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Mat 5:44). Jauhkanlah hati kita dari dendam dan keinginan melakukan pembalasan, karena Tuhan tegas tidak mengizinkan umatNya untuk melakukan pembalasan. (Bdk Rm 12:19-20). Para pendahulu telah mengorbankan jiwa dan raganya dalam melahirkan bangsa ini, dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Mereka telah membayar "hutangnya" kepada bangsa ini. Kita semua juga orang yang "berhutang". Merupakan panggilan iman dan tanggung jawab kita untuk juga membayarnya sesuai dengan tugas pelayanan kita masing-masing. (Bdk Rm 1:14 dan Mat 25:40-45).

Akhirnya dengan dilandasi semangat pengorbanan Kristus yang telah bersedia menderita, kiranya kita diberi kekuatan, ketekunan dan pengharapan untuk menjadi berkat bagi banyak orang. Tuhan memberikan keberanian untuk menghadapi risiko apapun yang harus kita tanggung oleh karena kebenaran. "Dan siapakah akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik ? (1 Ptr 3;13). "Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan ! Sebab kamu tahu bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia." (1 Kor 15:58).

SELAMAT PASKAH.

TERIRING SALAM DAN DOA.

Jakarta, 27 Maret 1997.
Dikeluarkan bersama oleh :

PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI )
DEWAN PANTEKOSTA INDONESIA (DPI)
PERSEKUTUAN BAPTISI NDONESIA (PBI)
PERSEKUTUAN INJILI INDONESIA (PII)
GEREJA BALA KESELAMATAN
GEREJA MASEHI ADVENT HARI KETUJUH

Para Penanda Tangan:
Pdt. Dr. Sularso Sopater
Pdt. Dr. J.M. Pattiasina
Pdt. Dr. Samuel S. Budhi
Pdt. F. Pattirajawane, M.Min
Pdt. Dr. Chris Marantika
Pdt. Dr. S.J Mesach, MTh
Pdt. Sentot Sadono, STh
Pdt. Pringetten Ketaren
Komisioner Victor K. Tondi
Letkol Petrus Soedjarwo
Permana, SH